Mohon tunggu...
Aliva Rosdiana
Aliva Rosdiana Mohon Tunggu... Penulis - edupreneur

Sebagai seorang edupreneur, saya harus mengasah diri dengan meningkatkan kualitas diri agar menjadi seorang yang memberikan manfaat dalam dunia pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Unwanted Memories? Bagaimana Cara Menghapusnya?

9 Januari 2024   17:23 Diperbarui: 9 Januari 2024   17:37 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erasing Unwanted Memories (Sumber www.livescience.com)

Kenangan indah patut untuk diingat. Namun, tak semua orang mengalami kenangan indah dalam ingatannya. Kerapkali ia dihantui oleh kenangan buruk yang menjadikannya trauma dan fobia. Sehingga tak sedikit orang ingin menghapus ingatan negatif mengakibatkan ia trauma hingga tak memiliki gairah beraktivitas. 

Tak sedikit orang akhirnya menjadi pendiam dan anti sosial. Namun, tak sedikit pula beberapa orang mampu move on (melupakan) ingatan negatif sebagai trauma yang menghantuinya karena ia ingin menjalankan hidup secara normal. 

Namun apa yang terjadi jika ingatan itu timbul kembali dikarenakan situasi yang tidak disengaja atau orang lain sebagai penyebabnya? Efek trauma tak serta merta mampu hilang dengan cepat. 

Situasi yang tidak disengaja sebagai penyebabnya mungkin sesuatu yang masih bisa dimaklumi walaupun butuh waktu untuk memahaminya. Namun tidak apabila penyebabnya orang lain. Sikap anti-sosial menjadi pertimbangan untuk tidak berdekatan dengan orang yang menjadi penyebab terkuaknya unwanted memories. 

Kerja otak manusia dalam mengolah memori hingga fobia disebabkan banyak faktor. Mengutip hellosehat.com tentang mengatasi fobia, tak semudah menghapus tulisan pensil, sebab bekasnya masih samar. Otak manusia menyimpan memori hingga puluhan tahun ke belakang karena protein tubuh manusia mampu merangsang sel-sel otak dalam jaringan koneksi lama. 

Namun, koneksinya bisa beruba-ubah sehingga terkadang manusia hanya mengingat potongan ingatan yang sempat terlupakan bahkan akhirnya menjadi sangat jelas. Semakin jelas ingatan itu berkembang dalam pikiran manusia, semakin besar manusia mengalami fobia. Setiap orang memiliki kadar tertentu menaklukkan fobianya. 

Sebenarnya fobia bisa ditaklukkan asalkan karakter individunya kuat dengan cara menghindarinya, termasuk menghindari orang tertentu yang menyebabkan mental illness, seperti kecemasan, depresi, sedih, dan tertekan yang bisa menghambat aktivitas.

Hal yang bisa diatasi untuk mematikan dan menyamarkan ingatan negatif, yakni mencari pemicunya dan melakukan terapi. Tak selamanya kenangan negatif hadir di ingatan manusia. Dengan cara mengenali pemicunya, setiap orang mampu menghindarinya untuk menjaga mental tetap sehat, terutama bila pemicunya orang lain. 

Cara lain yang bisa dilakukan adalah terapi dengan ahlinya. Beberapa orang melakukan terapi untuk menghilangkan trauma dan fobia sebagai dampak munculnya mental illness dalam dirinya. Ini adalah pilihan yang tak semua orang mau melakukannya. Seorang psikolog melakukan cara memunculkan trauma dan fobia untuk melatih emosi agar lebih stabil dan tidak sesensitif sebelumnya. 

Beberapa orang lainnya melakukan memory suppression untuk menghilangkan unwanted memories yang sering muncul dengan menggantikan ingatan lain yang menyenangkan. 

Sama dengan memory suppression, exposure therapy lebih intens dengan cara melibatkan tuturan yang menggiring orang menghadapi trauma yang dialaminya sebagai pemicunya agar terapis mampu meredakannya. Obat propanolol terkadang diberikan kepada orang selama terapi berlangsung untuk mencegah rasa gemetar dan cemas berlebihan. 

Banyak cara yang bisa Kompasianer pilih untuk mengatasi trauma akibat unwanted memories. Referensi lainnya ada yang mengatakan menceritakannya kepada orang terdekat. Namun, ada yang lebih mujarab lho, Kompasianer, yakni membaca, menulis, dan berolahraga. Ketiga aktivitas ini adalah hiburan termurah dan terefektif sebagai pelarian. Terkadang tak semua orang bisa kita jadikan pelampiasan cerita yang ujungnya akan menambah trauma. Semoga tulisan ini memberikan manfaat ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun