[caption caption="Sumber gambar: dagospia.com"][/caption]Malam kian temaram. Purnama kali ini tak seindah biasanya. Cahayanya pias tergerus mendung yang tak pernah hilang di mata gadis itu. Angin malam telah memaksanya mendaki pegunungan cinta. Tapi angin itu juga telah melemparnya ke tebing terjal penuh jurang derita.
Gadis itu memejamkan mata. Ia tak mau mendung tiba-tiba menurunkan gerimis dalam hatinya. Ia telah lama terluka karena cinta. Baginya, cinta tak ubahnya nestapa. Tak seorangpun mau berkawan nestapa. Tidak juga baginya. Ia telah pendam cinta itu dalam-dalam.
Lalu ia terbangun. Purnama kali ini, seorang pemuda kampung datang padanya. Menawarkannya jalan menjelajah ke awan-awan. Membawakannya sepasang sayap, mengajaknya memadu kasih di antara bintang dan cahaya rembulan. Lelaki itu datang membawa puisi disaat purnama tengah pucat pasi.
Puisi menghantarkan lelaki itu ke depan pintu hati si gadis. Tapi gadis itu masih ragu. Ia sudah melewatkan sembilan purnama dengan hati berserakan. Pecahannya bahkan masih ia genggam erat hingga malam ini. Semakin ia genggam, semakin sakit ia rasakan. Pecahan itu menusuk, menyayat, membuat luka menganga pada jemari gadis itu.
Ia ingin melepas pecahan itu. Membiarkannya menguap ke awan. Ingin ia hempaskan. Ingin ia lupakan. Tapi kadang ia tak sanggup. Kadang ia masih takut. Rasa itu begitu lekat padanya. Cinta memang punya garis tipis antara suka dan benci. Dan ia lebih banyak berjalan di garis benci. Gadis itu hanya bisa menangis.
"Aku ragu padamu. Seperti raguku pada sembilan purnama yang lebih dulu menjumpaiku." Gadis itu berbisik tenang pada debur ombak di tepian pantai.
Ia mulai berjalan diantara pantai dan tebing-tebing terjal hatinya.
"Bagiku, luka demi luka telah terbuka menganga. Menerimamu sama seperti memahat sembilu yang bisa melukaiku kapanpun. Kau bagiku sama saja tiada beda dengan mereka." Gadis itu terus berbisik pada debur ombak pinggir pantai.
Purnama kian tertutup kabut. Gadis itu lantas melihat ke arah sang lelaki. Dia yang datang pada saat purmama pucat pasi. Lelaki itu terlihat mulai terluka. Erat ia pegang hatinya yang mulai retak. Beberapa bagian sudah pecah berjatuhan di atas pasir. Lelaki itu tak kuat menahan sakit. Ia menangis.
Gadis itu tak mengerti. Tiap kata dari bibirnya kini mulai melukai sang lelaki. Ia tak lagi bisa bercerita seperti dulu. Setiap puisinya adalah sayatan. Setiap kata dari bibirnya adalah goresan. Senyumnya kini ibarat tusukan belati. Menghunus tajam. Ia tak tega. Gadis itu meminta sang lelaki segera berlalu.
"Kau datang padaku menawarkan hati yang biru. Tapi badai telah lebih dulu merenggut hatiku. Tidak ada lagi yang bisa kuserahkan padamu." Gadis itu berbisik pada angin yang berhembus.
Lelaki itu menengadah ke langit. Seraut wajah kosong yang datang saat purnama pucat pasi itu kian terlihat memudar. Lelaki itu mau roboh. Ia kini berjalan tak tentu arah. Melangkah dengan hati berceceran di atas pasir, berjalan kemana angin membawa.
Lelaki itu tulus ingin mengabdikan cintanya pada gadis itu. Ia tahu sembilan purnama sebelumnya telah merenggut senyum gadis itu. Tapi ia tak bisa menahan cinta dalam dadanya. Keinginan itu begitu kuat. Sulit untuk dilawan, dihilangkan.
Tapi matahari telah berjalan sejengkal menuju mati. Gadis itu menutup erat pintu hati pada guratan awan yang pasi. Badai belumlah laju di dada gadis itu. Baginya, lelaki purnama kali ini sama seperti debu yang diterbangkan angin. Hanya sepintas datang lalu ia kan menghilang.
Gadis itu terlihat mulai menutup matanya. Menahan laju tangisan yang tiba-tiba ingin keluar. Sepintas ia melihat lelaki itu terus berjalan pada awan yang beriringan. Pada ombak yang berdebur. Pada angin malam yang ringan berhembus. Langkahnya kian lunglai. Lelaki itu tersungkur di tepian tebing curam.
Gadis itu bimbang bukan kepalang. Tangisan rupanya tak bisa menolong kegalauan hatinya. Ia tak tega melihat lelaki itu mau mati. Gadis itu mulai melangkah mendekati. Tapi bayangan lelaki lain yang datang pada sembilan purnama sebelumnya, kembali menghampiri. Gadis itu menjerit. Kepalanya mulai berat. Pikirannya membuncah.
Purnama kian temaram. Gadis itu tak sanggup lagi berdiri. Sembilan lelaki yang datang di saat purnama yang lalu telah mencabut nyawa cintanya. Tak ada lagi yang tersisa bagi lelaki yang datang lewat puisi itu. Gadis itu hanya bisa melanjutkan tangisnya. Menyaksikan lelaki di depannya perlahan mati. (*)
Â
Beirut, Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H