Sebagai seorang pegawai yang berpindah-pindah tugas, saya bertemu dengan banyak orang yang punya masalah dengan rumah tinggal. Â Salah satunya adalah seorang pegawai senior yang saya temui ketika pertama kali bertugas di Solo pada tahun 1993. Saat itu, senior saya tersebut akan menjalani masa pensiun dalam waktu yang tidak terlalu lama, tetapi dia belum menyiapkan sebuah rumah yang akan dia tinggali saat pensiun nanti.
Rupanya, karena selama berdinas lebih dari 30 tahun dan berpindah-pindah kota dia selalu tinggal di rumah dinas, dia terlena dan tidak pernah memikirkan sebuah rumah untuk masa tuanya. Perusahaan tempat kami bekerja memang menyediakan rumah dinas bagi pegawai yang berpindah-pindah. Jika rumah dinas tidak ada, maka  akan diganti dengan uang perumahan yang diberikan per tahun.
Saat pensiun tiba, dia baru bingung. Dia tidak punya tanah atau rumah warisan di kampung yang biasanya diandalkan para pensiunan, uang pesangon yang dia terima dari perusahaan juga tidak cukup untuk membeli sebuah rumah, meski untuk rumah tipe sederhana sekalipun.
Saya tidak tahu kelanjutan kisah senior saya tersebut. Kabarnya untuk sementara waktu dia menumpang di rumah salah seorang kerabatnya di kota lain. Kami tidak pernah saling berkomunikasi lagi, waktu itu ponsel juga masih jarang digunakan.
***
Belajar dari pengalaman senior tersebut, maka sejak awal berumah tangga sekaligus awal penugasan, saya dan istri langsung merencanakan untuk membeli sebuah rumah. Tetapi rencana tersebut ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan. Kebutuhan sebuah keluarga baru ternyata juga tidak sedikit. Gaji saya di tahun-tahun pertama ternyata habis untuk membeli berbagai kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. Apalagi tepat satu tahun setelah pernikahan, anak pertama kami juga lahir.
Baru pada tahun ketiga bekerja, kami mulai bisa menyisihkan sedikit tabungan dan pada tahun kelima tabungan yang ada kami rasa cukup untuk membayar dp (down payment) kredit rumah tipe kecil di Solo. Kami mulai mencari-cari lokasi perumahan yang cocok untuk kami tinggali. Mencari rumah "idaman" ternyata juga bukan hal yang mudah. Kadang saya sudah cocok, ternyata istri tidak sepakat, kadang istri sudah cocok, saya gantian yang tidak.
Hingga suatu hari datang seorang teman kantor memberi tahu bahwa di komplek tempat dia tinggal di wilayah selatan kota Solo ada sebuah rumah tipe 21 dengan luas tanah 100m2 yang akan dijual dengan cara over kredit. Harganya 17,5 juta rupiah dan masih harus melanjutkan angsuran sebesar 95 ribu rupiah setiap bulannya selama 8 tahun. Teman saya meyakinkan bahwa komplek perumahan tersebut sangat nyaman ditinggali dan prospek ke depannya sangat bagus.
Ketika saya bersama istri menengok kami berdua langsung  jatuh cinta. Meski kecil, rumah tersebut tetapi terlihat rapi dan indah. Di halaman sudah ditanami aneka bunga dan diberi pagar yang kokoh. Kelihatannya rumah tersebut dibangun dengan seni dan ketelitian yang tinggi. Bahan bangunan yang dipakai semuanya juga pilihan.
Tanpa melalui tawar-menawar yang rumit, akhirnya rumah tersebut jatuh ke tangan kami. Â Proses jual belinya juga cepat dan mudah karena pemilik lama kebetulan bekerja di bank yang memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) tersebut. Konsekuensinya, setiap bulan kami harus menyisihkan 95 ribu rupiah tadi untuk membayar KPR. Alhamdulillah, kami selalu disiplin membayar cicilan setiap bulan, hingga lunas.
Sayang, saya sekeluarga belum pernah sehari pun menempati rumah tersebut. Beberapa bulan setelah saya membeli, saya langsung pindah tugas ke kota lain. Â
Rumah tersebut akhirnya disewa seorang teman saya yang lain dengan harga sewa pertemanan. Selama 5 tahun berdinas di Solo, tiga tahun pertama saya sekeluarga tinggal di rumah kontrakan. Dua tahun berikutnya tinggal di rumah dinas.
Meskipun belum sempat ditinggali, kami tetap merasa bersyukur bahwa dalam usia di bawah 30 tahun kami sudah bisa membeli rumah. Kelak jika masa pensiun tiba, setidaknya kami punya tabungan rumah, tidak seperti nasib senior saya di atas.
***
Dari Solo saya pindah ke Tulungagung. Di kota penghasil marmer tersebut saya tinggal di rumah dinas yang terletak di pusat kota. Â Rumahnya cukup besar dengan fasilitas cukup lengkap. Bangunan rumah dinas ini adalah bangunan lama. Banyak cerita horor dari teman-teman tentang rumah yang kami tinggali tersebut. Alhamdulillah, kami sekeluarga tidak pernah mengalaminya.
Dua tahun kemudian saya pindah lagi ke Palembang. Di kota pempek ini saya juga tinggal di rumah dinas. Rumah dinas yang kami tempati adalah sebuah rumah tua sederhana yang bagian bawahnya dibangun dari bahan tembok, sementara bagian atasnya dari bahan kayu. Atapnya terbuat dari seng. Soal bangunan rumah sebenarnya tidak begitu masalah bagi kami. Yang agak menjadi masalah adalah soal air. Meski air PDAM, tetapi di rumah dinas kami setiap harinya hanya mengalir satu jam, itupun harus disedot dengan pompa listrik. Romantika tinggal di rumah dinas Palembang pernah saya tulis disini.
Dari Palembang kemudian kami pindah ke Jakarta pada tahun 2004. Disini cerita soal rumah lain lagi. Di Jakarta, kami tidak kebagian rumah dinas karena jumlahnya sangat terbatas, sebagai gantinya kami mendapat uang penggantian rumah. Yang menyedihkan, ternyata uang rumah tersebut tidak cukup untuk menyewa sebuah rumah atau kontrakan yang layak untuk sebuah keluarga. Setiap kali menerima uang rumah, kami bukannya senang, tetapi malah pusing bagaimana mencari tambahan untuk membayar kontrak.
Setelah dua tahun mengontrak rumah di wilayah Jakarta Selatan, kami akhirnya berpikir untuk membeli rumah daripada setiap tahun pusing mencari tambahan.Â
Kami mencari rumah yang layak dan aman di sekitar tempat kami mengontrak, ternyata harganya cukup tinggi. Mau ambil KPR hitung-hitungannya juga tidak masuk.
Akhirnya kami memutuskan mencari rumah di Depok dengan harapan harganya terjangkau dengan kemampuan kami. Saat mencari rumah di Depok ini juga ada sedikit unsur kejutan. Waktu itu saya ingin mencari di Perumahan Depok Dua, tetapi ketika tiba di stasiun kereta saya membaca sebuah iklan rumah dijual yang di tempel di stasiun. Saat itu juga langsung saya tengok bersama istri. Alhamdulillah langsung cocok.
Saat itu kami tidak memegang uang cash, kami hanya punya aset rumah di Solo. Â Setelah cocok dengan rumah di Depok, saya bilang kepada pemilik lama bahwa pembayarannya nanti menunggu uang hasil jual rumah di Solo. Untungnya dia mau dengan kesepakatan tersebut.Â
Alhmadulillah rumah di Solo cepat laku dan saya hanya perlu sedikit tambahan uang untuk membayar rumah di Depok tersebut. Rumah inilah yang kami tempati dari tahun 2006 hingga saat ini.
Di halaman rumah saya, juga ditumbuhi tanaman buah-buahan. Setiap akhir pekan, meski tinggal tidak jauh dari kota, kami masih bisa menikmati suasana kampung dengan segala keunikannya. Tanpa terasa, sudah lebih dari 11 tahun rumah tersebut kami tinggali.
Beli Rumah, Kredit atau Tunai ?
Kami pernah melakukannya dengan kedua cara tersebut. Rumah pertama di Solo kami beli dengan cara kredit, tepatnya over kredit dari pemilik pertama. Sementara rumah di Depok, kami beli dengan cara cash.Â
Kedua cara tersebut mempunyai kelebihan masing-masing. Saat di Solo, rasanya tak mungkin kami membeli dengan cara tunai karena saat itu kami hanya punya uang yang cukup untuk membayar uang muka saja. Saat itu saya masih pegawai baru yang sedang merintis karir dengan gaji yang sangat terbatas.
Rumah di Depok kami beli secara cash dengan uang yang kami dapat hasil menjual rumah di Solo. Jika harus membeli rumah dengan cara kredit, mungkin cash flow kami akan terganggu juga. Saat tinggal di Depok, konsentrasi kami lebih banyak untuk membiayai untuk pendidikan anak-anak. Jika harus ditambah dengan kewajiban membayar cicilan KPR, saya tentu akan bertambah pusing.
Kredit Rumah, Kenapa tidak Maybank ?
Di jaman saya mengambil kredit KPR dulu, pilihan bank yang bisa memberikan kredit tidak banyak. Seingat saya hanya satu, yaitu BTN. Saat ini, banyak pilihan bank yang bisa kita pakai, salah satu yang bisa dipilih adalah Maybank.
Saat ini Maybank sedang mengadakan Promo Bunga Maybank KPR. Bagi mereka yang ingin memilih skim pembiyaan secara syariah, Maybank juga menyediakan fasilitas tersebut. Program suku bunga khusus berlaku untuk Kredit Properti (KPR) dan Pembiyaan Rumah Syariah iB. Promo yang ditawarkan adalah Kredit Properti Fix & Floating Rate  dan Maybank Rumah Syariah iB Fix & Tingkat Sewa Tidak Tetap (Promo Code E7) dengan minimal jangka waktu kredit 10 tahun dan Kredit Properti Floating Rate dan Maybank Rumah Syariah iB Tingkat Sewa Tidak Tetap (Promo Code 6).  Suku bunga dan margin tingkat sewa yang ditawarkan oleh Maybank sangat bersaing dengan perbankan lain.
Â
*Tulisan ini juga di-share ke Facebook dan Twitter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H