Mohon tunggu...
Aliya Hamida
Aliya Hamida Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Enthusiast

International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Invisible Women: Dilema antara Ada dan Tiada

13 April 2022   23:51 Diperbarui: 13 April 2022   23:54 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : intermittent-breathing.com

Mereka-mereka yang berhasil memenangkan pemilihan kepala desa dan mencoba untuk mandiri membutuhkan upaya yang berat menghadapi pengakuan yang tidak diberikan warganya sendiri. 

Pemilihan kepala desa di Bangkalan bisa dikatakan bukan pesta rakyat. Siapa yang terpilih belum tentu merupakan suara terbanyak. Banyak intrik-intrik kecurangan politik yang diafirmasi sebagai bagian dari kearifan lokal. 

Pada akhirnya hal semacam ini membuat perempuan yang memiliki kemampuan tidak diakui kemampuannya. Serupa dengan dunia politik, di dalam ekonomi, perempuan bekerja ke pasar, membuka toko, warung makan, dan lain sebagainya. 

Salah satu warung makan terbesar di Madura adalah Bebek Sinjay, dengan cabang di Madura dan Surabaya yang masing masing lokasinya memuat lebih dari 100 kursi, sama sekali tidak pernah sepi pembeli. Usaha sebesar itu ternyata dipimpin oleh seorang perempuan. 

Sekali saya pernah melihatnya, seorang ibu setengah baya dengan make up tebal menyapa pembeli spesial. Entah rekannya atau pejabat setempat. 

Uniknya ternyata meski begitu, jika berkaitan dengan suaminya, ia tak punya kuasa. Bahkan sang suami memiliki kewenangan untuk memutuskan siapa yang boleh menitipkan barang di warung makan sinjay siapa yang tidak boleh, meskipun istrinya yang sejatinya ada pada struktur tertinggi dalam manajemen berkata sebaliknya.
 
Pendapat perempuan seolah tak dianggap dalam pembuatan keputusan. Padahal, perempuan Madura yang bekerja, bukan laki lakinya. Tetapi tetap saja mereka tak punya kuasa. 

Perempuan yang tak dianggap ada inilah yang kemudian dapat disebut sebagai "Invisible Women". Contoh lain dari invisible women ada dalam penelitian tentang vaksin. 

Banyak perempuan yang mengalami perubahan siklus menstruasi atau bahkan sempat berhenti menstruasi, tetapi kenyataan itu tak dianggap penting. Invisible women dalam realita tersebut menunjukkan bahwa pengalaman perempuan tidak diangap menjadi bagian dari penelitian. 

Perempuan tidak direkognisi (not recognized). Serupa dengan keadaan Madura yang ditemui banyak perempuan yang bekerja untuk bisnis bersama suami, tetapi ia bekerja tanpa dibayar.

Sayangnya kepahitan tidak diakuinya keberadaan perempuan tidak hanya ada pada tingkat regional saja tetapi telah menjadi nilai yang secara tak sadar dianut hingga lingkup nasional dan internasional.

Salah satu yang bisa saya jadikan contoh adalah apa yang dilaporkan UNDP di tahun 2019 dalam Invisible Women Report. UNDP menjelaskan tentang perempuan dalam dunia perang, terorisme dan konflik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun