Aku adalah kisah sendu.
Seperti Cinderella yang terjebak dalam sayatan waktu.
Aku adalah kisah sendu.
Balada musafir yang tergerus bisingnya waktu.
Aku terdiam pada malam dan pagiku.
Hanya bersandar pada bayang-bayang.
Menunggu untuk satu tarikan napas.
Lalu hilang ditelan waktu.
Aku adalah temaram purnama.
Kerlip bintang yang tergerus mendung tak berujung.
Sesaat kuterjebak bisingnya angan.
Menepi pada kumparan ambisi yang semakin kusut tak tentu.
Aku hidup dalam mati. Dalam kosong dan gelapnya lorong jiwa.
Hanya lonceng kematian yang menepi.
Menunggu hingga jiwa benar-benar terpisah raga.
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam. Ponsel ditangannya ia hempaskan ke arah guling. Sudah pukul 03.45 pagi. Matanya tak kunjung bisa terpejam. Sudah empat judul puisi ia tulis di ponselnya malam ini. Tetap saja, ia tak jua bisa tidur. Perempuan itu lantas meringis. Ulu hatinya mulai terasa sakit lagi. Segera ia berbaring dengan benar. Meluruskan kaki. Mengambil minyak kayu putih dan mengoleskan banyak-banyak ke sekitar ulu hati dan perutnya.
Perempuan itu masih meringis menahan sakit. Di kamar kost itu, ia hanya mempunyai sebotol minyak kayu putih dan satu strip obat maag. Itupun isinya sudah hampir habis. Ruangan sempit itu berisi satu kasur lipat, satu lemari baju, dan satu dus besar berisi tumpukan buku dan kertas-kertas. Tak jauh dari itu, empat botol besar air mineral yang sudah kosong isinya, terlihat berserakan. Hanya sudut ruangan dekat jendela yang terlihat sedikit rapi. Ada sajadah dan mukena yang terlipat di atas meja kecil tempat kitab suci diletakan.
Perempuan itu kemudian duduk sambil memegang erat perutnya. Seharian tadi ia belum makan. Hanya minum air mineral dan beberapa kali menelan obat maag. Ia sudah tak punya uang sejak dua hari terakhir. Kepalanya mendadak sedikit pusing ketika melihat setumpukan kertas HVS berserakan dekat tempat tidurnya. Tugas dari kampusnya sudah menumpuk.
Beberapa kali perempuan itu meringis menahan sakit. Sakit dari ulu hatinya kini menjalar ke perut. Ia tak lagi bisa membedakan mana sakit maag atau kelaparan. Perempuan itu bahkan mungkin sudah lupa dengan rasa lapar. Lama ia berkawan dengan sakit maag akibat pola makan yang tidak benar. Akibat kelaparan dan benar-benar tak bisa makan. Jangankan untuk makan. Untuk sekedar memfotokopi makalah pun ia tak punya uang.
Mata perempuan itu makin terlihat sayu. Sudah tiga bulan ia mengeluhkan sakit tak terkira di bagian perut dan ulu hatinya. Sering ia muntah hebat disertai demam. Tapi rasa sakit itu ia telan sendiri dalam sepi. Sudah dua kali perempuan itu dibawa teman-temannya ke rumah sakit kampus karena pinsan saat di kelas. Tentu tidak ada yang tahu ia pinsan karena menahan lapar yang berujung maag akut. Perempuan itu pandai menyembunyikan rasa sakit di depan teman-temannya, bahkan sejumlah sahabat dekatnya.
Angin berhembus tipis melewati celah jendela. Di ruangan yang sumpek dan pengap ini, perempuan itu masih menahan sakit. Ia tak pernah tuntas dalam berobat. jikapun dapat pemeriksaan gratis dari rumah sakit kampus, ia tetap tak bisa menebus obat. Orang tuanya di kampung sudah tak bisa menolong. Ayahnya yang seorang buruh tani, setahun terakhir terkena stroke. Ibunya yang juga sudah menua, hanya menjadi kuli cuci baju tetangganya. Sulit untuk bisa berharap. Mengabari mereka di kampung hanya akan menambah beban.
Perempuan itu mengambil ponselnya. Bibirnya tersenyum tipis. Ada orang yang memberi komentar pada puisi yang dipublisnya. Perempuan itu pandai menulis puisi dan mengarang cerita. Tapi jaman sekarang, menulis puisi dan bersastra tidak lantas bisa menghasilkan uang. Beberapa kali ia mengirimkan karya-karyanya, tapi berkali-kali pula ia kecewa. Jangankan dapat tambahan uang, dapat respons saja tidak.
Dengan menahan nyeri, ia kemudian bergeser mendekati lemari baju. Masih sambil duduk, perempuan itu berupaya menggapai obat maag di atas lemari dengan satu tangannya. Perempuan itu masih menahan sakit yang kian menjadi-jadi. Erat ia tekan bagian perutnya. Berharap sakit dan rasa nyeri itu segera pergi. Tapi tetap saja, sakit itu tak jua berlalu. Segera ia keluarkan obat maag dari kemasannya. Masih mujur, obat maag itu masih tersisa satu.
Di ruangan itu, ia hanya memiliki lemari kecil yang tingginya tak lebih tinggi dari ukuran meja kantor. Lemari baju itu hanya memiliki dua tingkat. Yang paling atas digunakan untuk tempat baju bersih, sementara di bawahnya untuk baju yang kotor. Terkadang, baju kotor yang tak lagi muat dalam lemari, ia letakan di kardus tempat buku-buku pelajaran. Ruangan itu tidak dilengkapi kamar mandi. Sehingga baju yang kotor tak bisa diletakan di ember atau tempat lain di kamar mandi.
Perempuan itu makin kesakitan. Segera ia masukan obat maag ke dalam mulutnya. Tapi ia mendadak kebingungan. Segera ia bergeser mendekati botol-botol air mineral yang berserakan. Sudah kosong semua. Tidak ada air yang tersisa untuknya. Perempuan itu mulai menangis. Dalam hatinya ia mulai menggugat Tuhan. Ia marah. Mempertanyakan kenapa ditakdirkan hidup berkawan kemiskinan.
Dalam tangisnya, perempuan itu teringat sesuatu. Dua hari lalu, teman-temannya datang mengunjungi. Ia beberapa hari tak masuk kampus karena sakit. Teman-temannya lalu datang untuk menjenguk. Waktu itu enam botol teh ia beli dari warung sebelah untuk sekedar menjamu teman-temannya. Itulah terakhir kali ia memegang uang. Dan seingatnya, masih ada satu botol tersisa yang belum sempat diminum saat itu.
Segera ia cari botol teh tersebut. Mendadak tenggorokannya menjadi semakin haus. Di bawah tumpukan baju kotor, botol teh dari bahan beling itu akhirnya ia temukan. Mata perempuan itu sedikit berbinar. Isak tangis masih terdengar. Ia masih meringis. Sakit di perutnya masih terasa.
Mendekati waktu subuh, perempuan itu tak kunjung bisa minum. Obat maag terpaksa ia kunyah dan telan tanpa minum air barang setetes pun. Tutup botol teh itu ternyata sulit untuk dibuka. Ia sudah mencoba membuka sebisanya. Dengan mengaitkan di paku, dengan giginya, bahkan ia sudah mencoba membuka dengan gunting kuku atau benda seadanya yang ada di ruangan. Tapi itu tak mudah. Seandainya ada pembuka tutup botol, tentu ia sudah menenggak teh itu. Air mata perempuan itu makin mengalir deras.
Adzan subuh mulai berkumandang. Perempuan itu terlihat sudah kembali berbaring. Rupanya sakit di ulu hati dan perutnya semakin menjadi. Air matanya masih deras mengalir saat satu tangannya erat menekan bagian perut yang dirasanya sangat menyiksa. Sementar tangan lainnya masih memeluk botol teh yang tak kunjung bisa dibukanya. Bibirnya masih meringis kesakitan. Perempuan itu tak lagi kuat membuka matanya. Ia tertidur selamanya.(*)
Ciputat, Agustus 2016. Kado semangat untuk teman-teman mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H