Menurut akademisi bidang politik, Rocky Gerung, harusnya presiden bertanya "Kenapa ikan tidak bisa memanjat pohon?"
Pertanyaan semacam itu yang akan mengembangkan daya kritis anak. Anak akan melibatkan orangtua, guru, dan teman-temannya untuk sama-sama memecahkan pertanyaan tersebut.
Itulah salah satu contoh mendidik anak di dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan sejatinya berpihak pada kepentingan masyarakat dan mengandung visi perbaikan kualitas manusia. Pendidikan juga sejatinya memiliki andil besar terhadap perbaikan nasib ekonomi suatu negara.
Jalan keluar untuk masalah pendidikan di Indonesia adalah dengan cara membumikan paradigma pentingnya 3 (tiga) pilar pendidikan yang terdiri dari sekolah, orangtua, dan lingkungan. Ketiga pilar tersebut harus saling berikatan demi terciptanya manusia berkualitas.
Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia berimplikasi pada semakin meningkatnya efisiensi dan produktivitas suatu negara. Argumentasi demikian dibenarkan oleh Theodore Schultz dalam Investment in Human Capital (1961), yang menyatakan bahwa pembentukan sistem pendidikan yang berorientasi pada manusianya dapat memberikan kontribusi langsung kepada pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Kualitas sumber daya manusia (sdm) juga berkaitan dengan bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia. Kelompok usia produktif di Indonesia diprediksi akan mencapai 135 Juta orang pada tahun 2030 (Mckinsey, 2012). Artinya, Indonesia sangat berpotensi untuk memiliki rasio ketergantungan (Depedency Ratio)di bawah angka 50.
Bagai pedang bermata dua, gejala ini juga dapat menggiring Indonesia pada beban demografi (demographic burden) jika sdm tidak dapat dikelola dengan baik. Untuk menghindari beban demografi, maka kunci pertama adalah dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Sebagaimana ditegaskan oleh pernyataan Ki Hajar Dewantara, bahwa "Sistem pendidikan dan pengajaran Indonesia harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat, nusa, dan bangsa, kepentingan hidup kebudayaan dan hidup kemasyarakatan dalam arti yang seluas-luasnya" (Ki Hajar Dewantara, 1955).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H