Mohon tunggu...
Ali Zaenuddin
Ali Zaenuddin Mohon Tunggu... Penulis - Masih Mahasiswa

Analis Kebijakan Publik Pada Konsentrasi Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik (IPKP) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orang Tua Radikal, Malapetaka Masa Depan Anak

26 Januari 2020   00:53 Diperbarui: 26 Januari 2020   00:50 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi (Sumber: dmandey.com)

Keluarga adalah salah satu unit terkecil dari masyarakat, adapun anggotanya terdiri dari  suami istri dan anak. Salah satu anjuran Agama bagi penganutnya adalah membangun rumah tangga 'keluarga'. Anjuran ini agar setiap manusia dapat merasakan keharmonisan dan kesejahteraan dalam kehidupan. 

Dalam agama Islam sendiri, keluarga merupakan bentuk aktualisasi 'sunnah' yang pernah di contohkan Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu, Islam memiliki peran sentral dan konsep  besar terhadap kehidupan berumah tangga.

Pada kaitan ini, legalitas tertinggi yang bertanggungjawab atas keharmonisan rumah tangga adalah peran orangtua. Termasuk dalam mengatur kurikulum keluarga seperti mendidik, membimbing dan mengajarkan  anak dalam aspek religiusitas  dan aspek pendidikan umum. Agar anak terdorong dan semangat dalam meraih cita citanya 'sukses' yang selama ini di inginkan kebanyakan orangtua pada umumnya.

Lalu ada sebuah pertanyaan ? Bagaimana ketika orangtua memiliki pemikiran radikal, fanatis dalam beragama, tidak menghargai agama orang lain 'intoleransi', menganggap dirinya yang paling benar, terlalu menutup diri  'eksklusif' dan tidak mau bersosial dengan orang  yang tidak  memiliki perspektif dengannya bahkan bermuara kepada tindakan kekerasan. 

Hal ini akan berimplikasi terhadap masa depan seorang anak dalam menata cita-citanya, dan anak akan terjerembab kepada keadaan yang memprihatinkan 'masa depan suram'.

Secara alamiah anak akan menggugu dan meniru karakter orangtuanya, karena orang tua, terkhusus 'Ibu'  adalah sekolah pertama bagi anak anaknya. Bila seorang ayah dan Ibu memiliki dan mengkonsumsi watak kekerasan dalam beragama.

 'Radikalis' menganggap Islam adalah ideologi final untuk diajarkan, maka anak tidak akan mendapatkan proses sosial yang baik. Padahal dalam konteks 'anak usia dasar' adalah masa di mana naluri bermain 'bersosial dengan teman laki-laki maupun perempuan' harus teraktualisasi sesuai dengan fitrahnya seorang anak.

Fenomena saat ini banyak orangtua yang keliru dalam mengajarkan hukum islam kepada anaknya. 

Semua ini dilandasi pada konteks keilmuan dari 'pengajian' yang mereka ikuti. Salah satunya kelompok dengan spektrum tertinggi tingkat ke-Radikalannya yang lahir dari semenanjung Arabiyah pada abad 18 yakni gerakan Salafi atau kelompok Wahabiyah yang cenderung sangat colonial dalam memahami agama menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Akar Radikalisme Keagamaan, banyak ustad dari kelompok mereka menjelaskan dari media YouTube kepada pengikutnya bahwa dalam mendidik anak agar menjadi anak yang soleh indikator dan tolok ukurnya dari narasi berikut:


"Anak itu tidak boleh pegang alat komunikasi, HP. karena diakhir zaman media membawa kerusakan dan penyimpanyan"

"Ajarkan dia penguatan aqidah,  batasi mereka dengan teman yang lawan jenis"

"Perhatikan agama teman bermainnya, jangan sampai berlarut bermain dengan orang yang beda agama"

"Lihat apa yang mereka baca, dengar dan ikuti"

"Ajarkan mereka agama islam sesuai dengan manhaj salaf"

Narasi di atas menurut penulis, sah sah saja bila dilakukan pada pendidikan anak. Namun pada abad ini, abad sintesis atau era disrupsi. Pandangan di atas mengarahkan kepada para orangtua dalam kesempitan lingkup berpikir untuk mendidik anak. 

Hal ini menunjukkan kecacatan rasional orangtua dalam membangun kurikulum keluarga pada saat ini. Psikologi anak akan bergeser drastis menghantam fitrahnya dalam bermain dan belajar. 

Abad ini adalah abad di mana anak harus diajarkan kolaborasi ilmu agama, ilmu umum, sosial, komunikasi, toleransi, dan menerima keterbukaan dan semua itu memerlukan alat akses media akses literature buku dan kekayaan intelektual lainnya. 

Hanya saja orangtua perlu memerhatikan dan mengamati segala bahan belajar yang dimiliki seorang anak. Dan semua itu tidak akan bertentangan 'pengaruhnya' dengan capian kesolihan dan ketaatan seorang anak kepada Tuhannya.    

Ilustrasi (Sumber: Faturrohman S. Kanday)
Ilustrasi (Sumber: Faturrohman S. Kanday)
Oleh karenanya orangtua yang pintar, adalah orangtua yang tidak mengajarkan Islam itu sebagai agama yang Normatif, agama yang mutlak dan final tanpa ada interpretasi. Tetapi orangtua yang memandang agama sebagai bahan ajar. 

Alquran sebagai Alat media intelektual. Dan orangtua yang cerdas adalah yang mengetahui bahwa fitrah seorang anak memiliki banyak varian, yakni kecerdasan linguistic, matemathis, visual spasial, saintis sehingga bila itu diperhatikan, anak pada usia dasar akan berkembang sesuai dengan  fitrahnya. 

Bukan orangtua yang membawa pada perlawanan fitrah anak dari Tuhannya dengan mengajarkan beragam pemikiran Radikal sikap intoleransi, ego sentris dalam beragama, tidak menghargai pandangan dan agama orang lain,  maka itu sebenarnya kesesatan yang nyata menabrak syariat 'bagimu agamamu, bagiku agamaku' sehingga berimplikasi terhadap pola pikir dan kesuksesan masa depan seorang anak.

Wahyu Iskandar

(Penghamba literasi pada program pascasarjana Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah  UIN Sunan kalijaga Yogyakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun