Mohon tunggu...
Aliyah Al
Aliyah Al Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo... Perkenalkan aku Aliyah, dari ilmu politik angkatan 23. Baik disini aku akan menceritakan sedikit tentang my self. Aku memiliki hobi yg kemungkinan besar orang minati juga yaitu membaca, aku lebih suka membaca novel yg bergenre romace baik itu buku atau dalam bentuk pdf. Aku juga hobi menyanyi walau suaranya kayak kucing kejepit sih. Aku orangnya bisa diajak bekerjasama dengan baik apalagi dalam tim, akan mengusahakan yang terbaik sesuai kemampuanku. Aku juga orangnya sangat memajemen waktu (memisahkan urusan organisasi dan urusan pribadi). Aku juga merasa memiliki etika kerja yg baik, disiplin. Kegiatan sehari- hari aku sih bisa di bilang yah gitu-gitu aja, kalo kuliah yah pasti pergi kuliah dan mengikuti kegiatan organisasi di kampus. Kalo waktu liburan palingan berdiam di rumah dengan mengisi waktu sambil membaca untuk memperbanyak wawasan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ironi di Balik Janji Reformasi: Mengapa Korupsi Justru Marak di Awal Pemerintahan Prabowo?

21 Januari 2025   05:23 Diperbarui: 21 Januari 2025   05:23 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sepuluh hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tujuh kasus korupsi besar terungkap, melibatkan 28 tersangka dengan total kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Kasus-kasus ini mencakup berbagai sektor strategis, mulai dari dugaan tindak pidana korupsi senilai Rp450 miliar di PT Asset Pacific dan PT Duta Palma Group di sektor perkebunan, hingga penyalahgunaan dana desa di Desa Talang Renah yang merugikan negara Rp280 juta. Kasus lain melibatkan suap senilai Rp20 miliar dalam pengadilan kasus Ronald Tannur, korupsi proyek tol Padang-Pekanbaru yang merugikan negara Rp27 miliar, pengelolaan emas ilegal sebanyak 109 ton oleh PT Antam Tbk, penggelapan dana hibah NPCI Jawa Barat senilai Rp122 miliar, dan impor gula yang tidak sesuai kebutuhan hingga menyebabkan kerugian negara Rp400 miliar. Mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas di berbagai sektor. Fenomena ini menjadi ironi di tengah janji reformasi dan pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintahan baru. Korupsi yang terus mencuat bukan hanya sekadar kejahatan individu, tetapi merupakan masalah sistemik yang dipicu oleh kelemahan struktural, termasuk lemahnya sanksi hukum, minimnya pengawasan, dan budaya permisif terhadap korupsi.

Penyebab korupsi di Indonesia dapat dijelaskan melalui teori GONE (Greedy, Opportunity, Needs, Expose), yang mencakup sifat serakah, peluang karena lemahnya pengawasan, kebutuhan material, dan minimnya efek jera dari sanksi hukum. Misalnya, dalam kasus impor gula yang merugikan negara Rp400 miliar, lemahnya pengawasan dan monopoli kebijakan memberi ruang bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang. Pola serupa terlihat dalam proyek tol Padang-Pekanbaru, di mana kolaborasi antara pejabat publik dan kontraktor swasta mengakibatkan kerugian besar tanpa hasil nyata. Selain itu, penurunan nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan masyarakat semakin permisif terhadap tindakan koruptif, termasuk korupsi skala kecil.

Di sisi lain, peran aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan Kepolisian, sangat vital dalam pemberantasan korupsi. Namun, kelemahan dalam koordinasi dan profesionalisme sering kali menjadi hambatan. Dalam kasus penggelapan dana hibah NPCI Jawa Barat senilai Rp122 miliar, misalnya, keterlambatan proses hukum menunjukkan adanya ketidakefektifan penanganan. KPK, yang memiliki mandat sebagai lembaga independen, juga menghadapi tantangan besar dalam melawan tekanan politik dan menjaga kredibilitasnya di tengah kasus besar seperti pengelolaan emas ilegal PT Antam Tbk. Di sisi lain, pengadilan sebagai institusi akhir penegakan hukum sering kali dinilai kurang tegas dalam menjatuhkan hukuman yang memberikan efek jera.

Selain faktor struktural, lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan turut memperburuk situasi. Banyak proyek pemerintah, seperti penggunaan dana desa, tidak diawasi secara langsung oleh masyarakat, sehingga peluang penyimpangan sulit dideteksi sejak dini. Padahal, keterlibatan masyarakat yang lebih aktif, didukung oleh media massa dan media sosial, dapat menjadi alat pengawasan yang efektif. Sayangnya, polarisasi informasi di media sering kali mengaburkan fokus pada pemberantasan korupsi itu sendiri.

Korupsi di Indonesia, termasuk yang mencuat pada awal pemerintahan Prabowo Subianto, bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga mencerminkan lemahnya integritas individu, budaya permisif masyarakat, dan kurangnya efektivitas sistem pengawasan. Untuk memberantas korupsi, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup penguatan moral individu, reformasi sistem hukum, dan transformasi budaya masyarakat. Pendidikan nilai antikorupsi sejak dini, peningkatan sinergi antara masyarakat dan lembaga penegak hukum, serta penguatan sanksi hukum menjadi langkah yang tidak bisa ditunda. Jika tidak, korupsi akan terus menjadi penghambat utama pembangunan dan penghancur kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun