Jika itu yang memerintah adalah atasan, masih bisa diterima. Namun jika itu teman sejawat yang dia sendiri melemparkan amanat begitu saja tanpa surat keterangan resmi apalagi pakai embel-embel kata-katanya yang kasar, sudah bukan lagi persoalan pertemanan. Justru ini yang disebut musuh dalam selimut.
Entah yang melakukan pria atau wanita bukan perkara jenis kelamin. Perkaranya adalah seberapa dalamkah seorang dosen bahasa memahami kebahasaan baik itu ujaran maupun tulis? Dan seperti apa track record nya selama ini terutama dalam hubungan sosialnya? Dan selama penulis telusuri dari hasil wawancara dengan beberapa teman yang terlibat dan pernah masuk perangkapnya, tidak lebih sesuai dengan potongan pesan gambar di atas.Â
Mungkin sebagai wacana dan gambaran bahwa pesan digital tidak selalu sesuai jika urusannya dianggap penting dan verbal sangat diperlukan di sini. Kecuali jika hanya berupa informasi, teks tulis cukup dilakukan. Mengingat sifatnya yang singkat. Terkadang jika seseorang sudah kenal sangat dekat, pesan singkat terkadang sering dijadikan obrolan.Â
Krisis etika sudah mewabah di negeri ini. Dan sering kita temui di dalam situasi kampus yang dilakukan oleh mahasiswa. Sebagai guru atau dosen perlu kita maklumi jika memang si mahasiswa tidak paham soal etika. Makanya di mata kuliah jurusan bahasa ada mata kuliah Lintas Budaya, Pragmatik, atau Sosiolinguistik yang dianggap mewakili urusan etika. Sastra pun dalam karyanya dimana merupakan tiruan kehidupan juga sarat etika, masalah kritis, dan solusinya.Â
Lalu bagaimana jika dosen bahasa yang notabene seharusnya tahu dan mendapatkan mata kuliah-mata kuliah tersebut melanggar etika dalam pesan digital? Silakan Anda jawab sendiri. Politik, materialisme, dan egoisme sudah mewabah sehingga orang menganggap keakuannya dan tidak mempedulikan sekitarnya. Allahu A'lam Bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H