Mohon tunggu...
Ali Zaenuddin
Ali Zaenuddin Mohon Tunggu... Penulis - Masih Mahasiswa

Analis Kebijakan Publik Pada Konsentrasi Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik (IPKP) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Narsisme Pasca-Hijrah, Eksistensialis atau Esensialis?

18 Januari 2020   13:55 Diperbarui: 19 Januari 2020   03:33 5380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hijrah (sumber: tebuireng.online)

Dari hasil perbincangan dengan "akhi" dan "ukhti" (panggilan untuk mereka yang sudah hijrah), latar belakang mereka hijrah didasarkan pada pengalaman pribadi mereka. 

Ada yang merasa kehidupannya sangat kosong, masih awam dalam agama, bahkan ada yang karena diputuskan oleh sang pacar hingga akhirnya memilih untuk hijrah sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan lain-lain. Uniknya ada yang ikutan hijrah karena melihat teman-temannya yang lain sudah hijrah.

Hijrah dalam konteks tersebut masuk dalam ranah etis ideologis. Artinya, alasan yang melatarbelakangi mereka hijrah adalah karena faktor esensial-ideologis. Sehingga hijrah adalah pilihan baginya untuk mengubah diri menjadi pribadi yang jauh lebih baik. 

Namun melihat pada fenomena yang terjadi saat ini, makna tersebut bergeser pada ranah estetis-eksistensialis. Artinya hijrah itu tentang bagaimana cara berpakaian serta identitas dan simbol-simbol yang islami seperti cadar, gamis, niqob, cingkrang, jenggot dan simbol-simbil lainnya. 

Hal ini menunjukkan adanya bentuk eksistensialisme, sehingga dengan identitas tersebut dia akan dianggap telah berhijrah. Kita juga dapat melihat perubahan yang begitu nampak dari mereka yang telah berhijrah. 

Di sosial media, seperti status Facebook, Snap WhatsApp, atau Instagram Feed mereka, sering kita menjumpai postingan-postingan yang bernuansa religius, seperti potongan ceramah ustaz-ustaz tertentu, quotes islami, atau ajakan-ajakan untuk berhijrah. Hal ini seakan menunjukkan sebuah narsisme pasca-hijrah dalam ranah eksistensialisme.

Apabila hijrah hanya ditonjolkan pada aspek eksistensial, maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap relasi sosial di sekitarnya.

Faktanya kebanyakan orang yang berhijrah mengalami keretakan hubungan sosial dengan teman atau kawan lamanya yang belum berhijrah hal ini dikarenakan konstruksi berpikir sejarah yang menekankan pada aspek ekstern eksistensial sebagaimana yang dijelaskan di atas, serta cenderung membuat dikotomi antara aku yang sudah berhijrah dan mereka yang belum berhijrah.

Oleh karena itu, maka makna hijrah harus dikembalikan pada makna asalnya bahwa hijrah bukan hanya berorientasi pada aspek eksistensial saja tetapi hijrah harus mampu menempatkan diri sebagai pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya tanpa menonjolkan sisi eksistensialisme.

Satu hal yang harus dipahami bahwa sejatinya hijrah bukan hanya persoalan sudah bercadar atau belum, seberapa besar kerudungmu, seberapa cingkrang celanamu atau seberapa panjang jenggotmu. Namun hijrah itu tentang bagaimana memperbaiki hubungan kita kepada Allah, menjadi pribadi dan hamba yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun