Mohon tunggu...
Fadilah Rahmatan Al Kafi
Fadilah Rahmatan Al Kafi Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Independent Author

Bachelor of Islamic Economic Law at Sunan Gunung Djati State Islamic University Bandung. Amateur observer of the world of Law, Politics, and Economics in Indonesia according to the perspective of Sharia and Human Rights.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengurai Benang Kusut terkait Sulitnya Menjadikan Hukum sebagai Budaya di Indonesia

18 Juli 2024   21:35 Diperbarui: 18 Juli 2024   21:35 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: prospectmagazine.co.uk

Bagaimana hukum terealisasikan sebagai budaya yang luhur, apabila elite politik di Indonesia hanya menganggap hukum sebagai barang yang remeh dan dapat diubah tergantung dana dan keinginan? Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi jalan tol bagi terwujudnya Dinasti Politik keluarga Jokowi adalah wujud nyatanya, belum lagi keluar juga putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23/P/HUM/2024 yang bisa menjadi gerbang emas menyusulnya Sang Adik mengikuti jalan Sang Kakak di arena kekuasaan. 

Semua Putusan Mahkamah yang katanya mulia tersebut, keluar dengan jangka waktu yang singkat dan pastinya kontroversial karena tidak melibatkan pastisipasi bermakna dan sarat akan kepentingan politik golongan tertentu. 

Penulis tidak menyangkal bahwa sebenarnya telah banyak fenomena dinasti politik lokal di ruang lingkup daerah, maka apa yang salah dari strategi dan taktik hukum yang diambil oleh elite pusat? Sekali lagi melalui penjabaran tersebut, penulis hanya ingin menekankan terkait seberapa remehnya nilai hukum di tangan elite politik kita.

Permasalahan dalam dunia penegakkan hukum juga membuat kita sering menggaruk-garuk kepala sendiri, mulai dari kasus korupsi yang menjerat mantan ketua Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, hingga rahasia umum terkait pihak kepolisian yang baru memberikan atensi lebih terhadap para pencari keadilan apabila kasus tersebut viral di masyarakat, yang tanpa perlu dijabarkan secara panjang lebar Kasus Pembunuhan Vina di Cirebon dan meninggalnya Afif di Padang menjadi contoh yang tak bisa terbantahkan. 

Ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang seharusnya suci dari segala tindakan bejat pun, bukan terbebas dari tingkah laku setan, mulai dari kasus korupsi hakim agung yang melibatkan Gazalba Saleh dan pengacara yang menyuapnya, hingga ditangkapnya Hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung yang menggelar pesta sabu di ruang kerja pengadilan.

Akibatnya, muncul kerangka berpikir atau mindset yang rusak bahwa "Hukum itu ada untuk dilanggar," karena ketika masyarakat luas melihat banyaknya oknum aparat penegak hukum yang justru menjadi pelanggar hukum, dan elite pengusa serta oligarki yang menyetel hukum tergantung kepentingan dan kebutuhan, maka untuk apa masyarakat luas patuh terhadap hukum? 

Salah satu contoh paling sederhana dari pengaplikasian midset tersebut ialah maraknya penawaran untuk memberikan "Uang Damai," ketika terjerat tilang kepolisian oleh masyarakat umum karena tidak mau repot mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Akhirnya, bisa dinilai bahwa permasalahan terkait sulitnya menjadikan hukum sebagai budaya yang luhur di negeri ini merupakan sebuah permasalahan struktural yang rumit dan multi sektor, sebab berkaitan dengan sistem dan struktur itu sendiri, sebagaimana ungkapan Mahfud MD., yakni, "Malaikat masuk ke sistem Indonesia pun bisa jadi Iblis!"

Berdasarkan penjabaran yang telah dituliskan, solusi untuk memperbaiki sistem yang rusak demi mewujudkan hukum sebagai budaya yang luhur di Indonesia adalah dengan memperbaiki sistem atau struktrur yang ada, lalu bagaimana caranya?

 Saran hemat penulis sebagai penutup dalam tulisan ini, ialah dengan menggerakan kekuatan rakyat banyak yang mengindahkan isu ini, melalui kolaborasi kajian, advokasi, perumusan strategi, pengorganisasian dan pemberian pantikan kepada masyarakat umum guna memperluas jejaring pihak yang sadar dan peduli, untuk menyelenggarakan aksi nyata dalam bentuk dorongan agar seluruh pejabat pemerintahan dan elemen yang berkuasa di negeri baik dalam kondisi yang sadar maupun karena  tertekan dan terancam, bergerak memperbaiki sistem hukum yang ada, karena tidak mungkin untuk disangkal lagi bahwa mandeknya perbaikan sistem hukum di Indonesia disebabkan oleh adanya mafia-mafia kuat yang saat ini merasa nyaman, aman, dan diuntungkan, dengan sistem hukum yang saat ini sedang berlaku, dan menjadi Pekerjaan Rumah bagi kita bersama untuk "Syukur-syukur" menyadarkan mereka, memutus regenerasinya, atau jika tidak ampuh menendang mereka keluar dari sistem sebelum secara bersama-sama merancang dan memperbaiki sistem hukum di Indonesia ke arah yang lebih baik.

Saran tersebut, mungkin terdengar agak radikal namun tetap penulis tuliskan, karena saran-saran normatif dan abstrak seperti meningkatkan integritas moral aparat penegak hukum, mengedepankan pola pendidikan hukum Pancasila, membangun budaya hukum berdasarkan jati diri bangsa dengan Nilai-nilai Ketimuran, atau yang lebih lucu lagi meninggalkan nilai-nilai Barat atau Asing dalam budaya hukum kita (Tiba-tiba menyalahkan budaya hukum negara barat yang jusru lebih maju dan berintegritas dari kita??) yang telah banyak dituliskan dalam artikel lain, nyatanya hingga saat esai ini dituliskan belum menjawab problematika terkait cara membudayakan hukum di tanah air, karena menurut penulis menjadikan hukum sebagai budaya yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat Indonesia hanya akan menjadi cita-cita di alam mimpi belaka, selama sistem dan struktur hukum yang notabenenya sangat berpengaruh, tidak diperbaiki terlebih dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun