Ketiganya merupakan aktivitas yang sangat maskulin, tetapi perempuan yang paling dirugikan karenanya. Perempuan kehilangan suaminya, anaknya, tenggelam dalam kesedihan dan kesengsaraan. Dalam terorisme tak jarang dijumpai perempuan diperalat untuk menjadi pelaku bom bunuh diri salah satu contohnya di Boko Haram, Nigeria.Â
UNDP menemukan, keabaian terhadap perempuan terus kontinyu hingga pasca perang. Rehabilitasi dan reintegrasi tidak mempertimbangkan konflik sosial yang akan dihadapi perempuan.Â
Ketika seorang perempuan kembali ke masyarakat setelah tergabung dalam kelompok terorisme, ia harus menghadapi stigma masyarakat yang seakan mengulitinya.Â
Sayangnya, konstitusi tidak mempertimbangkan posisi perempuan dalam hal ini. Alhasil banyak dijumpai dalam kasus pasca Boko Haram, perempuan justru enggan keluar dari kelompok terorisme dengan alasan tak akan diterima oleh masyarakat.
UNDP juga menemukan perbedaan dengan laki-laki yang terjun langsung dalam kekerasan, perempuan yang terdampak secara tak langsung akan menghadapi permasalahan yang lebih berjangka panjang.Â
Jika seorang tentara laki laki tewas dalam peperangan, penderitaannya berhenti disitu saja, tapi bagaimana dengan perempuan yang kehilangan suaminya karena tewas dalam peperangan? Ia harus tetap hidup tapi seakan tak hidup. Ia hidup dengan trauma atau mungkin depresi dan gangguan psikologis lainnya.Â
Jika hanya keluarga dari kombatan resmi negara saja yang dapat akses untuk rehabilitasi, mungkin terjadi re-rekrutmen bagi para perempuan yang telah ditinggal suaminya. Mereka bisa jadi tidak tahu apa-apa dan merupakan korban tetapi tidak mendapat dukungan dan akses terhadap rehabilitasi.Â
Belum lagi jika perempuan memiliki anak yang dilahirkan di wilayah konflik. Yang dimaksudkan disini, temuan UNDP perempuan dibanding laki-laki, lebih banyak perempuan tak mau kembali ke negara asal setelah terlibat secara tak sengaja di Syria, Iraq dan wilayah lainnya karena sangat sulit mendapat pengakuan kewarganegaraan untuk anak yang lahir saat masih di lokasi konflik.
Perempuan tentu mengkhawatirkan pengakuan terhadap anaknya serta bagaimana masyarakat akan memperlakukan anaknya jika tak ada pengakuan oleh negara.
Negara dalam hal ini telah kalah dibanding kelompok kekerasan ekstrimis yang berani menjanjikan pemberdayaan perempuan, kondisi sosial ekonomi yang baik untuk rekrutmen perempuan.Â
Mereka menjanjikan ideologi dan identitas dengan tujuan menarik perempuan karena hal hal itulah yang mereka inginkan tetapi tidak dimiliki.Â