Disamping itu seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang seharusnya memudahkan penggunanya dalam berinteraksi dan berkomunikasi, justru tidak dialami bagi sebagian orang. Alih-alih menyalahkan teknologinya, justru tindakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) disalahkan.
Krisis Komunikasi digital bisa kita terima jika itu disampaikan masyarakat. Namun, bisa tidak diterima dengan logika jika krisis terjadi di lingkup akademisi tanpa mencari kebenarannya.Â
Hal ini sebenarnya terjadi karena ada satu orang pemantik masalah memiliki masalah secara personal terhadap penulis berita. Sebagai jurnalistik, penulis tentu memegang kode etik mengenai kebenaran yang ditulisnya tanpa melebihkan dan mengurangi.
Anggapan bahwa menulis itu semudah yang dibicarakan sebenarnya kurang tepat. Menulis itu bukan hanya membuat coretan tanpa makna di atas kertas.Â
Menulis itu keterampilan berbahasa, menyusun kata-kata, serta kemampuan bernalar, mengingat, dan mencermati keadaan dengan konsentrasi penuh untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Menulis itu membutuhkan rasa agar hasil tulisan yang dikemas menarik pembaca.Â
Tidak hanya sekadar publikasi berita lalu beres. Redaktur pun harus memilah apakah suatu berita layak untuk dipublikasi atau tidak.
bullying dilakukan melalui media sosial (baca: di sini).Â
Berbicara itu mudah. Setiap kali semua orang bangun pagi hingga tidur di malam hari, mereka berbicara dengan orang di sekitarnya. Tentu saja menulis di media sosial seperti Whatsapp, Facebook, Telegram, Line, twitter, dan media sosial lainnya mewakili bahasa verbal. Paling mengena jikaSi pemantik masalah di media sosial tentu saja mengalami degradasi moral berusaha merundung seseorang dalam satu grup media sosial. Namun jika pembaca jeli, seharusnya mencari kebenaran. Bukan justru mengikuti jejak seseorang yang tanpa diketahui jejak kebenarannya.