Dilema Pegawai Outsourcing
Selama bertahun-tahun, persoalan pegawai outsourcing menjadi sebuah masalah laten dalam dunia ketenagakerjaan kita. Dari sisi perusahaan, sepintas status pegawai tersebut cukup menguntungkan. Dengan pola outsourcing, perusahaan bisa mendapatkan tenaga kerja yang cukup murah karena upah dan gaji yang dibayarkan kepada mereka biasanya mengacu pada ukuran Upah Minimum Propinsi (UMP).
Dengan pola ini, perusahaan biasanya juga tidak mau ribet dengan berbagai urusan ketenagakerjaan karena kontrak perusahaan tidak langsung dengan para pegawai tersebut, tetapi perusahaan melakukan kontrak dengan perusahaan lain yang secara khusus menyediakan tenaga outsourcing ini.
Sementara dari sisi pegawai, status outsourcing merupakan sebuah status yang sangat tidak mengenakkan. Dengan status seperti ini, tidak ada jenjang karir yang jelas bagi para pegawai karena biasanya mereka terikat untuk bekerja dalam suatu pekerjaan tertentu saja.
Setiap saat mereka juga bisa dikenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan tempat mereka bekerja. Perlindungan hukum terhadap mereka juga sangat lemah. Satu kesalahan kecil saja mereka bisa langsung bisa kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Dalam pekerjaan sehari-hari, mereka biasanya juga sering dipandang sebelah mata oleh para pegawai yang sudah berstatus sebagai pegawai tetap. Bahkan mereka sering diberi beban kerja yang lebih berat, sementara pegawai yang sudah tetap menganggap diri mereka sebagai atasan mereka.
Mudah-mudahan, apa yang dilakukan PT Pos Indonesia ini bisa menjadi contoh bagi BUMN dan perusahaan lain yang sampai saat ini masih banyak yang mempekerjakan pegawainya dengan status outsourcing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H