Mohon tunggu...
Al Johan
Al Johan Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka jalan-jalan

Terus belajar mencatat apa yang bisa dilihat, didengar, dipikirkan dan dirasakan. Phone/WA/Telegram : 081281830467 Email : aljohan@mail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Masih Banyak Orang Baik di Jakarta

16 Juni 2012   11:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan tahun 2004 saya mendapat surat pindah tugas dari Palembang ke Jakarta. Sepuluh hari sebelum saya membawa seluruh keluarga ke Jakarta, saya berangkat dulu untuk mencari kontrakan rumah dan melapor ke kantor yang baru.

Seorang teman memberi masukan agar  saya mencari rumah kontrakan di wilayah selatan Jakarta. Wilayah ini masih cukup ideal untuk dijadikan tempat tinggal, udara dan airnya masih cukup segar. Di samping itu, yang tak kalah penting adalah kemudahan transportasi. Untuk ke kantor, cukup naik  KRL sekali dari stasiun Lenteng Agung lalu turun stasiun Juanda, setelah itu langsung jalan kaki ke kantor.

[caption id="attachment_188468" align="aligncenter" width="500" caption="Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, tempat  bersantai saya keluarga (foto : www.beritabatavia.com)"][/caption] Setelah mendapatkan sebuah rumah kontrakan di Srengseng Sawah Jakarta Selatan, saya balik lagi ke Palembang untuk menyiapkan kepindahan bersama keluarga. Barang-barang dan semua perabotan rumah saya kirimkan lewat truk, sehari sesudahnya saya sekeluarga berangkat naik pesawat.

Perkiraan saya truk paling cepat akan sampai di Jakarta satu atau dua hari setelah saya sampai di Jakarta, sehingga saya masih punya waktu untuk mencari tenaga yang bisa membantu menurunkan barang dari truk.

Ternyata perkiraan tersebut meleset. Sekitar jam enam sore, begitu turun dari pesawat, sopir truk menelpon saya dan menginformasikan bahwa truk sudah sampai di Jakarta dan akan langsung diantar ke tempat sekitar jam sembilan malam.

Mendengar berita tersebut, saya langsung kaget dan bingung, “Duh, bagaimana ini. Siapa nanti yang akan membantu menurunkan barang. Saya belum punya kenalan orang di Jakarta. Apa saya harus menurunkan semua barang sendiri bersama keluarga saya yang baru datang ?”

Jam setengah delapan malam taksi tiba di rumah kontrakan, setengah ragu saya menceritakan masalah saya ke Pak Jon, pemilik rumah kontrakan, tentang kedatangan truk yang membawa barang pindahan saya, sekaligus meminta bantuan Pak Jon untuk mencarikan tenaga yang bisa membantu menurunkan barang-barang tersebut.

Tanpa diduga,  dengan santainya Pak Jon menjawab, “Tenang saja, disini banyak tetangga yang siap membantu menurunkan barang-barang tersebut”. Plong, jawaban ini sangat melegakan saya.

Benar saja, ketika truk datang pada jam 9 malam, tiba-tiba muncul 12 orang tenaga bantuan berebutan menurunkan barang-barang dari truk dan langsung memindahkan ke rumah kontrakan saya yang jaraknya kira-kira 200 meter dari jalan raya. Pekerjaan baru selesai sekitar jam 12 malam.

Ketika pekerjaan selesai, saya bertanya lagi kepada Pak Jon, berapa saya harus membayar upah tenaga mereka. Mendengar pertanyaan tersebut, Pak Jon justru menunjukkan wajah tidak senang. Disini, katanya, tidak ada model bayaran untuk pekerjaan seperti itu, semua biasa dikerjakan secara bergotong royong.

Pengalaman pertama ini sangat mengejutkan saya. Berlawanan dengan berbagai cerita dari banyak orang tentang Jakarta yang katanya banyak dihuni oleh orang-orang yang individualis dan tak kenal satu sama lain, di lingkungan baru tersebut saya ternyata menemukan banyak orang yang baik dan tulus membantu orang lain, meskipun orang tersebut belum mereka kenal sebelumnya.

Dari pergaulan hidup berikutnya, saya kemudian banyak mengambil pelajaran dari orang-orang di lingkungan saya. Di RT tempat saya tinggal, rapat bulanan RT selalu menjadi waktu yang sangat dinanti-nantikan seluruh warga. Di forum ini segala macam problematika RT dibicarakan bersama dan dicari jalan keluarnya.

Dana sosial juga digalakkan, setiap kali ada warga yang terkena musibah, entah sakit atau meninggal, akan selalu mendapatkan bantuan dari RT.

Even 17 Agustus juga selalu menjadi hari yang dirayakan seluruh warga. Pertandingan olah raga, lomba masak, renungan malam, mancing bersama, lomba anak-anak, pentas seni dan lain sebagainya akan diselenggarakan secara meriah untuk merayakan hari kemerdekaan RI.

Di Srengseng Sawah saya juga bisa menikmati suasana yang masih hijau dan segar. Setu Babakan, danau dan pusat perkampungan Betawi, letaknya hanya di seberang jalan rumah kontrakan saya. Kebon binatang Ragunan jaraknya juga hanya sekitar 3 km, jika ditempuh dengan kendaraan umum hanya memakan waktu kira-kira 15 menit.

Selain di lingkungan tempat tinggal, di kantor saya juga bertemu dengan banyak orang baik di Jakarta ini. Meskipun gaji yang dibawa pulang bisa dibilang pas-pasan, mereka rela datang pagi-pagi ke kantor dan mengerjakan semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka dengan baik. Mereka juga sangat menjaga hubungan yang hangat dengan sesama rekan pekerja.

Itulah mungkin beberapa hal yang membuat saya betah tinggal di Jakarta. Kesan seperti yang saya rasakan ini ternyata juga dirasakan oleh banyak teman saya. Banyak di antara mereka yang rela dikenai hukuman disiplin karena mereka ternyata lebih memilih Jakarta dan menolak pindah ke tempat lain. “Boleh pindah kemana saja, asal tiap hari masih bisa melihat Monas”, begitu celoteh mereka.

Apa yang saya tulis di atas merupakan secuil pengalaman pribadi saya. Belum lagi mereka yang ingin mengembangkan karier di dunia pekerjaan, politik, bisnis, olah raga, artis atau dunia yang lainnya. Untuk urusan-urusan seperti itu Jakarta lah tempatnya.

Disamping ada hal-hal “menyenangkan” di atas, Jakarta tentu juga menyimpan hal-hal yang “menyebalkan”. Kemacetan, banjir, udara yang buruk, kriminalitas atau perilaku sebagian elit yang menyesakkan dada dan beritanya setiap hari dapat kita ikuti di media massa, adalah beberapa contoh “menyebalkan” kehidupan di Jakarta.

Kalau saja ada yang mau menimbang, hal-hal yang “menyenangkan” di Jakarta kayaknya tetap lebih banyak daripada yang “menyebalkan”. Inilah mungkin yang membuat banyak orang tetap mau bertahan di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun