AGAMA LELUHUR DALAM PERSPEKTIF SOSIAL-ANTROPOLOGIS
Pengertian dan pemaknaan negara terhadap agama masih berorientasi pada kerangka berfikir teologis. Lalu apakah salah menggunakan perspektif teologis? Tidak ! Perspektif teologis itu penting dalam konteks kepentingan ibadah, dan permasalahan yang berkaitan dengan ummat, khususnya ummat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini. Tetapi perspektif teologis memiliki banyak keterbatasan.
Perspektif teologis sangat bias, subyektif, dan dominan dalam ranah keagamaan dan keagamaan tidak bisa diukur secara obyektif. Dan bahkan perspektif teologis cenderung politis dalam kepentingan politik dentitas agama tertentu. Perspektif teologis tidak hanya meremehkan ilmu sosiologi dan antropologi tetapi meninggalkan atau bahkan mengingkari sejarah.
Ketika agama masih bersifat teologis berdasarkan agama-agama tertentu maka yang muncul adalah diskriminasi dan alienasi agama-agama leluhur. Karena yang benar adalah hanya keyakinan kita yang telah mendapat pengakuan negara, sedangkan keyakinan orang lain telah menyimpang karena tidak mendapatkan pengakuan.Â
Namun jika definisi agama itu bersifat sosial antropologis yang dilihat dari aspek historis bagaimana sebuah agama-agama leluhur diterima oleh masyarakat dan diterima sebagai sebuah keyakian, maka dengan cara demikian dapat mengakomodasi agama-agama leluhur yang ada di Indonesia.
Karena dengan perspektif historis akan meluaskan pandangan kita, tidak hanya pada saat ini, namun melihat bagaimana sebenarnya sejarah pada tahun 1965 hingga kini. Kita harus melihat lebih jauh, tidak hanya di Indonesia, tidak hanya Islam. Namun, dunia dan global yang telah berusia 6 miliar tahun.
BERSIKAP ADIL DALAM HAK KONSTITUSIONAL
Ada tiga kewajiban negara yang mesti dan harus dipenuhi. Pertama, kewajiban dalam konteks menghormati (to respect) Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada warga negaranya dan negara tidak boleh mengkooptasi atau membatasi hak-hak ini.
Kedua, kewajiban untuk melindungi (to protect) hak asasi manusia dengan menghapus aturan, regulasi atau kebijakan yang diskriminatif sebagai bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak asasi manusia.
Ketiga, kewajiban untuk berusaha secara maksimal memenuhi (to fulfill) Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dengan memberikan segala akses formal pelayanan-pelayanan publik.
Dari tiga aspek kewajiban negara yang harus dipenuhi tersebut, maka seyogianya negara memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka dalam urusan tersebut, seperti pemenuhan dan perlindungan dalam aspek kebebasan dan kemerdekaan dalam beragama, sebagaiamana tertuang dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Negara  menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."Â
UUD ini secara jelas menjadi basis serta landasan konstitusi terhadap kebebasan beragama namun tidak dijadikan sebagai acuan serta pedoman dalam mengatur agama-agama dan para penganutnya. Padahal dalam pasal ini telah memuat dengan sangat jelas mengenai berbagai hak-hak yang diberikan oleh negara bagi siapapun untuk menjalankan apa yang diyakininya.