Mohon tunggu...
Dik Ror
Dik Ror Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - saya adalah pelajar MA Tahfidh Annuqayah

saya adalah seorang yang suka bergurau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teka-teki Kampung Ini

16 September 2024   01:00 Diperbarui: 17 September 2024   22:39 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siluet matahari sore memesona. Menelisik dari celah-celah pepohonan kelapa menyirami kampung ini. Burung-burung kembali pada sarangnya setelah seharian melalang-buana mencari pakan untuk sang buah hati tercinta dengan tetesan peluh dan tanpa sekata keluh. Bertolak dengan orang-orang yang berjalan pulang dengan sealat tani dipegangnya. Peluh membasahi setiap sudut pakaian mereka. Akan tetapi keluhan akan burung-burung yang selalu "memanenkan" pepadian mereka selalu terucap.

Di kampung ini, tiada hari bagi orang-orang itu selain bekerja. Bertani.  Mulai dari remaja hingga tua bangka. Laki-laki dan perempuan. Tiada kata belajar bagi mereka. Apalagi beribadah. Di pikiran mereka hanyalah bekerja. Uang. Kaya raya. Tak seorang pun rela untuk mengajarkan mereka berbagai macam ilmu. Di saat pagi mulai menyapa, mereka bergegas menuju sawah. Seharian meninggalkan rumah. Sepi. Dan pada waktu petang mereka kembali lagi.

Di kampung ini, jalanan bagai gegigian tak terawat. Lubang sana-sini. Akan tetapi, perumahan mewah berdiri gagah. Motor dan mobil berjejer indah tak menafikan "kekota-kotaan" kampung ini. tak hanya itu, outfit mereka tak kalah bagusnya dengan orang-orang di kota sana.

Itu dulu.

Sekarang kekayaan mereka semua direnggut oleh dia yang belum terungkap siapa. Kejadian ini sudah terjadi satu bulan kurang dua hari. Ketika malam tiba, orang-orang itu masuk ke dalam rumah-rumah mereka melindungi harta-harta berharga. Kendati demikian, harta-harta itu lenyap dengan gertakan kuntilanak. Orang-orang yang sangat-sangat percaya akan cerita makhluk halus sekaligus penakut dibuat kesempatan bagi dia.

Bukan hanya satu-lima orang yang sudah mengalami hal demikian, bahkan belasan orang. Bukan hanya rakyat tak berpangkat yang merasakan hal itu, bahkan tetua kampung pun mengalaminya. Saat itu, ketika mega merah telah sirna dan gelap sudah sempurna, orang-orang, termasuk tetua kampung, memasuki rumah-rumah mereka guna melindungi harta-harta yang mereka memperolehnya dengan tetesan-tetesan peluh dari dia. Kampung seketika sepi. 

Tak seorang pun berani keluar rumah. Hanya terdengar suara jeritan tetua kampung setelah berselang beberapa waktu. Ya, ia kecolongan. Di kala tetua kampung dengan sangat erat memeluk harta-hartanya di atas kasurnya yang sangat empuk, seseorang mengelus pundaknya. Seketika matanya memelotot sadar akan apa yang akan terjadi. Dan tanpa aba-aba tampak dari pandangan depannya perempuan bergaun putih, rambut  acak-acakan terurai panjang ke depan, kedua mata merah memelotot, kedua bibir kering bak hamparan tanah di musim kemarau, kuku-kuku di kedua tangannya panjang entah sudah berapa tahun tak dipotong, dan kulit putih pucat, berdiri. 

Tidak berdiri, melayang. Tidak hanya diam, kuntilanak itu bergerak  kencang ke arahnya seakan akan menerkamnya kejam. Tetua kampung tanpa berpikir lagi kabur melepaskan pelukannya sembari berteriak ketakutan. Orang-orang yang mendengarnya hanya diam tak berani membantu disebabkan ketakutan mereka akan kuntilanak.

Setiap malam berganti, orang yang kecolongan pun berganti. Keesokan malamnya, orang terkaya di kampung ini pun terkuras seluruh kekayaannya; miliaran lembar uang ratusan, puluhan kendaraan, sampai-sampai istrinya pun hilang. Sungguh sangat menyesakkan dada. Di saat ia bersama istrinya mengawasi harta-harta mereka berdua, sebuah elusan lembut sekali membelai lehernya. 'Sudahlah, Sayang, jangan sekarang.' Akan tetapi elusan demi elusan tetap berlanjut hingga ditolehkannya kepalanya dan tak ditemukannya sang istri. Hanya kuntilanak yang sudah siap bermanja bersamanya. Seketika harta-harta dan separuh jiwanya lenyap.

Dan di malam kedua sebelum genap satu bulan, rembulan kembali menggantung di atas sana. Pada malam ini rembulan tampil dengan sangat anggunnya. Bentuknya bulat sempurna. Begitu pun dengan Cahayanya. Akan tetapi jiwa-jiwa orang-orang itu masih tetap dalam ketakutan. Hati mereka gusar. Gentar. Antara ingin keluar demi melihat sang rembulan dan merelakan harta, atau tetap memeluknya dan merelakan sang rembulan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun