Mohon tunggu...
Ali Zaenuddin
Ali Zaenuddin Mohon Tunggu... Penulis - Masih Mahasiswa

Analis Kebijakan Publik Pada Konsentrasi Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik (IPKP) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Beragama di Era Disrupsi, Post-Truth Society dan Komoditas Simbolik

23 Juni 2020   23:01 Diperbarui: 23 Juni 2020   23:07 5084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi (Sumber: Instagram/musabhamzacelik)

Kalangan atau golongan yang terpapar post-truth lebih tunduk pada emosi, keyakinan pribadi atau ideologi yang dianutnya, daripada kebenaran yang bersifat faktual. Penerimaan informasi berdasarkan perasaan, suka dan tidak suka. 

Sehingga betapapun informasi dari pihak lain walaupun didasarkan pada kebenaran faktual, tatapi karena memang tidak suka, maka ditolaknya. Begitupun sebaliknya, jika memang sejak awal telah suka, informasi dari kalangannya sendiri langsung diterima kendati belum tentu benar. 

Ketika seseorang mengaku sebagai ahli, termasuk ahli agama berdasarkan keilmuan yang diperoleh bukan melalui proses pembelajaran serta literasi keilmuan, melainkan hanya dari internet, maka hanya akan melahirkan para penyebar informasi, termasuk informasi keagamaan yang tidak benar atau keliru. 

Kemudian penyebar informasi tersebut memiliki simpatisan atau massa yang fanatik turut membenarkan apa-apa yang disampaikannya karena dari awalnya sudah suka, maka tetap akan diterima. 

Walau bagaimanapun dan apapun keadaannya. Fenomena ini yang penulis maksud sebagai buah dari disrupsi keagamaan akan melahirkan masyarakat pasca kebenaran atau post-truth society.

Keberagamaan Otentisitas atau Komoditas Simbolik 

Selain menghadirkan deprivatisasi agama, fenomena desrupsi juga menyebabkan otentisitas dalam beragama mengalami pergeseran makna. Kesalehan berubah wujud menjadi komoditas simbolis dan sasaran publisitas yang dapat mengingkari kesejatian atau otentisitas dalam beragama. 

Artinya, ukuran kesalehan seseorang dapat diketahui dari simbol-simbol keagamaan yang melekat pada dirinya, seperti pakaian yang sunnah, gamis serta kerudung atau jilbab yang syar'i, celana cingkrang, jenggot yang panjang, jidat yang menghitam dan mengenakan cadar, niqab bagi wanita Muslimah, serta memakai produk-produk kecantikan yang halal. 

Simbol-simbol ini seakan menegasikan kesalehan yang otentik. Misalnya, intensitas ibadah, sedekah, segala perbuatan yang baik, apapun itu tentunya dilakukan secara diam-diam tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Tidak diumbar diruang publik. 

Hal ini yang kemudian penulis maksud sebagai keberagamaan otentik. Keberagamaan otentik adalah yang memberikan dampak kemaslahatan kepada publik, bukan hanya sekadar simbol belaka.

Komoditas simbolis pada saat ini telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keberagamaan. Para generasi millennial merespon fenomena tersebut secara positif karena kesalehan simbolis dapat dikatakan sebagai sebuah trend masa kini, seperti hijrah yang dikemas dengan begitu kekinian sehingga dapat menjangkau berbagai kalangan dan lintas profesi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun