Mohon tunggu...
Alivia Nurul Ichsani
Alivia Nurul Ichsani Mohon Tunggu... Freelancer - Ciao! Currently Live In Yogyakarta, Administrasi Publik UNY.

Alivia Nurul Ichsani Administrasi Publik UNY Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Komunikasi Krisis dalam Penanganan Covid-19, Pemerintah Butuh Peran Serta Masyarakat

9 Juni 2020   22:06 Diperbarui: 9 Juni 2020   22:07 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi Covid-19 nyatanya memang benar-benar mempengaruhi aspek kehidupan manusia didunia. Seakan tak puas memberikan dampak besar dibidang kesehatan dengan terus meningkatnya jumlah korban positif virus corona, Pandemi ini kemudian berlanjut untuk mempengaruhi aspek lainnya seperti ekonomi, sosial, hingga politik. 

Pengaruh yang sangat kentara terjadi pada aspek ekonomi, dimana pandemi ini berhasil memunculkan permasalahan ekonomi dari turunnya harga minyak dunia pada skala global, hingga mandegnya aktivitas-aktivitas ekonomi seperti Industri dan perkantoran akibat pemberlakuan lockdown ataupun pembatasan aktivitas. 

Tak hanya itu, banyak negara yang juga memutuskan untuk menutup sementara sektor pariwisata yang berakibat pada turunnya penghasilan negara dari sektor tersebut. Indonesia sendiri juga termasuk salah satu negara yang memilih untuk menutup pariwisatanya, dimana melakukan penutupan 180 destinasi wisata dan 232 desa wisata. 

Hal ini otomatis membuat jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia menjadi berkurang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika Jumlah kunjungan  wisatawan mancanegara pada januari hingga februari hanya sampai pada jumlah 2,16 juta orang atau bisa dikatakan turun sebesar 11,8 % bila dibandingkan dengan periode yang sama pada februari tahun lalu. 

Tak hanya itu, Covid-19 juga menimbulkan permasalahan seputar ketenagakerjaan. Berdasarkan data PHRI, per 13 April 2020 tercatat 1.642 hotel dan 353 restoran ataupun tempat hiburan telah berhenti beroperasi. Hal ini kemudian mendorong perusahaan untuk melakukan pemberhentian, Shift, ataupun cuti di luar tanggungan perusahaan.

Pada Aspek sosial, Covid-19 juga telah mempengaruhi relasi dan interaksi yang terjadi diantara masyarakat. Hal ini kemudian memunculkan kerentanan sosial yang ditandai dengan produktivitas yang menurun, terganggunya aktivitas bekerja hingga munculnya tindakan berlebihan yang didasari oleh rasa panik berlebihan. 

Masih erat di ingatan kita akan kasus masyarakat yang justru mati-matian menolak jenazah pasien positif, bahkan fenomena ini ternyata tidak terjadi di satu wilayah saja tapi juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia misalnya yang tejadi di Kalimantan Tengah, Banyumas, Bandung hingga Mimika Papua. terjadi pula penolakan terhadap jenazah perawat di semarang yang justru merupakan salah satu bagian dari garda terdepan penanggulangan covid-19. 

Tak hanya penolakan jenazah, terjadi pula fenomena Panic Buying alat-alat perlindungan diri seperti handsanitizer, masker hingga bahan-bahan pokok yang kemudian membuat keadaan semakin buruk. Keadaan yang terjadi makin memburuk dengan munculnya berita-berita "pelintiran" yang belum jelas kebenarannya hingga berita-berita yang sudah jelas merupakan hoaks misalnya tentang smartphone dari Tiongkok yang dikatakan dapat menjadi media penularan covid-19 karena telah disisipi virus didalamnya. 

Anehnya, dalam merespons berita-berita tersebut masyarakat seakan percaya begitu saja dan langsung menyebarkan sehingga penyebaran hoaks menjadi sangat masif. Hal inilah yang membuat terjadinya tren peningkatan berita hoaks di Indonesia selama masa pandemi ini. 

Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi Indonesia, Johnny G. Plate sampai tanggal 18 April 2020 telah tercatat 554 isu hoaks yang mana tersebar di 1.209 Platform digital seperti facebook, instagram, twitter hingga Youtube. Adapun pemerintah telah menindak 89 tersangka penyebaran hoaks.

Dari disinformasi yang menyebabkan perilaku berlebihan di masyarakat hingga meningkatnya berita hoaks mengindikasikan bahwa komunikasi yang terjadi khususnya antara pemerintah dan masyarakat belum sepenuhnya berjalan dalam memberikan dan mengedukasi masyarakat terkait covid-19. 

Komunikasi yang terjadi di pemerintah dalam menangani Covid-19 cenderung justru diwarnai ketidakpastian informasi akibat seringnya terjadi misskonsepsi, penyampaian informasi dengan kalimat kontradiktif hingga kebiasaan ralat meralat yang menimbulkan kebingungan.  

Dilain sisi, Masyarakat cenderung masih abai dengan instruksi pemerintah dan lebih percaya untuk mengakses informasi di media sosial yang mudah sekali disisipi hoaks. Pasti ada saja yang melanggar instruksi dan bahkan secara tidak sadar ikut serta dalam menyebarkan berita hoaks seputar corona, yang lagi-lagi membuat pemahaman masyarakat yang lain semakin keliru. 

Dua bulan pertama tahun 2020 yang seyogyanya dijadikan momentum untuk melakukan komunikasi public secara aktif guna mengedukasi masyarakat seputar corona dengan baik justru seperti diabaikan oleh pemerintah. 

Masih ada Guyonan-guyonan yang meremehkan corona, dari guyonan Menko maritim Luhut Binsar Panjaitan yang menyebutkan corona adalah jenis mobil, hingga doa yang bisa membebaskan kita dari corona milik Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. 

Belum ada komunikasi optimal yang memandu masyarakat untuk memahami apa sih sebenarnya virus tersebut termasuk informasi lain seputar penanganan, bedanya dengan influenza dan manajemen dalam menanggapi isu hoaks. 

Pemerintah juga seakan terlambat dalam merepons fenomena yang terjadi, imbauan-imbauan tidak diiringi dengan upaya proaktif pemberian informasi yang utuh dan optimal utamanya terkait manajemen isu hingga transparansi data. Kelemahan koordinasi juga muncul dengan diindiikasikan oleh terjadinya klarifikasi yang meluruskan perkataan sebelumnya. 

Publik seakan lebih percaya dengan sumber lain di internet, terutama sosial media yang mudah disisipi berita hoaks. Keadaan semakin buruk akibat disinformasi dan misinformasi diruang publik. Bahkan pada awalmya terjadi salah persepsi dan pertukaran makna antara pasien positif, ODP, dan PDP yang semuanya itu dianggap masyarakat sebagai pasien yang sudah pasti positif. Media sosial lebih dijadikan panduan utama publik dalam akses informasi.

Mari Mulai Komunikasi Krisis yang Optimal

Dalam mengatasi permasalahan yang kompleks akibat pandemic ini, sangat diperlukan komunikasi yang baik dan optimal diantara pemerintah dan masyarakat. Pada dasarnya, krisis yang dalam hal ini ditimbulkan covid-19 tidak timbul secara mendadak. Krisis ini adalah hasil dari tahap awal kemunculan masalah inti hingga kemudian memuncak dan menghasilkan krisis yang kompleks dampaknya. Prinsipnya, Saat kita kecolongan di awal, maka krisis akan meluas dan bersifat merugikan. 

Firsan Nova Dalam buku "Crisis Public Relations" (2011), mengemukakan bahwa terdapat lima tahapan dalam siklus hidup krisis yang harus dikenal dan dipahami adalah sebagai berikut : Tahap pre-crisis (sebelum krisis), Tahap warning (peringatan), Tahap acute (akut), Tahap clean-up (pembersihan) dan Tahap post-crisis (sesudah krisis). 

Meskipun agaknya pemerintah telah kecolongan start diawal dalam melakukan komunikasi krisis yang baik kepada publik, tapi belum terlambat bagi pemerintah untuk terus memperbaiki manajemen komunikasi krisisnya. 

Saat ini, tahapnya mungkin sudah pada tahap akut dimana dampak dari krisis telah dirasakan, pada tahap ini hendaknya komunikasi yang bersinergi harus tetap dilakukan oleh pemerintah tentunya dengan diiringi dengan transparansi data, gunanya agar masyarakat benar-benar percaya pada apa yang terjadi dan tidak membuat asumsi-asumsi yang bisa saja menghambat upaya pemerintah untuk menangani krisis akibat covid-19 ini. 

Setiap kebijakan yang ada dan dilakukan oleh pemerintah harus disampaikan dengan jelas, utuh, dan informatif agar mudah dipahami dan dilakukan oleh masyarakat. Hindari upaya ralat-meralat ataupun menciptakan blunder-blunder yang dapat memanen respon beragam dari masyarakat. 

Dalam hal ini, pemerintah dapat berinovasi dalam mengedukasi masyarakat dengan cara melakukan kolaborasi dengan komunitas kreatif agar menghasilkan konten-konten yang menarik dan edukatif untuk kemudian diikuti oleh masyarakat.  

Komunikasi yang terjadi juga haruslah terintegrasi dan berkelanjutan termasuk pada tingkat Pemerintah daerah. Baik pemerintah maupun masyarakat memiliki tanggungjawab yang sama untuk tetap mengawal berita-berita yang ada agar meminimalkan terjadinya disinformasi akibat hoaks. 

Kebiasaan-kebiasaan sehat dan bersih harus benar-benar diupayakan dan ditegakkan oleh masyarakat dan pemerintah, tak terkecuali diiringi pula dengan upaya memperkuat protocol kesehatan maupun fasilitas kesehatan publik untuk menunjang penanggulangan Covid-19. Singkatnya, Peran Masyarakat dan Pemerintah yang tercermin dalam komunikasi yang terintegrasi, berkelanjutan dan Optimal saat pandemi ini akan sangat berperan penting dalam upaya kita bersama untuk memutus rantai penyebaran covid-19.

Referensi 

Dewi Andriani. 16 April 2020. Industri Pariwisata Kehilangan Potensi Pendapatan Hingga Rp90 Triliun. Bisnis.com.

Muhammad Ilman Nafi'an. 18 April 2020. Menkominfo: Ada 554 Isu Hoax soal Covid-19, 89 Orang Jadi Tersangka. Detik.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun