Tepat pukul 06.20 pagi tanggal 31 Oktober 2013, pesawat Saudia Airlines yang membawa rombongan jamaah haji mendarat dengan mulus di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Para penumpang yang berjumlah 443 jamaah turun satu persatu dengan wajah gembira. Tidak tampak sedikit pun keletihan pada wajah-wajah mereka, meskipun mereka baru terbang selama lebih kurang 9 jam non-stop dari Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.
Sebagian jamaah ada yang langsung bersujud begitu menjejakkan kaki di lapangan udara tersebut, sebagai ungkapan rasa syukur yang mendalam setelah mereka dapat menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji selama 40 hari. Untuk bisa menjadi tamu Allah, mereka harus rela menunggu selama bertahun-tahun.
Alhamdulillah, saya dan istri termasuk dalam rombongan tersebut. Meski usia kami saat itu 45 tahun, kami termasuk anggota termuda dalam rombongan. Jamaah lain rata-rata berusia di atas 60 tahun, bahkan ada yang sudah di atas 80 tahun.
[caption caption="Berpose di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, setelah turun dari pesawat"][/caption]
Cita-Cita Naik Haji Saat Muda
Salah satu cita-cita tertinggi setiap muslim adalah bisa menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Tetapi, ketika melihat besar biaya yang harus disiapkan dan antrian yang panjang, seringkali membuat banyak orang ragu. Apalagi ketika membandingkan penghasilan yang diterima dan pengeluaran untuk berbagai macam kebutuhan, keinginan tersebut rasanya menjadi terlalu jauh untuk bisa terlaksana.
Keinginan untuk naik haji saat usia masih muda, sudah menjadi tekad ketika kami membangun keluarga baru. Kami membayangkan, akan menjadi sangat indah bisa menunaikan haji pada saat badan masih sehat dan kuat. Disamping bisa lancar untuk melaksanakan berbagai ibadah yang cukup berat, kami juga berharap dapat membantu jamaah lain yang lebih sepuh usianya.
Dengan niat seperti itu, maka pada suatu hari di tahun 2008 kami nekad membuka dua akun Tabungan Mabrur, tabungan khusus haji, pada Bank Syariah Mandiri (BSM) Depok. Pembukaan tabungan ini bagi kami merupakan kesungguhan untuk mewujudkan niat tersebut. Kalau pada akhirnya nanti tidak bisa berangkat, kami berharap apa yang kami lakukan tersebut juga akan tercatat sebagai amal ibadah. “Innamal a’malu binniyat, setiap amal akan tergantung pada niatnya”, petikan hadits dari Nabi Muhammad SAW tersebut selalu terngiang-ngiang pada diri kami.
[caption caption="Tabungan Mabrur, tabungan khusus haji, Bank Syariah Mandiri (BSM)"]
Setiap bulan, tabungan tersebut kami isi sedikit demi sedikit. Kadang seratus ribu untuk masing-masing rekening, kadang dua ratus ribu. Jika suatu saat ada uang lebih, kami juga selalu masukan pada rekening tersebut. Sampai kapan kami bisa memenuhi setoran awal untuk haji, kami tidak pernah memikirkannya.
Saat itu, setoran awal yang harus dibayar agar bisa mendapat antrian dan tercatat sebagai calon jamaah haji adalah sebesar 20 juta rupiah. Untuk dua orang kami harus menyiapkan 40 juta rupiah.
Tiba-tiba, pada awal tahun 2010 kami mendapat kabar bahwa jumlah setoran awal haji akan naik menjadi 25 juta rupiah. Kabar itu tentu mengagetkan kami. 20 juta saja masih jauh, apalagi naik menjadi 25 juta. Penantiannya tentu akan lebih lama lagi.
Akhirnya kami bermusyawarah untuk mencari jalan keluar. Alhamdulillah ketemu, solusinya adalah menjual apa saja yang bisa dijual, termasuk sedikit perhiasan yang biasa dipakai istri, agar bisa menutup setoran awal 20 juta tersebut. Setoran terpenuhi, kami tercatat sebagai calon jamaah haji dengan nomor porsi 1000295548 dan 1000295549.
Satu tahap telah terlewati, soal kapan berangkat kami belum memikirkannya. Saat itu, kami juga belum punya pikiran bagaimana nanti melunasinya. Yang kami lakukan adalah seperti sebelumnya, menyisihkan sebagian dari pendapatan kami setiap bulan untuk rekening kami tersebut.
Pada tahun 2013, akhirnya nama kami tercatat sebagai calon jamaah haji yang harus berangkat. Biaya yang harus kami bayar adalah 3.522 Dollar US, jika dirupiahkan sekitar 34,5 juta rupiah.
Dengan membawa buku tabungan, kami berdua datang ke BSM Depok untuk melunasi. Setelah dihitung dan dikonversi ke mata uang Dollar, akhirnya diketahui bahwa tabungan kami masih kurang. Kami harus menambah lagi sebesar 30 ribu rupiah.
Istri saya sempat menitikkan air mata saat melunasi biaya tersebut. Betapa Allah sangat menyayangi kami. Kini kami harus menyiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya, baik persiapan lahir maupun batin.
Kenapa Harus Melalui Bank Syariah
Pada waktu itu belum ada ketentuan bahwa Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) harus disetor melalui bank syariah, seperti aturan yang berlaku saat ini. Meskipun demikian, pada saat itu kami memutuskan untuk menabung dan membayar setoran BPIH melalui bank syariah.
Ada banyak pertimbangan mengapa kami melakukan itu. Salah satunya adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya bunga bank. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syariah dan mudah dijangkau, MUI memberi fatwa tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan pada perhitungan bunga. Sementara untuk wilayah yang belum terjangkau, masih diperbolehkan melakukan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Kami ingin mempersiapkan ibadah haji yang mungkin hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup ini dengan sebaik mungkin, termasuk dalam masalah tabungan dan penyetoran BPIH ini. Sebagai orang awam kami berusaha mengikuti semua nasehat dan saran dari para ustadz pembimbing kami, termasuk nasehat dari ibu saya agar biaya BPIH dizakati terlebih dahulu sebelum disetorkan ke bank.
Lebih dari Sekedar Bank
Melakukan transaksi melalu bank syariah, sebenarnya bukan hanya saya lakukan saat menabung dan menyetor BPIH saja. Jauh sebelumnya, saya juga telah menggunakan beberapa layanan di bank syariah lain, antara lain kartu Shar-E Bank Muamalat dan tabungan di Bank BNI Syariah.
Secara teknologi dan layanan yang tersedia, menurut pengalaman saya pribadi, bank syariah tidak kalah dibandingkan dengan bank konvensional. Semuanya online dan real time. Selama ini saya juga belum pernah gagal melakukan transaksi.
Dengan mengusung nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin, bank syariah juga ramah bagi semua nasabah. Tidak pernah membedakan dari suku, golongan maupun agama tertentu saja. Karena itu tak heran jika bank syariah juga dapat menjadi tempat yang nyaman bagi nasabah non-muslim.
Bagi saya, bank syariah justru punya banyak nilai lebih dibanding bank konvensial. Setiap kali masuk ke kantor bank syariah, saya selalu menemukan nuansa dan nilai yang berbeda. Ada kesejukan dan rasa tentram yang tidak saya jumpai di tempat transaksi umum lainnya.
Setiap nasabah yang datang akan selalu mendapat pelayanan yang ramah dan penuh senyum dari para pegawai bank syariah, lengkap dengan pakaian yang sopan, syar’i dan jauh dari glamour. Masuk ke gedung bank syariah rasanya seperti masuk ke rumah atau kantor sendiri.
Suasana ini tak lepas dari nilai-nilai yang diusung oleh bank syariah itu sendiri. Dalam operasinya, bank syariah tidak hanya berorientasi pada profit, keuntungan duniawi semata, tetapi juga berorientasi pada falah, kemenangan sejati di dunia dan akherat nanti.
Jika saja perbankan syariah di Indonesia mampu mengusung nilai-nilai tersebut secara konsisten dan pada saat yang sama juga dibarengi dengan edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat luas, maka bank syariah akan sangat berpotensi menjadi perbankan utama di negeri muslim terbesar di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H