"Kak, kondisi langit seperti yang Mamet rasakan." Ucap Rahmat.
"Maksud kamu?" tanyaku.
"Langit malam, bertaburan bintang yang bercahaya tapi tidak ada bulan."
"Kita dapat mengartikan itu bahwa bintang tetap bersinar di malam hari walau tak ditemani oleh sang bulan, sama saja dengan seseorang yang berdiri tegar walau tak didampingi oleh seseorang yang biasa menemaninya. Kamu paham maksud Kakak?"
Rahmat hanya mengangguk, tak ada ekspresi yang ia keluarkan. Terkadang aku sangat heran dengan kepribadian Rahmat, ia terlihat lugu bagaikan anak-anak biasa, tetapi disisi lain ia berpikir layaknya seorang yang telah dewasa.
Kamipun tiba di teras rumah dan segera masuk ke dalam. Saat pulang, aku merebahkan diri di kursi. Sedangkan Rahmat terlihat bingung dengan keadaan rumah.
"Kak Arkan, kamar mandi mana? Dapur mana? Kamar tidur mana?" tanya Rahmat yang terlihat bingung dengan kondisi rumah yang berantakan.
Aku menunjukan satu per satu tempat di rumah yang kutempati bersama Rahmat. Tujuan utama dia adalah kamar mandi. Aku tersenyum melihat tingkah Rahmat, gerak-gerik ia sangat khas layaknya anak biasa. Mungkin ia ingin buang air.
"Kak, kita sholat Isya dulu ya? Kita berjama'ah. Kakak jadi imamnya." Pinta ia dengan polos.
Sungguh aku sangat terkejut dan heran  dengan perilaku bocah ini, berkali-kali dengan sifatnya telah mengejutkanku serta membuatku terkagum. Kali ini ia mengajakku untuk beribadah. Memang  tak ada yang salah, tetapi aku membandingkan umurnya dengan sifatnya. Dia adalah bocah yang diberi karunia lebih oleh Tuhan, karena sifatnya yang sangat dewasa untuk ukuran anak-anak. Atau mungkin aku yang berlebihan dalam menanggapi ini?
"Kak? Kok malah diam? Ayo Kak." Ajak Rahmat menarik tanganku.