Mohon tunggu...
Alit Dichan
Alit Dichan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Informatika yang menyukai Biologi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

“ Aku, Senja dan Secangkir Teh Hangat Berbalut Renungan”

22 Oktober 2014   23:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:04 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14139715031875842571

Bandung 13 Oktober 2014 . . .

Untuk secangkir Teh hangat di senja ini

Sore ini aku duduk berselimutkan cahaya senja di temani secangkir teh hangat, aku menelan seteguk, terasa sangat manis.

Ini adalah kali ketiga aku ketempat sejuk nan cantik ini. Seperti biasa udara disini dingin memeluk mesra. Meneduhkan lamunanku.

Meja di Warung Daweung ini basah lembab karena dinginnya cuaca sehingga menimbulkan refleksi keemasan warna langit jingga bercampur sedikit pink di ufuk timur. Beberapa orang duduk di ujung tebing diatas susunan batu-batu cantik tertata rapi tampak seperti siluet berlatar belakang langit yang berwarna jingga.

Aku menatap pada sebuah cangkir bergambar daun anggur yang sudah kering, yang berada tepat diatas meja kecil yang terbuat dari pahatan batu. Asap tipis menguap dari cangkir teh yang aku pegang, hangat menyergap. Dia nyaris tak terlihat, sangat sulit untuk ditangkap, tapi aku tetap bisa merasakan kehangatannya.

Sengaja aku memesan teh hangat ini. Orang-orang menyebutnya warung daweung yang artinya tempat untuk merenung, dengan ketinggian diatas 1450 m diatas permukaan laut. Berdiam, memejamkan mata dan menenangkan pikiran di tempat ini serasa dipeluk salju, dingin tapi menenangkan.

Warna senja mulai menggelap, menjadikan cakrawala yang mulanya jingga emas menjadi redup kemerahan. Suara-suara pengunjung yang sedari tadi mengobrol disekitarku kini senyap sudah berganti suara gemerisik serangga. Aku menghela nafas menikmati nikmat tuhan yang luar biasa ini. Dari kejauhan ku pandangi satu persatu lampu rumah kota Bandung menyala bergantian. Aku beranjak dari tempat dudukku menyaksikan momen lima menit yang begitu mengagumkan. Aku kembali duduk setelah menikmati suguhan pemadangan yang sering dipuja-puja oleh pemburu senja.

Aku keluarkan sebuah buku dari dalam tas ku dan sebuah bullpen. Aku ingin menikmati hawa sejuk ini dan siluet berlatar kerlap-kerlip kota Bandung diatas bukit Moko sembari menulis tentang seseorang yang aku kenal sejak kelas dua SMP.

Bersama kenangan yang terurai pada secangkir the hangat, siluet senja dan ribuan kerlap-kerlip kota Bandung, aku persembahkan tulisan ini sebagai kado kecil untuk ulang tahunnya yang ke 22 tanggal 26 Oktober depan. Bintang sudah bertebaran di hamparan langit luas bak atap menaungiku di sudut tebing di atas batu bertuliskan “Remember Me”. Satu-persatu ia membentuk rasi sambil ku tunjuk membentuk rangkaian yang tak bisa ku sentuh. Saatnya aku menulis.

Here, for you ……………..

“ Aku, senja dan secangkir teh hangat berbalut renungan”

Tentang mimpi-mimpi yang terbilas waktu,

Memudar dari harapan dan sepenggal ingatan.

Tentang jatuh bangunnya harapan,

Menghajar jalanan yang lebih manis dari kenyataan yang ada.

Kita masing-masing pernah susuri lembar buku,

Belum habis sudah terbakar bersama amarah,

Tinggalkan beribu kesan dan tanda Tanya.

Baris-perbaris kita tulis sebagai proses,

Menasbihkan kata dalam sebuah ingatan

Yang tak sempat bisa diukir dalam cerita berbalut rasa

Seperti senja sore ini memudar bersama angkuhnya waktu

Kita berkendara menempuh waktu dengan keinginan

Menjaga gegap gempita yang tersemat sepanjang waktu

Tanpa sadari mata dan sentuhan mematri ingatan

Menceritakan kembali bahagia melalui tulisan

Memang…..

Tidak ada yang lebih mencekam dari sebuah keputusan

Yang dituangkan dalam keheningan

Berurut pagi sore dan malam

Tidak ada yang lebih kosong daripada hari, minggu, bulan dan tahun

Yang menghilang dari penanggalan kenangan, tanpa satupun tanda

Bahwa keberadaan di mayapada bukan sekedar khayalan

Tidak ada yang lebih membunuh esok

Dari badai seisi hati

Yang diwakili renik-renik disudut mata

Mengelir hitam tak sisakan spasi

Untuk alasan yang berdiam dalam keheningan

Untuk pertanyaan yang menggantung tak terucap

Untuk dorongan mengetahui asal-muasal perkenalan

Adalah indah karena semuanya berjalan dan

Terurai tiap langkah

Bukan akhir karena tidak ada awal

Bukan kebingungan karena tanya belum terkuak

Seperti tarikan mengiyakan kodrat gravitasi

Hanya sebuah terminal ingatan aku, kamu awal bertemu

Seperti phytagoras merajuk pada tiga sudut pemahaman

Tapi ini bukanlah rumus yang perlu dipecahkan

Ini tidak tertulis, seperti udara sejuk ini

Atau asap tipis dari secangkir teh

Hanya perlu dirasakan, masuk menyusup kedalam dada

Aku tenggelamkan ingatan saat aku

Kamu, waktu berjalanbersama beriringan……..

Perlahan dingin merasuk menangkup bersama

Lambaian daun meniti satu persatu ingatan

Lalu……..

Angin bersendu menyapa lampau

Menyapu lamunan indah terbaca

Seperti abstrak menyatu berambigu makna

Melafalkan hasrat dan keinginan lalu-lalu

Waktu mengurai bersama pagi dan malam

Seperti embun yang jatuh pada helai daun pucuk merah

Terpental berbias tetes

Mengembun lagi bersama berbalut canda

Dalam tiap hujan

Bukan hanya air deras membasahi bumi

Menyebarkan aroma tanah tertimpa rintik

Tapi juga duka yang terbilas

Dan harapan tumbuh seperti pelangi

Seperti teori Descartes…

Ia selaksa sinar dan butir-butir udara

Tak perduli seberapa banyak spectrum warna

Tak perduli apa warna sejatinya

Ia tetap menyajikan keindahan tiada tara

Tak perduli semua orang melihat pelangi yang sama

Ia tetap datang menyayat sepi berbisik rindu

Seperti kamu…….

Bagai kepak sayap burung pulang

Perkasa di selasar bintang

Laksana camar menjelajah riang

Selaksa parrotfish selami laut penuh tawa

Waktu betah berlabuh

Menunggumu di bulan oktober ini

Kuharap engkau belumlah petang merah jingga

Di detik menit tersapu malam

Yang hanya duduk membatu menatap dentang usia

Kamu sejatinya adalah pelukis masa dan kisah

Seperti edelwish menjadi kisah abadi cinta dan rasa

Bagai senyum berpendar dengan beribu kunang-kunang

Hingga malam tak lagi gulita

Terang, terang dan terang

22 ini tahun kau berlabuh

Melukis tawa, cinta, duka dan beribu warna

Menyapa senja, memberikan sejuta makna

Melihat langit, menatap bulan lalu tidur dibawah rembulan

Lelah bersenda gurau,

Kau palingkan cahaya pada gelap

Membuat semua yang disekitarmu ceria

Menggenggam asa yang kau tanam dalam cinta mereka

Here I wish you a happy birthday

I hope luck with you as a smile in your life

Like a star in beautiful night or an orchid in a spring

Get your dream ideals, blessing age and much sustenance

A dream love and best future.

Aamiin….

“Bukit Moko, Bandung 13 Oktober 2014 18.30 pm”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun