Siapa yang bisa mencegah dampak cyberbullying di era digital saat ini mampu meluluhlantakkan rasa persaudaraan? Cyberbullying secara harfiah berarti perundungan atau intimidasi dunia maya. Dengan kata lain, cyberbullying adalah suatu bentuk kekerasan melalui dunia maya. Hal ini bisa dialami mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.Â
Bersamaan dengan pandemi Covid-19 dengan varian Delta terus merajalela, tak ada yang bisa menjamin kapan Covid-19 ini berakhir. Berita simpang siur mengenai positivity rate Covid-19 di beberapa area hingga korban Covid-19 menjadi momok bagi sebagian orang ditandai dengan hujatan bagi penulisnya lewat komentar tak beretika.Â
Krisis etika dalam bersosial media kerap terjadi dalam komunikasi digital (baca: di sini).Â
Alasan yang masuk akal seseorang suka mengunggah komentar dengan bahasa tidak etis adalah adanya anggapan keamanan dan kebebasan karena tanpa bertemu secara tatap muka dan penggunaan akun yang bukan menunjukkan jati diri yang sebenarnya.
Bullying melalui media massa memang sedang marak di era saat ini. Anak-anak generasi Z masih bisa mengontrol dalam menggunakan media sosial online. Namun tidak bagi generasi X maupun Y sebagai generasi tua atau baru saja berada di masa teknologi akses internet.Â
Generasi Z lahir di masa dimana akses internet menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sehingga sebagai generasi milenial, mereka menjadi generasi yang tumbuh menjadi generasi yang out of the box bahkan overconfidence untuk mengungkapkan pendapat baik langsung maupun melalui sosial media.Â
Generasi Z atau digital native ini bisa dikatakan sebagai generasi internet atau Igeneration. Bagi mereka, generasi tua, internet merupakan hal baru.Â
Sehingga terkadang masih saja banyak ditemukan penyalahgunaan internet dalam bersosial media untuk hal-hal yang sifatnya menghujat dengan maksud mencari sensasi atau hanya sekedar mengungkapkan ketakutannya terhadap suatu hal tanpa mengindahkan etika berkomunikasi.
Dampak pandemi Covid-19 menyentuh banyak aspek, terutama perekonomian dan pendidikan. Akibat dari dampak ini banyak pegawai yang diPHK, turunnya omzet penghasilan bagi UMKM, dan lain-lain.Â
Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk membangun ekonomi kreatif di masa pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir (baca: di sini) )
Dampak ini pula menjadikan banyak orang ketakutan dengan berita-berita Covid-19 sehingga etika berkomunikasi online terabaikan. Alih-alih mencari kebenarannya, justru dianggapnya berita lonjakan Covid-19 disertai bukti-bukti hanya biasa saja dan cenderung menyalahkan.
Disamping itu seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang seharusnya memudahkan penggunanya dalam berinteraksi dan berkomunikasi, justru tidak dialami bagi sebagian orang. Alih-alih menyalahkan teknologinya, justru tindakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) disalahkan.
Krisis Komunikasi digital bisa kita terima jika itu disampaikan masyarakat. Namun, bisa tidak diterima dengan logika jika krisis terjadi di lingkup akademisi tanpa mencari kebenarannya.Â
Hal ini sebenarnya terjadi karena ada satu orang pemantik masalah memiliki masalah secara personal terhadap penulis berita. Sebagai jurnalistik, penulis tentu memegang kode etik mengenai kebenaran yang ditulisnya tanpa melebihkan dan mengurangi.
Anggapan bahwa menulis itu semudah yang dibicarakan sebenarnya kurang tepat. Menulis itu bukan hanya membuat coretan tanpa makna di atas kertas.Â
Menulis itu keterampilan berbahasa, menyusun kata-kata, serta kemampuan bernalar, mengingat, dan mencermati keadaan dengan konsentrasi penuh untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Menulis itu membutuhkan rasa agar hasil tulisan yang dikemas menarik pembaca.Â
Tidak hanya sekadar publikasi berita lalu beres. Redaktur pun harus memilah apakah suatu berita layak untuk dipublikasi atau tidak.
bullying dilakukan melalui media sosial (baca: di sini).Â
Berbicara itu mudah. Setiap kali semua orang bangun pagi hingga tidur di malam hari, mereka berbicara dengan orang di sekitarnya. Tentu saja menulis di media sosial seperti Whatsapp, Facebook, Telegram, Line, twitter, dan media sosial lainnya mewakili bahasa verbal. Paling mengena jikaSi pemantik masalah di media sosial tentu saja mengalami degradasi moral berusaha merundung seseorang dalam satu grup media sosial. Namun jika pembaca jeli, seharusnya mencari kebenaran. Bukan justru mengikuti jejak seseorang yang tanpa diketahui jejak kebenarannya.
Tulisan di atas tentu mengandung tanda tanya bagi pembaca. Lalu melanjutkan pokok masalah tanpa menanyakan dan mencari sumbernya. Penanggungjawab berita tersebut sudah menyampaikan kebenarannya. Namun keakuratan juga penting.Â
Disinilah si penulis diuji untuk melakukan wawancara untuk mencari klarifikasi dan kredibilitas dari sumber terpercaya. Walaupun pada akhirnya hasil akhir kebenaran dari wawancara itu tidak diekspos.
Mirisnya degradasi moral dan sosial hanya untuk kepentingan satu pihak menyulut api sebuah instansi yang sudah seharusnya menjadi satu keluarga.Â
Seharusnya satu keluarga saling mendukung satu sama lain, bukan malah menjatuhkan. Bijak bersuara, bijak berdigital, dan bijak berlogika penting untuk menghindari krisis moral dan etika. Wallahu A'lam Bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H