Mohon tunggu...
Alit Amarta Adi
Alit Amarta Adi Mohon Tunggu... -

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM). Sedang menempuh studi di Magister Ilmu Hukum UGM konsentrasi hukum kenegaraan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Trias Politica dan Checks and Balances a la Indonesia

16 November 2010   10:05 Diperbarui: 4 April 2017   17:44 42226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia terus berproses dalam rangka mewujudkan kehidupan yang demokratis. Undang- Undang Dasar 1945 (naskah asli), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang- Undang Dasar 1945 (amandemen ke- empat) merupakan hasil upaya untuk semakin mendekatkan diri kepada demokrasi. Ditinjau dari asal kata, demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. Kata Yunani demos berarti “rakyat” dan kratos/ kratein berarti “kekuasaan/ berkuasa”[1].

Dalam demokrasi dikenal konsep Rechstaat (negara hukum)[2]. Rechtstaat (negara hukum) diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah[3]. Menurut Frederik Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep Rechstaat adalah negara didasarkan kepada Trias Politica (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial)[4]. Menurut Carles de Secondat Baron de Labriede et de Montesquieu[5]:

a.Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang- undang;

b.Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang- undang;

c.Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.

Dalam sistem ketata negaraan Indonesia pasca Amandemen ke- empat Undang- Undang dasar 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK)[6].

Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.

Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden, pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela mau punbila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi kontrol tersebut peran DPD sangat minim, yaitu sebatas “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama”. DPD tidak berwenang secara langsung untuk menindak lanjuti hasil pengawasan tetapi hanya sebatas menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan Yudikatif (MA dan MK), DPR berwenang melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung dan mengajukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi.

Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif, Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR) dan Senate (semacam lembaga utusan negara bagian)[7]. Dalam Undang- Undang Dasar 1945 tidak terdapat ketentuan mengenai hak veto tersebut tetapi pembahasan setiap rancangan undang- undang dilakukan oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama[8]. Selain hak pembahasan dan persetujuan bersama, Presiden juga diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada DPR[9]. Keterlibatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan Eksekutif dalam kegiatan membuat undang- undang membuatnya juga memegang kekuasaan Legislatif sehingga Presiden mempunyai kekuasaan ganda. Hal tersebut tidak konsisten dengan asas Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Sejauh ini di negara- negara yang menganut sistem presidensial, kekuasaan Legislatif diserahkan kepada parlemen, sedangkan Presiden mempunyai hak veto. Diantara negara- negara tersebut hanya konstitusi Indonesia dan Puerto Rico yang memberikan hak legislasi bersama parlemen kepada Presiden[10]. Sedangkan dalam fungsi kontrol tehadap kekuasaan Yudikatif, Presiden diberikan kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan calon hakim agung sebagai hakim agung[11], selain itu Presiden juga diberikan kewenangan untuk mengajukan tiga dari sembilan orang hakim Konstitusi dan menetapkan para hakim Konstitusi tersebut[12].

Dalam rangka fungsi pengawasan kekuasaan Yudikatif terhadap kekuasaan Eksekutif, MA diberikan kewenangan untuk menguji peraturan perundang- undangan yang kedudukannya dibawah undang- undang terhadap undang- undang[13]. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, bentuk- bentuk dan tata- urutan perundang- undangan meliputi:

§Undang- Undang Dasar (UUD) dan perubahan UUD.

§Undang- Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu).

§Peraturan Pemerintah.

§Peraturan Presiden.

§Peraturan Daerah.

Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam praktik disamping peraturan perundang- undangan tersebut masih banyak bentuk peraturan perundang- undangan lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan dan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dll[14]. Kewenangan tersebut diberikan kepada MA karena Indonesia belum membentuk MK.Dengan dibentuknya MK sebagai “pengawal konstitusi” dan untuk memperingan tugas MA maka sebaiknya kewenangan menguji MA diserahkan kepada MK. Hal tersebut juga supaya semua peraturan perundang- undangan dapat diuji terhadap undang- undang dasar sehingga dapat terwujud supremasi konstitusi.

Selain hal tersebut, MK juga diberikan kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar[15].

Dalam rangka melaksanakan konsep checks and balances yang lazim, sebaiknya Presiden tidak boleh turut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan rancangan undang- undang dan hak Presiden untuk mengajukan rancangan undang- undang sebaiknya dihapus. Sebagai mekanisme kontrol terhadap Legislatif, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan hak veto atas rancangan undang- undang yang akan disahkan Legislatif. Perubahan tersebut wajib dicantumkan dalam amandemen undang- undang dasar.

Selain hal tersebut, hak uji peraturan perundang- undangan sebaiknya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga semua peraturan perundang- undangan diuji terhadap undang- undang dasar.

[1]Miriam Budiardjo, 2005, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm. 50.

[2] Ibid., hlm. 52.

[3] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Kostitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hlm.158.

[4] Ibid.

[5] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 13.

[6] Jimly Asshiddiqie, tanpa tahun, Konstitusi dan Konstitualisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 184.

[7] Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 69.

[8]Pasal 20 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945.

[9] Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.

[10]Moh. Mahfud MD, makalah Undang- Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan, disampaikan dalam seminar konstitusi “Kontroversi Amandemen UUD 1945 dan Pengaruhnya terhadap Sistem Ketatanegaraan, Jakarta,12 April 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun