Mohon tunggu...
Aliya Hamida
Aliya Hamida Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Enthusiast

International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Invisible Women: Dilema antara Ada dan Tiada

13 April 2022   23:51 Diperbarui: 13 April 2022   23:54 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : intermittent-breathing.com

Sekitar satu tahun yang lalu, tepatnya bulan Februari 2021, sebuah tawaran dari bulik saya membuat saya menginjakkan kaki ketiga kalinya di tanah Madura. 

Tawaran untuk membantu penelitian disertasi tentang klebun (kepala desa) perempuan di Kabupaten Bangkalan membuat saya bolak balik Jogja-Madura beberapa kali. 

Fenomena black swan yang kami dapatkan membuka pandangan saya tentang pulau yang dekat dengan peradaban Nusantara. Madura memang pulau terpisah dari Jawa tetapi ditinjau secara administrasi, ia masih termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Madura dan Surabaya dekat sekali, lebih dekat dibanding Sleman-Gunung Kidul di Jogja, asal saya. 

Faktanya, kedekatan Kota Besar tidak memberikan dampak pada kehidupan 'primitif' di Madura. Kata primitif berani saya sandangkan setelah memahami kondisi riil setidaknya 6 desa di wilayah Kabupaten Bangkalan, Madura. Saya sendiri tak menyangka akan realita tersebut, tetapi begitu kenyataannya.

Apa realita yang begitu membuat saya terkejut? Ini berkaitan dengan black swan yang tadi saya sampaikan. Dalam studi tentang penelitian, kita memahami fenomena black swan sebagai bentuk penemuan yang seakan seperti 'kelainan'. Ia tidak dapat diprediksi dan tidak diketahui akan datang atau tidak. 

Saya akan menyampaikan langsung melalui hasil penemuan di lapangan kala itu, agar lebih mudah dipahami. Penelitian tentang klebun perempuan telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. 

Diantaranya adalah Tatik Hidayati dan Latief yang sama-sama melakukan penelitian di kisaran tahun 2010. Mereka menemukan bahwa politik desa didominasi oleh patriarki, perempuan Madura tidak memiliki akses untuk masuk dalam politik desa. 

Kemudian Holilah di tahun 2015 menemukan hal berbeda, munculnya perempuan dalam politik dengan menjabat menjadi kepala desa menjadi black swan bagi temuan Tatik dan Latief. 

Tetapi, sebagai temuan lain, Holilah mengutarakan posisi perempuan sebagai kepala desa hanya kepanjangan tangan dari kaum patriarki.

Sementara di dalam penelitian bulik saya, ditemukan fenomena perempuan sebagai kepala desa yang mandiri bahkan mampu merubah wacana kepemimpinan dalam masyarakat yang mulanya beranggapan perempuan tak pantas dan tak mampu ada dalam ruang publik, mulai mengakui kemampuan perempuan sebagai kepala desa. 

Penelitian ini menjadi black swan dari penelitian Tatik, Latief dan Holilah. Sayangnya temuan itu tak banyak, tetap saja, kami menemukan jauh lebih banyak realita pahit akan keberadaan perempuan di Madura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun