Media sosial, khususnya FB, dalam dua bulan terakhir cukup ramai. Kali ini bukan isu politik, korupsi, atau sensasi artis, tetapi tentang keterlambatan gaji Fasilitator. Sebagaimana diketahui, KPPN memberlakukan pilot project (percontohan) aplikasi SPAN atau Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Aplikasi ini masih baru dan oleh karenaya baru beberapa provinsi yang menjadi lokasi ujicoba. Salah satunya Jawa Barat.
Akibat penerapan aplikasi ini tak kurang dari seribu Fasilitator alami keterlambatan gaji. Â Fasilitator yang dimaksud adalah di program PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan. Sampai dengan akhir bulan Maret 2014, sebagian masih ada yang belum menerima gaji Januari dan Februari. Sementara itu, bulan Maret juga masih misteri bagaimana statusnya.
Ya, diskusipun merunyak. Tak hanya menyangkut strategi penyelamatan perut, tetapi juga kebutuhan lain. Contohnya, pelunasan kredit sepeda motor atau mobil, uang SPP anak yang masih sekolah, kebutuhan dapur istri, kebutuhan bensin untuk transportasi di tempat kerja.
Kebutuhan lain juga harus dipenuhi. Diantaranya pulsa untuk komunikasi dengan rekan kerja . Bagi yang tinggal di kos/kontrakan otomatis harus juga membayar. Yang cukup merepotkan jika ada yang terlibat utang/kredit dengan pihak lain. Entah dengan mertua, dengan handai taulan karena kebutuhan mendadak.
Ramai media sosial oleh mereka yang alami keterlambatan gaji memberi banyak pertanyaan. Sedemikian sulitkah mengatur keuangan? atau mungkin manajemen keuangan yang mallpraktek? Bagaimana pandangan pemerintah terhadap mereka yang telah mengabdi lebih dari 15 tahun sebagai Fasilitator?
Pertanyaan demi pertanyaan itu bisa dipahami. Memang belum ada yang pasti berapa jumlah anak bangsa yang menekuni profesi sebagai fasilitator. Yang pasti jumlahnya profesi ini diatas 10 ribu. Tentu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi berbagai program domestik ataupun asing saat ini banyak membuka lowongan pendamping atau fasilitator.
Bedanya, organisasi atau serikat profesi Fasilitator belum kuat. Memang sudah ada yang terbentuk, tetapi misi dan aksinya belum melembaga. Paling tidak jika diukur dari aspirasi yang ditunjukan. Organisasi/serikat profesi fasilitator termasuk yang cukup anteng dan adem ayem. Tak banyak suara menuntut. Kalaupun ada hanya di beberapa lokasi saja. Sedangkan Fasilitator hampir tersebar di seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia.
Berbeda dengan kelompok serikat lain. Contoh buruh, honorer guru, honorer BUMN, honorer pemda, perngkat desa, Â bahkan para buruh migran (TKI) pun telah bersuara keras melalui tuntutan di media massa. Ada pula yang telah turun jalan menyuarakan tuntutan beberapa kali. Walhasil, isu tentang mereka pun cukup merebak dan menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pengambil kebijakan.
Hal tersebut kontradiktif dengan profesi fasilitator. Tidak disebut profesi, nyatanya ada yang menggeluti lebih dari 10 tahun. Bahkan ada yang 20 tahun menggeluti profesi itu. Hanya beralih program satu ke program lain. Pada dasarnya sebagian fasilitator menyadari, bahwa konsekuensi program adalah off atau berhenti. Pada saat itulah mereka harus memulai titik nol lagi.
Tak ada uang pensiun. Tak ada pula uang tunjangan misal terjadi kecelakaan berat. Ambil contoh beberapa waktu lalu, seorang Fasilitator kabupaten Bekasi mengalami kecelakaan hebat di tol purbaleunyi. Korban terpaksa dirawat di ICU RS Hasan Sadikin dan sempat mengalami koma lebih dari dua minggu sebelum akhirnya meninggal dunia.
Tentu menjadi pertanyaan miris ketika profesinya sebagai fasilitator harus berakhir/diakhiri dengan peristiwa tersebut. PUluhan juta rupiah harus dikeluarkan untuk merawat dirinya sementara dari program tidak ada istilah tali asih. Maka menjadi sebuah tanya, apakah demikian nasib fasilitator sebagai orang yang disebut pemberdaya tetapi tidak berdaya?