Malam itu langit gelap gulita. Gugusan bintang yang biasanya terlihat gemerlap, mendadak hilang tertutup kabut. Angin berhembus tipis melewati bilik-bilik kamar rumah itu. Sudah pukul 02.30 dini hari. Tapi perempuan berwajah tirus itu masih saja berada di dapur. Matanya yang dulu indah, sudah terlihat lelah. Diantara kantuk yang mendera, ia masih sibuk menyiapkan semangkuk mie instan untuk suaminya.
Perempuan itu menyalakan kompor, memanaskan air, hingga terkantuk-kantuk menyobek bungkusan bumbu dan menuangkannya ke dalam mangkuk. Sudah sepagi ini. Dua jam kedepan ia sudah harus bangun lagi untuk berbelanja sayur mayur ke pasar. Pagi harinya, ia harus berkeliling kampung menjajakan sayur mayur pada penduduk sekitar. Perempuan itu menangis dalam hati. Ia betul-betul merasa kelelahan.Â
Beberapa menit kemudian, mie instan sudah dituang ke dalam mangkuk putih dengan hiasan motof bunga dan ayam jago warna merah. Perempuan berwajah tirus itu sudah membuat mie rebus dengan benar. Tidak ada satu bumbu pun terlewat. Ia begitu hati-hati, meskipun  beberapa kali ia disergap kantuk yang mendera. Ia harus menghidangkan mie rebus dengan benar. Jika lupa memasukan bumbu, jika mie terlalu lembek atau terlalu keras, tak segan-segan sang suami melemparkan mangkuk berisi mie itu ke arahnya. Tak peduli meski kuahnya yang masih panas mengenai perempuan itu.
Perempuan itu mulai mendengus kesal. Kepalanya pusing tujuh keliling. Beberapa menit lalu, ia terbangun dari tidurnya. Padahal baru saja ia memejamkan mata. Suaminya sudah membangunkannya. Meminta dibuatkan mie pada saat lewat tengah malam. Sudah menjadi kebiasaan suami perempuan itu terbangun di tengah malam, lalu meminta  dibuatkan mie instan. Perempuan itu bukannya tidak bisa menolak. Namun selama ini ia memilih untuk menurut.
Usia perkawinan mereka sudah 5 tahun, namun pasangan itu tak kunjung dikaruniai momongan. Perempuan itu disebut-sebut mandul. Sejak itu sang suami kian semena-mena. Perempuan itu banyak menahan diri. Rasa bersalah membuatnya rela melakukan apapun untuk suaminya.
Maka malam itu, dengan kondisi masih setengah sadar, dia terpaksa menuju dapur. Matanya bahkan belum sempurna terbuka saat ia memasak mie instan. Perempuan itu tak bisa menolak. Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Perintah suami ibarat perintah raja yang harus dituruti dan sulit untuk diabaikan.
Sekitar 15 menit kemudian, mie instan itu sudah siap dihidangkan. Tapi perempuan itu kembali tertidur berdiri di depan kompor. Matanya tertutup menahan kantuk. Tak lama kemudian ia kembali tersadar. Â Namun kantuk benar-benar mendera. Rasanya untuk bergerak ke ruangan saja dia sudah berat.
Tangan perempuan itu mulai gemetaran membawa mangkuk berisi mie rebus. Ia sungguh lelah. Perlahan sekali dibawanya semangkuk mie instan panas itu menuju kamar tidur. Suaminya yang temperamen itu, tentu sudah menunggunya di kamar. Perempuan itu berhenti di depan pintu kamar. Suara jarum jam di dinding ruangan terdengar lebih kencang dini hari itu. Tidak seperti biasanya. Perempuan itu melangkahkan kaki ke kamar tidur.
Sepintas perempuan itu melirik ke arah jam dinding. Sudah 15 menit lamanya ia membuat mie instan itu. Hatinya mulai cemas. Ia khawatir suaminya terlalu lama menunggu. Jika tidak kena marah, tentu ia akan ditinggal tidur lagi oleh suaminya. Itu sudah biasa. Sering ia membuat sesuatu yang sia-sia lantaran ulah suaminya itu.
Malam makin melesat menyambut pagi. Jarum jam di ruangan sempit itu terus berputar. Membisikan waktu yang terus berjalan tanpa bisa dihentikan. Rupanya prediksi perempuan itu benar. Ia mendapati suaminya sudah terlelap tidur. Entah bagaimana caranya. Baru lima belas menit, dengan cepat suaminya langsung terlelap. Seolah begitu saja melupakan pesanan mie instan yang dibuat dengan setengah mati oleh perempuan itu.
Perlahan si perempuan meletakan mangkuk panas itu di meja kecil dekat tempat tidurnya. Dengan lembut ia coba membangunkan suaminya.