Kemaksiatan yang tidak kalah suburnya juga terjadi di berbagai organisasi yang melabelkan agama. Sebelum memberi fatwa, lebih baik memastikan tidak ada lagi kemaksiatan melalui proposal fiktif, berhenti untuk mendukung salah satu kontestan demi uang, karena ini juga merupakan kemaksiatan, bahkan lebih besar hukumannya, karena men-dhalimi banyak orang.
Kemaksiatan berjamaah dan terstruktur juga terjadi saat bagi-bagi uang proyek. Yang lebih besar lagi, jika ada yang berani memakan uang pembangunan tempat ibadah, yang diyakini sebagai rumah Tuhan. Kemaksiatan juga dapat terjadi di saat penggusuran dilakukan karena kecemburuan sosial atau kalah saing perdagangan.
Apakah dengan membongkar dan menutup tempat wisata tersebut dapat menjawab persoalan? Apakah angka “kemesraan” akan berkurang? Saya kira ini tidak akan terjawab. Jika kita mau jujur dan berhenti untuk munafik massal, masih banyak yang harus dibenahi menyangkut pemahaman keagamaan.
Kemaksiatan dengan gaya yang sama sebenarnya tidak hanya terjadi di tempat wisata, tapi juga tidak tertutup kemungkinan di ruang yang lebih tertutup seperti hotel, perumahan atau bahkan di tempat pendidikan, atau di perkantoran. Haruskah semua fasilitas itu di bongkar?
Hal yang paling utama harus di lakukan adalah memberikan pendidikan yang memadai, memperkenalkan yang mana yang baik, yang halal dan haram kepada anak-anak. Orangtua harus membekali anak-anaknya dengan ilmu, sehingga apa yang disebut sebagai maksiat itu tidak terjadi, dan tidak perlu untuk membongkar tempat wisata alami tersebut. Jika itu dianggap sebagai kemunduran, peran pemerintah dalam menyediakan pendidikan kepada masyarakat juga gagal.
Solusi
Hampir menjadi kebiasaan, pemerintah hadir disaat suatu masalah sudah terjadi, seperti penghukuman terhadap pelanggar syariat, pondok-pondok wisata itu pun menjadi sasaran. Tapi pemerintah selalu absen disaat perencanaan, pembangunan, penganggaran, pembinaan, pengawasan.
Cukup sudah penggusuran, pembongkaran, pembakaran tempat wisata, apalagi jika dilakukan dengan kekerasan dan mendapat perlawanan, ini tentu tidak baik bagi aceh. Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota harus memiliki program pengembangan wisata, harus mampu menawarkan konsep pariwisata yang peka dengan perkembangan Aceh sekarang.
Jika di kelola dengan baik, pariwisata bisa menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga dapat mendongkrak Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK). Apalagi di setiap kabupaten/kota memiliki Dinas yang mengurusi Pariwisata.
Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan manusia akan hiburan berbanding lurus dengan kesibukan mencari nafkah. Tempat-tempat wisata itu tidak sepenuhnya digunakan sebagai tempat mesum, tapi juga dimanfaatkan oleh keluarga pada hari libur.
Barangkali bagi pejabat dan pengusaha, hari libur di habiskan di tempat wisata di luar aceh, tapi bagi yang ekonomi pas-pasan, wisata lokal adalah pilihan. Bagi masyarakakat yang ingin membangun tempat pariwisata, jika pemerintah kabupaten/kota belum hadir, maka dapat bermusyawarah dengan aparatur gampong.