Mohon tunggu...
Aliya Hamida
Aliya Hamida Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Enthusiast

International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Realis vs Konstruktivis: Anak HI melihat Capres di Debat Ketiga

11 Januari 2024   17:54 Diperbarui: 11 Januari 2024   17:58 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon Presiden Republik Indonesia dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 (kiri ke kanan) Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo | dok: CNN Indonesia

Isu Debat Ketiga Capres salah satunya adalah hubungan internasional. Isu ini sangat penting, karena bagaimanapun negara tidak hanya berdiri sendiri. Layaknya kita hidup sebagai manusia sosial, negara juga harus hidup di tengah masyarakat dunia. 

Negara tidak hanya bekerja untuk urusan dalam negerinya saja tetapi juga luar negeri. Baik berinteraksi dengan aktor negara lainnya maupun aktor non negara seperti organisasi sosial internasional, think tank, individu yang berpengaruh, atau bahan aktor yang dianggap ilegal seperti cyber dan teroris. Anyways, ada beberapa insights gagasan ketiga capres yang bisa kita lihat dari kacamata Hubungan Internasional. 

Pertama, Prabowo melihat militer menjadi isu yang sangat penting dan menduduki posisi teratas penentu kekuasaan (power) suatu negara. Hal ini nampak dari repitisi yang dilakukan "Kita harus kuat", "Kita harus kuat", "Militer kita harus kuat". Selain itu, ia juga menekankan akibat militer yang tidak kuat adalah penjajahan seperti yang dialami oleh Negara Palestina. 

Pandangan semacam ini dalam Ilmu Hubungan Internasional dikenal sebagai realisme. Kaum realis menilai negara merupakan satu entitas atau unit yang menduduki posisi tertinggi di dunia internasional. Maknanya kuasa dimiliki oleh negara. Realis menekankan pada isu high politics, seperti militer, keamanan, dan ekonomi. Tetapi, realisme itu sendiri dalam Ilmu Hubungan Internasional memiliki berbagai aliran di dalamnya. Seperti realisme klasik dan neo-realisme. Setiap pandangan memiliki perbedaan. Tetapi sepakat melihat sistem internasional anarkis. Maksudnya, tidak ada aktor yang dapat mengatur negara atau tidak ada aktor yang mampu berperan sebagai polisi yang mampu memberi peringatan, menghukum, menertibkan negara-negara. 

Hal ini dapat dilihat dari pandangannya terhadap ancaman perang. Berulang kali Prabowo menekankan jika tidak kuat secara militer akan dikuasai oleh negara lain, dijajah, dikeruk kekayaan alamnya. Pandangannya menunjukkan bahwa peperangan dimungkinkan terjadi karena memandang sistem internasional anarkis. Selain itu dalam hubungan internasional, realis memandang sistem internasional dinilai terbentuk dari pola pola internasional. Apa saja pola-pola internasional? Kerjasama, konfliktual, akomodatif, dan kompetitif. Jika dilihat dari narasi yang dibawa, maka Pak Prabowo memandang bahwa pola internasional adalah konfliktual atau malah kompetitif.

Kedua, Ganjar berulang kali menekankan hal yang serupa dengan Prabowo. Seperti sistem pertahanan berlapis dan berfokus pada kepentingan nasional. Ia juga menyebutkan akan meningkatkan anggaran militer 2-3% dari total PDB. Dimana sebagai perbandingan militer China menghabiskan 1,7% dari total PDBnya. Sedangkan zionis Israel sebagai perbandingan yang signifikan, hanya 4.5% saa alokasi anggaran militernya. 

Dalam studi HI, peningkatan kemampuan militer adalah salah satu faktor yang menunjukkan paradigma realisme. Tetapi selain perihal pandangan realismenya, ada yang cukup menarik. Ganjar menyebut akan melanjutkan perjuangan nilai dekolonialisme atau yang kita sering ketahui sebagai perlawanan terhadap penjajahan. Tetapi ia menyebut narasinya 'sekaligus non intervensi seperti apa yang dilakukan di Palestina'. Non intervensi dalam studi ilmu hubungan internasional dipahami sebagai suatu prinsip bahwa suatu negara tidak akan ikut campur pada urusan negara lain. Hal ini seringkali menyebabkan pertentangan dalam studi kemanusiaan atau humaniter. 

Pasalnya, dalam kemanusiaan internasional jika negara dirasa sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya, atau terkadang disebut sebagai fragile state atau dalam konteks emergency response di dalam kemanusiaan sering disebut kondisi complex emergencies. Dalam kondisi tersebut, seharusnya ada intervensi kemanusiaan yang dapat masuk untuk mengisi gap yang disebabkan oleh ketidakmampuan negara. 

