Mohon tunggu...
Ali Zaenuddin
Ali Zaenuddin Mohon Tunggu... Penulis - Masih Mahasiswa

Analis Kebijakan Publik Pada Konsentrasi Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik (IPKP) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Membela Hak Konstitusional Penganut Agama Leluhur

16 Januari 2020   05:12 Diperbarui: 16 Januari 2020   05:30 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan segala potensi yang dimilikinya, baik sumber daya alamnya, budaya dan kebudayaannya serta masyarakatnya yang mejemuk dengan ragam bahasa, suku, adat-istiadat, dan agama yang dianutnya.

Istilah keberagaman dapat diartikan sebagai suatu perbedaan yang muncul pada masyarakat dalam berbagai bidang yakni ras, agama, ideologi dan kebudayaannya. Namun dari keberagaman tersebut dapat memunculkan sebuah ketidak adilan atau bahkan tindakan diskriminatif.  

Diantara ketidak adilan dan perlakuan yang diskriminatif dari adanya keberagaman tersebut adalah pengakuan agama. Pemerintah Indonesia secara resmi hanya mengakui enam agama yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Dampak dari adanya pengakuan tersebut akhirnya menegasikan keberadaan dan konsistensi agama-agama leluhur yang bahkan ratusan tahun telah ada dan memiliki pengikut yang banyak di bumi nusantara, jauh sebelum datangnya agama-agama yang kini mendapatkan pengakuan oleh negara.

Pengakuan tersebut didasarkan pada pendefinisian dan pemaknaan terhadap agama. Konsep agama yang diadopsi oleh negara saat ini adalah agama didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki kitab suci, Nabi atau Rasul, doktrin ketuhanan yang Maha Esa dan mendapatkan pengakuan internasional. 

Gagasan ini kemudian diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Bowie (2005:189) bahwa pengakuan negara terhadap agama didasarkan pada beberapa aspek inti, yakni adanya kitab suci yang tertulis (based on written scripture), adanya wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Nabi, merupakan agama yang universal dan memiliki potensi untuk menghegemoni agama leluhur serta adanya doktrin agama yang terpisah dari aktivitas kelompok penganutnya.

Definisi agama yang selama ini dipahami dan diterapkan oleh pemerintah Indonesia merupakan sebuah jiplakan atau warisan konstruksi Barat abad ke-19 tentang "paradigma agama dunia" yang sarat mengandung nilai-nilai yang bersifat esensial dan memiliki superioritas serta diberlakukan secara universal.

Jika di Eropa, Kristen  dijadikan sebagai prototipe agama dunia, maka di Indonesia, Islam dijadikan prototipe agama dunia, agama-agama minoritas menyesuaikan dengan agama mayoritas dan agama-agama lokal didiskriminasai. Artinya kebijakan yang dibuat lebih dominan sekadar untuk mengimplementasikan kebijakan negara yang hanya melayani dan mengakui enam agama resmi di Indonesia.

Akhirnya kebijakan yang dibuat cenderung diskriminatif dan lebih etnosentrif tanpa mampu mengakomodasi agama-agama yang terdiskriminasi. Ketidak adilan ini semakin diperkuat dengan munculnya Penetapan Presiden (PP) No. 1 (selanjutnya ditulis PNPS 1965) yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang No.1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. 

Munculnya Undang-undang tersebut adalah sebagai upaya untuk membendung dampak dan pengaruh dari keberadaan agama-agama leluhur atau lokal di Indonesia. 

Karena, dalam pandangan dan pengertian pemerintah, munculnya aliran-aliran dan kelompok-kelompok agama lokal tersebut telah memunculkan berbagai persoalan di ruang publik serta menimbulkan berbagai macam persoalan pelanggaran hukum yang dapat memecah belah persatuan nasional dan menodai agama.

AGAMA LELUHUR DALAM PERSPEKTIF SOSIAL-ANTROPOLOGIS
Pengertian dan pemaknaan negara terhadap agama masih berorientasi pada kerangka berfikir teologis. Lalu apakah salah menggunakan perspektif teologis? Tidak ! Perspektif teologis itu penting dalam konteks kepentingan ibadah, dan permasalahan yang berkaitan dengan ummat, khususnya ummat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini. Tetapi perspektif teologis memiliki banyak keterbatasan.

Perspektif teologis sangat bias, subyektif, dan dominan dalam ranah keagamaan dan keagamaan tidak bisa diukur secara obyektif. Dan bahkan perspektif teologis cenderung politis dalam kepentingan politik dentitas agama tertentu. Perspektif teologis tidak hanya meremehkan ilmu sosiologi dan antropologi tetapi meninggalkan atau bahkan mengingkari sejarah.

Ketika agama masih bersifat teologis berdasarkan agama-agama tertentu maka yang muncul adalah diskriminasi dan alienasi agama-agama leluhur. Karena yang benar adalah hanya keyakinan kita yang telah mendapat pengakuan negara, sedangkan keyakinan orang lain telah menyimpang karena tidak mendapatkan pengakuan. 

Namun jika definisi agama itu bersifat sosial antropologis yang dilihat dari aspek historis bagaimana sebuah agama-agama leluhur diterima oleh masyarakat dan diterima sebagai sebuah keyakian, maka dengan cara demikian dapat mengakomodasi agama-agama leluhur yang ada di Indonesia.

Karena dengan perspektif historis akan meluaskan pandangan kita, tidak hanya pada saat ini, namun melihat bagaimana sebenarnya sejarah pada tahun 1965 hingga kini. Kita harus melihat lebih jauh, tidak hanya di Indonesia, tidak hanya Islam. Namun, dunia dan global yang telah berusia 6 miliar tahun.

BERSIKAP ADIL DALAM HAK KONSTITUSIONAL
Ada tiga kewajiban negara yang mesti dan harus dipenuhi. Pertama, kewajiban dalam konteks menghormati (to respect) Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada warga negaranya dan negara tidak boleh mengkooptasi atau membatasi hak-hak ini.

Kedua, kewajiban untuk melindungi (to protect) hak asasi manusia dengan menghapus aturan, regulasi atau kebijakan yang diskriminatif sebagai bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak asasi manusia.

Ketiga, kewajiban untuk berusaha secara maksimal memenuhi (to fulfill) Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dengan memberikan segala akses formal pelayanan-pelayanan publik.

Dari tiga aspek kewajiban negara yang harus dipenuhi tersebut, maka seyogianya negara memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka dalam urusan tersebut, seperti pemenuhan dan perlindungan dalam aspek kebebasan dan kemerdekaan dalam beragama, sebagaiamana tertuang dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Negara  menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." 

UUD ini secara jelas menjadi basis serta landasan konstitusi terhadap kebebasan beragama namun tidak dijadikan sebagai acuan serta pedoman dalam mengatur agama-agama dan para penganutnya. Padahal dalam pasal ini telah memuat dengan sangat jelas mengenai berbagai hak-hak yang diberikan oleh negara bagi siapapun untuk menjalankan apa yang diyakininya.

Mirisnya, pada tahap pengimplementasian dari UUD tersebut terdapat kerancuan yang tumpang tindih antara UUD 1945 dengan UU No. 1 PNPS Tahun 1965. Hal ini tergambar dari UU No. 1 PNPS Tahun 1965. UU tersebut justru membatasi dan mempersempit kebebasan bagi para penganut agama leluhur dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaannya.

Hal inilah yang kemudian mempertegas bahwa ada jurang pemisah yang sangat nampak jelas antara agama resmi dan agama leluhur. Dan penganut agama lokal selamanya akan berada dalam bayang-banyang penodaan terhadap agama yang diakui oleh negara.

Padahal jika agama dilihat dari sudut pandang keberagamaan, maka antara agama resmi maupun agama leluhur akan memiliki definisi atau pengertian yang sama, yakni sikap kepercayaan, kepatuhan dan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau sesuatu yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidupnya.

Seyogianya dengan adanya perbedaan, maka tindakan diskriminasi harus dihilangkan dan lebih mengutamakan kesetaraan diantara orang-orang yang berbeda tanpa melihat agama, etnik, bahasa, budaya dan golongannya, karena dengan perbedaan itu menunjukkan adanya sebuah multikulturaslisme yang harus dijaga demi keutuhan NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun