Membuka gawai lalu menuju mode jaringan seluler, sudah tentu untuk mengaktifkan mode tersebut untuk internetan. Berjam-jam mondar-mandir membuka setiap aplikasi karena notif pesan sudah masuk semua. Mulai dari membuka pesan group chat atau personal chat WhatsApp, mungkin lebih penting WhatsApp ketimbang aplikasi lain, sehingga dibuka duluan. Setelah membaca atau membalas pesan WhatsApp langsung menuju aplikasi sosial media lainnya, seperti Line, Instagram, Twitter, atau Facebook.
Entah, pesan apa saja yang telah masuk ke akun si pengguna dan apa saja reaksinya. Biasanya, di era teknologi yang makin canggih seperti ini, pesan broadcast marak di mana-mana.
Lalu apa yang terjadi jika pesan itu sampai ke pemakai media sosial lainnya? Tak jarang atau bahkan seringnya mereka langsung membaca penuh antusias. Bagaimana tidak, judul yang di bolt tebal saja sudah menarik perhatian.
Tak hanya pesan broadcast, berita-berita dari media online yang kredibilitasnya masih dipertanyakan pun sering kali memberikan berita palsu alias hoax. Istilah hoax telah ada sejak lama. Ada yang mengatakan istilah hoax sudah ada sejak tahun 1808, berasal dari bahasa Inggris yang artinya berita bohong atau palsu. Banyak orang menganggap kata hoax berasal dari kata 'hocus' -- diambil dari 'hocus pocus' kata yang sering digunakan para pesulap (semacam sim salabim).
Kejadian hoax juga pernah menimpa presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Pada zaman Soekarno ada seorang suami-istri yang mengaku sebagai Raja dan Ratu Kubu Suku Anak Dalam, Sumatera, pada 1950an. Mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah dalam rangka pembebasan Irian Barat yang saat itu masih di tangan Belanda. Berita itu terdengar Soekarno.
Soekarno yang kala itu sedang membutuhkan dukungan untuk pembebasan Irian Barat mengundang mereka ke Istana dengan jamuan istimewa. Namun, kedok mereka terbongkar saat mereka jalan-jalan ke pasar. Rekan seprofesi mereka yaitu tukang becak mengenali mereka. Kejadian ini merupakan kasus hoax pertama yang melibatkan korbannya Presiden ("Begini Kisah Hoax dari Zaman Sukarno Hingga Jokowi." tempo.co)
Sekarang rata-rata penduduk Indonesia melek teknologi, yang mana juga aktif dalam menggunakan media sosial sehingga penyebaran hoax di masa kini lebih pesat. Ada dua kelompok masyarakat yang menolak atau menerima berita.
Mereka yang menerima berita biasanya merasa bahwa opini miliknya mendapat dukungan dari berita yang diterima, sehingga merasa harus membagikan informasi tersebut pada orang lain. Sedangkan mereka yang menolak adalah orang-orang yang menerima berita tidak sesuai dengan opini mereka.
Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia belum bisa mencerna informasi yang didapat dengan baik. Menurut pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Irwansyah (2017), fenomena informasi hoax menunjukkan belum baiknya penerimaan masyarakat dalam menyikapi informasi. "Konstruksi informasi atau berita hoax memang disengaja. Sebab, pada dasarnya memang ada kepentingan di balik produksi informasi ini".
Apa yang mendasari seseorang memproduksi berita palsu? Sosiolog UGM, Derajad S Widhyharto mengungkap alasan sebagian orang 'suka' menyebarkan berita bohong karena terutama budaya komunikasi kita selama ini terbiasa formal normatif, di mana identitas sangat dibutuhkan.
Ketika muncul online, tanpa harus memberikan identitas orang dapat mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Hal inilah yang menyebabkan ketika ada isu yang belum tentu benar dan kebetulan sesuai dengan opininya, seseorang kemudian menyebarkannya begitu saja.
Tersebarnya hoax juga dilatarbelakangi oleh kesenjangan ekonomi di masyarakat. Mereka yang merasa ekonominya kurang akan mencari cara untuk mendapatkan penghasilan.
Besarnya peluang di dalam media sosial, membuat mereka memanfaatkan hal tersebut salah satunya dengan memasang judul berita yang menarik atau biasa dikenal clickbait. Tujuannya adalah agar korban meng-klik judul tersebut sehingga pelaku mendapat keuntungan atas itu. Padahal bisa jadi artikel yang dimuat tidak sesuai dengan judul atau bahkan memuat informasi palsu.
Sebagian besar pembuat hoax adalah orang iseng yang sedang melihat orang-orang dapat dipengaruhi dengan mudah (Grimes, 2002). Mereka membuat hoax sebagai lelucon, lalu duduk santai, menertawakannya, dan merasa superior (Doehartaigh, 2002). Kini media sosial menjadi ekosistem paling nyaman untuk perkembangan hoax.
Penyebaran hoax yang masif kemungkinan disebabkan oleh adanya 'penyakit' yang diderita masyarakat di era seperti sekarang, yaitu FoMO, Fear of Missing Out. Takut akan ketinggalan akan suatu hal, yang dalam hal ini tren berita, sehingga mendorong orang merespon cepat kabar yang ia terima begitu saja.
Jika kita berbasis pada 'penyakit' tersebut, maka fokus kita sekarang adalah pada human atau manusianya. Pembentukan opini publik merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan akibat hoax. Hal ini perlu diantisipasi karena opini publik yang telah terbentuk di masyarakat akan menjadi liar ketika terjadi polemik yang berbasis pada masing-masing sudut pandang masyarakat.
Terbentuknya opini publik yang tidak kondusif ini perlu diantisipasi melalui kegiatan yang konsisten dan sistematis, setidaknya oleh Pemerintah yang sering menjadi sumber dari sebuah berita. Kejelasan berita yang berlandaskan fakta berita perlu dikuatkan dengan dikeluarkannya informasi tersebut oleh narasumber yang valid dan kompeten dari pihak Pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama (Menag) memiliki intervensi yang besar dalam menyikapi hoax. Hoax yang berkeliaran didasari pada akhlak atau sikap atau budaya masyarakat yang buruk.
Padahal dalam Al-Qur'an telah disampaikan, "Dan seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan akhirat, niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar, disebabkan oleh pembicaraanmu tentang (berita bohong) itu, ingatlah ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakana dari mulutmu itu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu suatu perkara yang besar." (QS. An-Nur 24: 14-15).
Berikut adalah hal yang bisa dilakukan oleh Menag untuk meminimalisir terjadinya hoax:
1. Menag memberikan pembelajaran tentang hoax dalam sudut pandang Agama. Misalnya Islam, dalam Islam banyak sekali sejarah yang mengisahkan tentang berita palsu, salah satunya kisah Aisyah. Dari sana dapat dilihat sikap tabayyun (mencari kejelasan) Nabi dalam menghadapi berita bohong yang menimpa Aisyah.
Pembelajaran ini dapat diaplikasikan melalui media sosial yang banyak digandrungi oleh masyarakat, seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Dalam penyampaiannya sebisa mungkin menggunakan bahasa yang ringan dan menarik.
2. Menag dapat mengajak pihak lain untuk menerapkan dan mengembangkan transparansi publik. Memang tidak bisa dipungkiri, terbentuknya opini publik masyarakat karena pengaruh berita bohong di media sosial terjadi karena masih kurang maksimalnya Pemerintah atau pihak bersangkutan dalam mengelola dan menyampaikan informasi kepada publik.
Berbagai saluran komunikasi yang ada harus selalu diisi dengan data dan fakta yang akurat, benar, aktual, dan satu suara dalam menyampaikan informasi atau menanggapi setiap fenomena yang ada.
3. Menag memberikan pendidikan literasi media dan bekerjasama dengan wartawan Indonesia. Pendidikan literasi media memungkinkan masyarakat untuk bisa mandiri menyaring berita hoax atau tidak. Seperti yang dilakukan oleh BBC Inggris pada Maret 2018. Mereka mengutus wartawan sebagai mentor yang mengajarkan kemampuan verifikasi informasi ke 1000 Sekolah Menengah Pertama.
"Dengan membagikan keahlian jurnalistik, kami ingin memberikan anak muda kemampuan dan kesadaran bahwa mereka harus percaya diri dalam mengidentifikasi berita yang benar dan menandai yang hoax," kata Tony Hall, Direktur Umum BBC dikutip oleh Engadget.
Ketiga hal tersebut harus menyasar seluruh kalangan karena tidak hanya kaum muda yang dapat terjebak ke dalam berita hoax, kaum intelektual pun tak jarang ikut terperangkap. Beberapa orang sadar ada berita hoax, tetapi masih sulit mengidentifikasi informasi yang salah atau mengecoh. Ada juga yang hanya sensitif pada berita hoax yang eksplisit berisi kejadian konyol atau diluar akal sehat.
Tonny Hall, Direktur Umum BBC menyatakan, "Dengan membagikan keahlian jurnalistik, kami ingin memberikan anak muda kemampuan dan kesadaran bahwa mereka harus percaya diri dalam mengidentifikasi berita yang benar dan menandai yang hoax".
Pengguna media sosial harus bisa membedakan mana produk jurnalistik dan mana produk media hoax. Nezar Patria dari Dewan Pers Indonesia menyebut bahwa verifikasi adalah kunci penting yang membangun kredibilitas produk jurnalistik. "Jurnalisme mengutamakan akurasi dan bertujuan melaporkan fakta sebenar-benarnya," katanya.
Verifikasi juga berlaku bagi penerima informasi, mereka harus meyakinkan dirinya bahwa informasi yang diterima itu benar, tanpa menambahkan atau mengurangi, dan sesuai fakta, sebelum kemudian melakukan tahap selanjutnya: cek dan ricek serta konfirmasi.
Kegiatan verifikasi juga telah diperingatkan dalam Al-Qur'an dengan istilah tabayyun. "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti (fa tabayyanu), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa megetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu." (QS. Al-Hujurat 49:6).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H