Kita sering mengatakan, "jangan melihat buku dari covernya, tapi lihatlah isinya." Namun, faktanya kita masih sering terperangkap dengan tampilan yang simbolik.
Dalam sebuah diskursus, Cassirer mengatakan bahwa manusia bukan hanya sebagai animal rational, namun ia juga adalah bagian dari animal symbolicium. Simbol merupakan sebuah representasi dari eksistensi komunitas atau kelompok tertentu.
 Seperti agama, setiap agama memiliki ciri atau simbol khusus. Bahkan agama juga merupakan sebuah institusi yang melekat dengan simbol. Persoalan mengenai simbol, terutama simbol yang identik dengan agama, menjadi sebuah hal yang menarik karena seakan-akan simbol menjadi sebuah cerminan kebenaran dan kesalehan dalam relasi sosial.Â
Fenomena ini dapat dilihat dari pola pikir masyarakat sekitar kita yang memiliki persepsi atau anggapan bahwa ciri kesalehan seseorang diukur dari caranya berpakaian dan berpenampilan. Apakah pakaiannya sudah syar'i? Apakah dia berjilbab? Apakah dia berjenggot? Apakah celananya cingkrang? Apakah dia bercadadar?
 Lantas, jika seseorang yang pakaian atau penampilannya tidak syar'i, belum mengenakan jilbab atau tidak memiliki jenggot lalu dikonotasikan sebagai orang yang belum saleh? Apakah mereka yang celananya tidak cingkrang adalah orang-orang yang sombong? Jika demikian, apakah relevan jika mengukur tingkat kesalehan seseorang dari apa yang dia pakai?Â
Tentu saja tidak. Terlalu naif apabila simbol agama hanya dijadikan sebagai suatu patokan terhadap pribadi seseorang. Seolah simbol itu sendiri telah menegasikan aspek-aspek religius lainnya seperti intensitas dan kuantitas ibadahnya, kebaikan yang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, tolong menolong terhadap sesama, serta berbagai hal positif lainnya yang tentu tidak diketahui oleh orang lain.
Kesalehan Simbolis atau Kesalehan Sosial?
Sebelum penulis mengulas lebih jauh dan mendalam mengenai simbol agama dan segala hal yang berkaitan dengannya, penulis ingin menceritakan sebuah pengalaman yang pernah dia alami beberapa tahun yang lalu saat musim libur Ramadhan. Sebagai seorang santri, tentunya memiliki simbol atau ciri khas yang sangat identik seperti jubah, baju koko, peci, sorban, sarungan, dan selalu bergerombol.Â
Sangat mudah untuk mengidentifikasi mereka bila berada di tengah keramaian, baik di terminal, stasiun kereta api, pelabuhan, bandara atau di pusat perbelanjaan sekalipun. Artinya, santri memiliki ciri khas yang simbolik sehingga mudah dikenali.Â