Negara dalam hal ini perlu membuat program yang mampu memetakan dengan jelas apa apa faktor perempuan terlibat dalam kelompok kekerasan ekstrimis, sehingga dapat dipertimbangkan iya atau tidak layaknya masuk dalam masyarakat.Â
Jika memang layak, kemudian negara seharusnya merumuskan langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuannya yakni pengembalian perempuan itu tadi.Â
Negara secara bersama-sama dengan media lokal dan nasional perlu memberikan berita yang seimbang yang mampu membangun wacana baru dalam mastarakat tentang keberadaan perempuan yang dipulangkan dari kelompok-kelompok kekerasan ekstrimis. Hal ini bukan main-main, dilaporkan oleh UNDP hanya 5% saja perempuan yang kembali
ke negara asal, dari 7081 orang hanya 590 yang kembali di tahun 2018. Tak hanya ketakutan menghadapi stigma masyarakat, gagalnya konstitusi negara melindungi perempuan membuat keamanan tidak dapat diraih mereka.Â
Bayang-banyang financial security, seperti akan makan apa disana? Kedepannya penghasilan dari mana? Bagaimana kalau tidak bisa mendapat pekerjaan dan tidak bisa hidup layak? Dsb.Â
UNDP dalam hal ini melakukan promosi kepada pemerintah agar sadar akan urgensi legalitas yang mampu melindungi perempuan yang kembali ke masyarakat.Â
UNDP mendorong pengakuan terhadap perempuan sebagai bagian dari pertimbangan atas pembuatan kebijakan.Sebagai sebuah organisasi internasional ia tak mampu memaksa negara, hanya dapat melakukan persuasi dengan upaya yang gencar.
Referensi Utama
Laporan UNDP "Invisible Women: Gendered Dimensions of Return, Rehabilitation and Reintegration fromViolentExtremism"yangsayaunduhmelaluilaman https://icanpeacework.org/2019/01/11/invisible-women/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H