Ketidakmampuan negara dalam hal ini dapat berarti dikarenakan dalam kondisi perang atau memang kepemimpinan negaranya yang tidak beres. Jikalau negara-negara mengedepankan prinsip non intervensi, maka negara-negara hanya mengkecam krisis kemanusiaannya saja, tanpa melakukan apa-apa karena dianggap akan mengintervensi. Sedangkan itu adalah urusannya sendiri. 

Ketiga, bisa dibilang cukup anti menstrem gagasan yang ditawarkan oleh Anies. Jika Prabowo dan Ganjar menekankan kekuatan militer, Anies menawarkan kekuatan non materiil. Gagasannya adalah akan menjadi pelaku utama, penentu arah perdamaian, kemakmuran, di regional maupun global. Paham semacam ini dalam HI adalah pandangan Konstruktivisme. Konstruktivisme ini salah satu paham yang favorit di dalam HI setelah paham menstrem liberalisme dan realisme. Teori ini seringkali disebut middlehome, teori penengah, mencoba menjawab apa yang tak bisa dijawab realisme dan liberalisme. 

Teori konstruktivisme yang berasal dari sosiologi awalnya. Sebagai teori jalan tengah, dalam memahami teori konstruktivisme, kaum yang mendukung teori ini ingin memberi alternatif bahwa dunia ini ga bisa dilihat dalam rasionalis dan materialistis saja. Materialis kan mengarah pada power, keamanan, senjata, uang. Rasionalis, kalau kerjasama tidak menguntungkan tidak perlu dilanjutkan. 

Konstruktivisme ini menolak 2 paham itu. Paham ini sudah dikenal sejak pasca parang dingin. Salah satu pencetusnya ialah Alexander Wendt (1992), tokoh paling terkenal dalam paham ini mengatakan bahwa dunia yang anarki ini tak terjadi begitu saja, tapi negara yang membuatnya begitu. Kemudian paham ini menjadi laris manis dalam kalangan penstudi HI, karena akademisi tak puas dengan realisme dan liberalisme yang dianggap tak bisa menjawab secara menyeluruh fenomena dalam HI. 

Terdapat beberapa kunci konstruktivisme yang relevan dalam studi HI. Pertama, share ideas, bahwa negara membawa identitasnya masing-masing. Misal Indonesia membawa identitas pancasila, poin poinnya saja inmaterialis, apakah nilai-nilai itu hanya Indonesia yang punya? Negara lain punya, tapi mungkin dasarnya bukan pancasila. 

Kedua, Identitas dan kepentingan aktor-aktor dalam dunia internasional ada struktur sosial ada interaksi yang dibangun dengan identitas yang sama, dan itu dikonstruksi bersama, bukan tiba tiba ada. Agen-agen yang membentuk dunia sosial ini. 

Hal ini ketiga, dunia sosial bukan sesuatu yang given. 

Keempat, aktor dalam HI menentukan identitasnya, kepentingannya, hingga tindakannya. Misal Indonesia, pemimpinnya presiden, Pak Jokowi, ia adalah aktor dalam hubungan internasional. Identitas yang dibawa pak Jokowi akan menentukan tindakan apa yang akan diambil. Bagaimana sikap dan responnya terhadap sesuatu. 

Kelima, jika rasionalis --positivis mendoktrinkan bahwa struktur internasional tidak lain merupakan distribusi kapabilitas material, konstruktivis meyakini sebaliknya bahwa struktur internasional adalah distribusi ide, dan negara-negara berindak mengikuti pola persebaran ide. 

Sebagai contoh, Malala, bagaimana ia membawa perubahan di Pakistan dengan ide dari Malala bahwa menghapus diskriminasi perempuan, diperbolehkan untuk mengakses sekolah. Ide ini kemudian dapat dinilai sebagai identity, identitas yang diangkat ialah perempuan. Awalnya ide ini tidak diperhatikan, namun kemudian karena adanya persebaran ide maka ide ini mampu menimbulkan perubahan. 

Pada intinya, Konstruktivis melihat bahwa sikap dan perilaku negara itu dibentuk. Tandanya bahwa kekuasaan bukan terletak pada hal materiil, bisa jadi ia tidak sekuat Amerika Serikat secara militer tetapi memiliki pengaruh  yang kuat untuk menaikkan suatu isu, atau memberikan perubahan gagasan di kancah dunia. Terlihat bahwa Anies ingin mencoba membawa pengaruh Indonesia dengan soft power kekuatan selain militer. Misal dia menyebutkan dengan budaya, perfilman, dan diaspora. Ia juga menyebut Presiden merupakan panglima diplomasi, hal ini menunjukkan pendekatannya yang nirmiliter atau bisa disebut juga non kekerasan.

Sebagai kesimpulan menurut saya pendekatan Prabowo dan Ganjar dalam dunia internasional adalah realis sedangkan Anies adalah Konstruktivis. Mana yang lebih baik diantara itu semua? Beri pendapat kamu di kolom komentar di bawah, mari kita berdiskusi untuk meluaskan wawasan dan mempertajam akal!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun