Mohon tunggu...
Ali Wira Rahman
Ali Wira Rahman Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Pendidikan

Senang berbagi, diskusi dan sharing pada topik-topik pendidikan dan pengajaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Indonesia Butuh Bantuan Robot untuk Maju

5 Mei 2022   06:21 Diperbarui: 5 Mei 2022   06:32 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernah suatu waktu pemikiran liar saya mengarahkan pada sebuah hipotesa bahwa apakah mungkin pendidikan di negara kita tidak bisa maju jika dikelola oleh manusia? Bagaimana tidak, selama puluhan tahun pendidikan kita mengalami stagnasi, hanya jalan ditempat. 

Bahkan jika ditarik kebelakang kualitas pendidikan kita malah menurun jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Saya juga tidak bisa memastikan apakah ini salah satu bentuk pesimisme, apatisme atau malah optimisme otokritik agar pendidikan kita bisa bergerak maju.

Penyelenggaraan pendidikan di negara kita terlalu banyak melibatkan "perasaan". Mulai dari proses rekrutmen guru yang syarat nepotisme. Proses pengembangan sumberdaya manusia yang kelulusannya masih cenderung menggunakan perasaan. 

Kita juga melihat bahwa guru terlalu banyak main perasaan dalam upaya meluluskan siswa pada satu jenjang persekolahanan. 

Dominasi "main perasaan" ini adalah representasi menipisnya nilai profesionalitas dalam pengelolaan pendidikan. Beberapa orang berpendapat ini kultural dan beberapa yang lain menganggap ini tindakan tidak profesional, entahlah.

Rekrutmen guru beberapa waktu yang lalu masih sangat syarat kepentingan (meskipun beberapa tahun terakhir ini sudah mulai membaik dengan CAT dan live score). 

Profesi guru semenjak terbitnya PP 74 Tahun 2008 (berubah ke PP 19 Tahun 2017) tentang guru menjadi sebuah profesi yang cukup menjanjikan. Banyak orang ingin menjadi guru karena tunjangan profesinya dalam bentuk sertifikasi. 

Agak aneh juga melihat seorang mahasiswa yang jarang masuk kelas, skripsinya full plagiat tapi terangkat menjadi guru ASN. Ada juga lulusan terbaik LPTK, IPK cum laude, unggul dalam proses perkuliahan harus menjadi honorer yang terluntah-luntah pada sebuah sekolah swasta. Mungkin ini tentang nasib, tapi mungkin juga karena faktor lain, saya tidak berani memastikan.

Proses pendidikan dan pelatihan guru juga kurang lebih juga "main perasaan". Kalau proses pendidikan dan pelatihan di orientasikan untuk peningkatan kualitas mestinya harus professional tanpa pandang bulu. 

Kita menyaksikan dengan jelas bagaimana proses sertifikasi guru menjadi sangat dilematis. Kita mengharapkan pendidikan profesi guru menjadi filter terakhir untuk menyaring guru professional. Hal unik justru  terjadi di mana kebanyakan guru gagal pada uji pengetahuan yang berbasis CAT dibandingkan uji praktik mengajar yang kelulusannya ditentukan oleh penilai (manusia). 

Kalau demikian berarti kemungkinan ada guru yang pandai mengajarkan sesuatu yang salah atau mungkin pada perspektif pemberian nilainya yang keliru.

Sebelum UN ditiadakan, kita melihat bagaimana proses kelulusan siswa diupayakan sedemikian rupa agar mereka bisa lulus. Guru yang membantu mengerjakan soal kemudian kunci jawabannya dibagikan ke siswa sebelum ujian. 

Seakan-akan UN ini adalah ujian untuk guru sekaligus untuk sekolah yang mempertaruhkan pamor dan nama baiknya dengan capaian kelulusan siswa yang tinggi. Atau juga pertaruhan kualitas guru mata pelajaran tertentu di satu sekolah. 

Ada sebuah pertanyaan bahwa "jika siswa tidak lulus UN paling yang rusak adalah pot dan kaca sekolah tetapi jika memaksakan untuk meluluskan siswa yang belum layak lulus akan merusak masa depan bangsa".

Saya bertanya kepada mahasiswa tentang kemungkinan robot menggantikan peran guru di masa depan. Dominan dari mereka menjawab tidak mungkin karena robot tidak punya perasaan. 

Saya juga bertanya kepada rekan pengajar (dosen) dengan pertanyaan yang sama, jawabannya juga "tidak" kurang lebih dengan alasan yang sama. Banyak dari kita bahkan tidak mampu merelakan dengan alasan "perasaan". 

Sedangkan pada sisi yang lain justru pendidikan kita mengalami stagnasi karena terlalu main "perasaan". Apakah rasa kasihan, tidak tegaan dan empati yang salah penempatan merupakan manifestasi penerapan "perasaan" dalam penyelenggaraan pendidikan kita?

Mungkin penataan pendidikan Indonesia dari hulu ke hilir membutuhkan bantuan robot. Mulai dari seleksi guru menggunakan robot, sehingga tidak ada lagi jual-beli dan tindakan nepotisme. 

Proses pendidikan dan pelatihan guru juga mesti menggunakan robot agar mampu dan "tega" menyaring guru yang berkualitas dan yang tidak berkualitas tanpa rasa bersalah. 

Juga kebijakan kelulusan siswa tidak perlu direlokasi secara otonom ke sekolah, cukup menggunakan robot agar terseleksi siapa yang layak dan tidak layak untuk di luluskan. 

Bagaimana dengan proses pembelajaran? Apakah juga perlu diambil alih oleh robot atau cukup oleh guru yang bertindak layaknya robot?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun