Mohon tunggu...
Dik Ror
Dik Ror Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - saya adalah pelajar MA Tahfidh Annuqayah

saya adalah seorang yang suka bergurau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teka-teki Kampung Ini

16 September 2024   01:00 Diperbarui: 17 September 2024   22:39 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akan tetapi pada malam ini, hingga sang rembulan sudah sempurna di atas kepala, tak ada jeritan seseorang pun yang menandakan adanya kuntilanak. Tak lama kemudian, seseorang memberanikan dirinya untuk keluar rumah demi menyaksikan keanggunan sang rembulan. Setelah itu diikuti oleh orang-orang lainnya. Inilah waktu terindah bagi mereka. Dari dulu, mereka memang sangat mendambakan rembulan ini. Di saat ia muncul mereka akan merelakan waktu malam mereka tanpa tidur demi menyaksikannya.

Dan setelah tergantikan oleh sang fajar, mereka kembali memasuki rumah-rumah mereka. Kali ini, tak hanya jeritan seseorang. Melainkan seluruh orang di kampung ini. Harta-harta mereka hilang bersamaan dengan hilangnya sang rembulan. Termasuk harta-hartaku. Aku pun mengunjungi orang-orang yang bernasib sama. Kami semua berkumpul. berbincang-bincang tidak santai tentang siapakah kira-kira gerangan.

Seseorang tidak berkumpul. Dikabarkan bahwa tak satu pun hartanya hilang. Kecurigaan pun tertuju padanya. Langkah-langkah lebar tak kuasa tuk tak menghampirinya. Wajah-wajah geram. Buas. Gerombolan harimau kini telah menemukan rusa yang dari dulu tak dapat diterkam. Melesat. Di depan rumahnya, langkah-langkah itu tak berhenti. Masuk tanpa salam. Dan tampaklah pemilik rumah yang sedang duduk santai di atas sofa empuknya.

Dengan pikiran yang penuh dengan amarah, diseretnya pemilik rumah tanpa manusiawi bak menyeret bangkai kambing yang sudah membusuk dimakan ulat ke halaman utama kampung ini. Dilemparkannya orang itu ke dalam tumpukan kayu bakar bermandikan minyak gas. Korek api pun dipetik menyemburkan secuil api dan lalu dilemparkan pada kekayuan bakar itu. Kobaran api tak dapat terhindar. Kulitnya hangus terbakar. Menjelma menjadi debu hitam.

Sorak-sorai terdengar membahana. Kebahagiaan mereka akan kematiannya tak karuan. 'Akhirnya, sang penjajah telah hangus, ha, ha, ha.' Sorak seseorang sambil memegang perut. Tertawa terpingkal-pingkal. Ketakutan telah berakhir.

Hingga malam terakhir pada bulan itu pun tiba. Kekhawatiran orang-orang akan kehilangan harta sudah tiada. Mereka kini mengumbarkan diri di warung-warung. Bercanda-tawa menceritakan orang yang terbakar. Lupa daratan. Seakan kemenangan sudah diraihnya.

'AAA.' Seketika mereka bungkam tawa dan suara. Jeritanku terdengar jelas di telinga mereka semua. 

kuntilanak itu masih ada dan...    

Dia adalah teka-teki kampung ini.          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun