Orang cenderung menjadi echoist akibat pelecehan mental dari sosok narsis yang sering merendahkan dan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. Ahli Psikolog, Dr Craig Malkin menemukan gangguan mental ini dan ditulisnya di dalam "Rethinking Narcism" tahun 2015 menyatakan ciri kepribadian dalam spektrum narsis, yakni gangguan kepribadian narsistik. Berkebalikan dengan narsis, justru echoist mendapatkan serangan dari orang narsis dengan cara memanipulasi mental mereka seperti mempermalukan, mengasingkan, gaslighting, dan mematahkan atau menghalangi sehingga seorang echoist menjadi takut seolah tak memiliki identitas atau jati diri.
Rasa takut seorang echoist menjadikan ia meniru orang lain tanpa mengindahkan pikiran dan emosinya sendiri. Biasanya orang echoist punya kepribadian yang tidak menarik karena tidak mencerminkan dirinya yang sesungguhnya. Ia menjadi seorang echoist karena takut dipandang narsis sehingga ia tidak bisa mengembangkan potensi dirinya. Ia mencari rasa aman menjalin hubungan dengan orang lain agar tidak merasa dilecehkan dan dipandang rendah.Â
Penyebab Echoist
Hal yang melatarbelakangi orang menjadi echoist salah satunya adalah tidak mendapatkan dukungan dari orang terdekat, yakni keluarga. Apalagi seorang anak yang memiliki orang tua narsis yang selalu memaksakan kehendaknya kepada sang anak demi hasratnya memperoleh pujian dari orang lain. Anak dipaksa untuk memperoleh peringkat, menang, dan menjadi yang diinginkan orang tua. Bahkan anak tak jarang mendapat pelecehan atas capaian yang tidak diharapkan orang tuanya, seperti anak berprestasi di lomba melukis tapi orang tua menanggapi dengan sinis. Dampak yang ditimbulkan dari sikap narsis yang dilakukan orang tua menjadikan anaknya selalu mengikuti kehendak orang tuanya dan menekan hasrat potensi dirinya yang tidak diharapkan orang tuanya. Anak menjadi minder dan takut hingga terbawa saat ia dewasa.Â
Tanda Seorang Echoist
Seorang echoist terlihat dari pembawaannya yang cenderung pendiam dan tidak merasa bertanggungjawab atas kepentingannya. Â Ia justri tidak mengharapkan pujian karena ada sebab ia tak pernah dipuji. Ada pun tanda-tandanya adalah ia menghindari perhatian, cenderung meniru, khawatir orang lain kecewa, harga dirinya rendah dan tak menganggap pujian adalah sebuah pujian, tak punya ketertarikan, hampir tak memiliki ruang sendiri, sensitif terhadap penolakan, dan takut untuk ditinggalkan. Apakah setiap orang memiliki sisi echoist? Kita bisa raba diri kita. Diri kita adalah bagaimana diri kita dibentuk saat kecil hingga dewasa. Tak semua anak dididik dengan pengasuhan yang benar. Tak jarang orang tua memaksakan kehendaknya dan cenderung menyalahkan anak mereka demi alasan kepentingan orang tua mereka. Bahkan anak dituntut untuk menjadi dewasa lebih cepat untuk menenangkan hati orang tua dengan cara mengikuti kehendak orang tua. Anak tak punya harga diri untuk bisa menegaskan opini mereka. Rasa malu yang mereka alami saat mereka dimarahi orang tua, teman, bahkan guru menjadikan anak mempunyai sifat echoist hingga dewasa.Â
Self-Healing Inner ChildÂ
Usia dewasa bukan berarti matang secara keseluruhan. Orang dewasa memiliki karakter yang sedikit banyak terpengaruh oleh masa kecilnya. Pengalaman masa kecil masih tersimpan dalam diri orang dewasa atas peristiwa yang dialaminya disadari atau tidak. Tak mudah menyembuhkan inner child yang terluka. Beberapa dari anak-anak yang memiliki sifat echoist, mereka menumpahkan emosinya melalui tulisan jurnal dan berolahraga. Seiring waktu, saat dewasa, beberapa dari mereka melakukan meditasi. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengakui keberadaan inner child, meditasi, lebih terbuka, menulis jurnal, dan cari kebahagiaan untuk diri sendiri.
Cara Saya Mengatasi Echoisme
Saya mungkin bisa dikatakan seorang echoist sebab saya adalah anak yang ciri-cirinya sama dengan echoist. Pemaksaanmenjadi anak yang bisa dibanggakan kepada orang lain menjadi tekanan untuk selalu mengikuti kehendak orang tua dengan kemampuan yang terbatas. Bahkan kesan membanding-bandingkan sudah menjadi biasa terdengar sehingga rasa diri yang tidak menjadi anak yang dibandingkan kerap terngiang.Â
Tekanan batin yang saya rasakan tak memiliki ruang untuk bisa mengutarakan emosi secara verba, sehingga melalui tulisan jurnal yang saya biasa katakan "diary" sudah saya lakoni sejak kecil. Kebiasaan membaca komik dan novel menjadi pelarian selain menulis dan menggambar. Tak sesekali mengharapkan keajaiban dari sang peri untuk menyulap menjadi dewasa.Â
Seiring waktu dengan pengalaman dan pembelajaran, saya menemukan jati diri saya mulai sekolah menengah atas hingga saat ini. Intinya untuk menyembuhkan luka dan mengatasi echoisme adalah dengan beraktivitas dan banyak membaca. Niscaya rasa luka akibat pengalaman lalu yang buruk bisa terkikis. Meskipun bekasnya masih ada, setidaknya ada peningkatan kompetensi di dalam diri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H