Gaung bullying seolah hanya terjadi di sekolah yang dialami oleh murid yang dibully oleh temannya sendiri atau oleh gurunya. Namun bullying bisa terjadi akibat rasa iri dan dengki oleh teman sejawat atau teman yang menjadi pimpinannya sehingga seolah kekuasaan bisa membeli segalanya. Nampak ada rasa kepuasan jika teman sejawatnya itu teraniaya secara batiniah.Â
Karena mau melukai fisik juga tidak mungkin jika tidak ingin dikeluarkan dari pekerjaan atau malah terjerat kasus Undang-Undang akibat melakukan kekerasan fisik.Â
Paling mengena jika bullying dilakukan lewat media massa. Jari-jari mewakili mulut berbicara, bukan mulut berbicara sehingga terkadang butuh waktu dan lokasi yang tepat mengatakannya.Â
Pepatah "mulutmu harimaumu" sekarang sudah tidak berlaku jika itu berkenaan dengan media sosial. Whatsapp sebagai pengganti SMS saat ini dan sering digunakan oleh banyak khalayak masyarakat, merupakan sosial media mujarab karena hanya dengan memasang status gambar atau teks uneg-uneg, orang akan banyak melihat. Bullying bisa terjadi baik lewat status maupun pesan grup baik whatsapp, facebook, twitter, maupun akun media lainnya.Â
Kesolidan sebuah tim di dalam pekerjaan yang membutuhkan kerjasama untuk kemajuan perusahaan menjadi harga mutlak yang tidak bisa dihindari jika tidak ingin perusahaan tersebut hancur. Ada reward tersendiri bagi masing-masing anggota tim yang memberikan dampak signifikan bagi kemajuan perusahaannya.Â
Dalam hal ini reward bersifat internal dan hanya diputuskan oleh para pimpinan. Jika sifatnya terbuka dengan alasan telah memberikan andil perusahaan mungkin banyak yang bisa menerima. Namun jika sifatnya tertutup, tidak banyak yang mengetahui alasan sebuah jabatan diberikan oleh teman sejawat sehingga membuat tanda tanya banyak pihak khususnya teman sejawat.Â
Kekuasaan jabatan menjadi hal yang muskil diterima khususnya bagi kalangan tertentu yang menganggap ada yang lebih baik dan pantas mengemban jabatan tersebut. Alih-alih bersikap adil, justru pertimbangan keselektifan mengatur, memberikan tugas, dan menempatkan tugas yang pantas bagi bawahannya memberikan gambaran jika kekuasaan bisa membeli segalanya.Â
Akhirnya, bukan pertimbangan kompeten di bidangnya, akan tetapi memilih mana yang baik bagi  seorang pimpinan kepada anggotanya yang dianggapnya "aman." Entah "aman" yang bagaimana seolah nampak ada rasa iri terselubung sebelum menjaba t dan ditunjuk sebagai pimpinan.
Baik tidaknya siapapun yang dianggap berkompeten itu adalah hak seorang pimpinan yang kita tidak bisa ganggu gugat. Itu baik sifatnya untuk kemajuan perusahaan.Â
Namun bagaimana jika sebaliknya. Seorang pimpinan yang melakukan bullying terhadap anggotanya karena kesalahan yang tidak disengaja sehingga seolah kesalahan itu fatal.Â
Tidakkah dia berpikir hal itu bisa menyakiti perasaan karena tindakannya yang di luar batas. Mungkin dengan menegur langsung secara pribadi, orang tidak melihat yang nampak.Â
Sebaliknya, menegur dengan disaksikan teman sejawat akan membuatnya puas. Inilah yang disebut, bullying via online. Kuatnya jari-jari didukung dengan kuatnya kekuasaan.Â
Dalam hal ini bukan perkara mana yang benar dan mana yang salah, namun sudah memasuki ranah masalah personal. Maka, siap tidak siap kita harus siap menghadapi dampak kemajuan teknologi yang sangat mampu merusak jaringan sosial dan merusak hubungan personal. Setiap kemajuan pasti ada dampak positif dan negatif. Hanya saja hal itu akhirnya membuat orang menghalalkan cara mencari kesempatan, menjatuhkan seseorang, atau hanya sekadar mencari dan memberi informasi tanpa ada niat negatif. Allahu A'lam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H