Mohon tunggu...
Aliurridha
Aliurridha Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah dan penulis lepas

Menulis untuk tetap waras

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadi Sebenarnya yang Benar Itu Menutup Aurat atau Memakai Jilbab?

27 Mei 2020   14:10 Diperbarui: 27 Mei 2020   14:09 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: muslim.or.id

Setelah heboh-hebohnya repons netizen akibat pernyataan Sinta Nuriyah tentang Jilbeb, teman saya ikut merespon dengan membuat pertanyaan untuk membuka diskusi untuk topik tersebut di Facebook. Ia menanyakan apakah yang wajib itu menutup aurat atau memakai jilbab? Menurut teman saya keduanya adalah dua hal yang berbeda, yang pertama adalah sebuah ide sedangkan yang kedua adalah produk.

Pertanyaan ini seketika ramai dikomentari, ada yang nyambung ada yang tidak. Lebih banyak yang tidak nyambung. Memahami maksud pesan memang bukan hal yang mudah bagi sebagaian orang. Salah satu komentar yang lucu adalah ketika seseorang menjawab hal yang sama sekali di luar pertanyaan. Saya kutip secara verbatim salah satu komentar yang buat saya agak nyasar.

"Orang menutup aurat secara syar'i sudah pasti menggunakan jilbab. Tapi orang yang menggunanakan jilbab belum tentu sudah menutup aurat secara syar'i. Berarti secara konteks menutup aurat adalah perintahnya, jilbab adalah medianya. Dan keduanya tidak dapat dipisahkan".

Orang ini sama sekali tidak berusaha menjawab pertanyaan dan secara tiba-tiba membahas syar'i yang sama sekali tidak dipertanyakan. Kalau pertanyaanya apakah yang wajib itu menutup aurat dengan produk berlabel syar'i atau memakai jilbab mungkin jawabannya masih bisa mengena.

Ketika ditanya balik karena yang membuat pertanyaan bingung dengan jawabannya dia malah marah-marah dan menyuruh teman saya ini untuk mencoba memahami makna jilbab karena dianggapnya tidak tahu apa-apa. Duh, ciri khas netizen Indonesia ketika argumennya berantarakan dia balik menyerang orang menganggap orang tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas dia membuat pertanyaan karena bingung. Sedari awal dia sudah mengklaim dirinya tidak tahu karena itu ia membuat pertanyaan. Bukankah orang bertanya karena ada keraguan atau ketidaktahuan?

Petanyaan ini memang sudah lama menjadi perdebatan. Perdebatan itu meliputi aurat perempuan hingga sampai hal yang teknis apakah diperlukan jilbab. Tidak salah apa yang disampaikan teman saya bahwa jilbab adalah suatu produk, sebagai produk tentu saja ia bisa digantikan sedangkan menutup aurat adalah ide. Sebagai ide ia bisa ditafsirkan secara berbeda.

Dalam tradisi metodologi tafsir Al-Quran seperti ushul fiqh dalil-dalil tekstual sebuah ayat tidak otomatis memiliki satu arti. Apalagi jika kita melihat pada rujukannya adalah Al-Quran yang mana, apakah Al-Quran berbahasa arab atau Al-Quran terjemahan Depag (Departemen Agama) yang menerjemahkan khomr menjadi minuman keras. Minuman keras???

Mungkinkah saat itu penerjemahnya terpengaruh oleh Rhoma Irama. Karena saya belum berhasil melacak apakah ada penggunaan frasa minuman keras sebagai bentuk figuratif dari minuman beralkohol dalam bahasa Indonesia sebelum Rhoma menyanyikannya. Jangan-jangan memang ada distorsi makna dalam Quran terjemahan Depag.

Selain itu jika kita berbecara dalam konteks terjemahan, berarti berbicara dalam konteks bahasa. Bahasa Indonesia dengan bahasa arab adalah dua bahasa yang berbeda yang mana terbentuk dari perilaku budaya kedua bahasa yang sangat berbeda. Sebagai contoh kata ganti Allah yang pada bahasa Arab menggunakan "Huwa" sama dengan bahasa Inggris "He" yang digunakan untuk laki-laki yang tentu saja menggambarkan sosok yang maskulin. Berbeda dengan bahasa Indonesia "Dia" yang sama sekali tidak menggambarkan gender. Ternyata bahasa Indonesia lebih egaliter.

Berbicara terjemahan, hasil terjemahan itu tidak salah sama sekali, ia akurat dan berterima. Meski hasil terjemahan diterjemah secara akurat dan berterima namun tetap saja terdapat distorsi di mana ada pengurangan dari makna "Huwa" menjadi "Dia" dikarenakan kedua budaya bahasa yang berbeda. Jika Quran Depag yang menjadi rujukan berarti masih banyak ruang untuk perdebatan.

Kalau rujukannya Quran non-terjemahan, kita masih bisa bertanya lagi siapa siapa pemegang otoritas atas tafsir? Quran mana yang menjadi rujukan apakah Quran wahyu yang masih terecer dan belum memliki medium fisik? Atau juga Quran periode pertama yang belum tersentuh tafsir ulama? Atau Quran abad pertengahan yang sudah tersentuh tafsir ulama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun