Mohon tunggu...
Alit Amarta Adi
Alit Amarta Adi Mohon Tunggu... -

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM). Sedang menempuh studi di Magister Ilmu Hukum UGM konsentrasi hukum kenegaraan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menanti Kebangkitan Pancasila dalam Esensi Undang-undang Pemanfaatan Sumber Daya Alam

15 November 2010   07:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:36 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanti Kebangkitan Pancasila dalam Esensi Undang- Undang Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Alit Amarta Adi

NIM: 10/ 305791/ PHK/ 6315

Pendahuluan

Konon, Phoenix, seekor burung dalam mitos akan menemui ajalnya dengan terbakar habis. Dari sisa- sisa abu jasadnya, Phoenix kemudian bangkit kembali dan akan hidup sampai seribu tahun. Siklus tersebut terjadi berulang- ulang sehingga Phoenix dianggap sebagai burung abadi[1]. Garuda Pancasila sebagai lambang negara Indonesia, pada bagian dadanya terdapat perisai yang memuat lima lambang filosofi hidup berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila. Sebagai filosofi hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila seharusnya juga menjadi nilai- nilai yang menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang- undangan Republik Indonesia. Peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam ternyata banyak yang bertentangan dengan nilai- nilai Pancasila terutama nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Esensi dari peraturan perundang- undangan tersebut umumnya adalah mencari pemasukan sebanyak- banyaknya melalui pemanfaatan sumber daya alam dengan mempermudah ijin, memberikan kebebasan bagi siapa pun untuk bersaing memperebutkan ijin atas pencarian, pengambilan dan pengelolaan dan memberikan kemudahan dan keringanan bagi pemegang ijin. Di sisi lain, masyarakat setempat tidak diberikan dukungan yang cukup untuk menjadi pihak yang terutama dalam menikmati sumber daya alam yang berada di daerah tempat tingggalnya. Hal tersebut merupakan pengkhianatan (atau lebih ekstrim lagi: pembunuhan) terhadap Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila tidak dibiarkan hidup dalam esensi peraturan perundang- undangan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia. Pancasila “dibunuh” oleh para pembentuk undang- undang, “jasadnya dibakar habis” dan diganti dengan filosofi Neo- liberalisme[2]. Sementara segelintir orang menikmati upah perselingkuhan dengan Neo- liberalisme, lebih dari puluhan juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan menanti Pancasila bangkit kembali dari sisa- sisa abu jasadnya, mengalahkan Neo- liberalisme dan mengantarkan rakyat Indonesia kedalam kesejahteraan.

Quo Vadis? Mau Kemana Kita?

“...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”[3].

Para pendiri negara Indonesia merumuskan tujuan negara Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam kutipan di atas, yang pada akhirnya adalah menuju kepada kesejahteraan rakyat Indonesia. Pandangan bahwa tujuan negara adalah kesejahteraan rakyat juga dikemukakan oleh para pakar, diantaranya adalah Hugo Grotius yang menyatakan bahwa:

Negara adalah sekelompok manusia bebas yang secara bersama- sama menggabungkan dirinya dengan tujuan untuk menikmati pengaturan oleh hukum dan demi kesejahteraan umum[4].

Senada dengan Grotius adalah Charles E. Merriam yang menyatakan bahwa fungsi negara adalah untuk mewujudakan keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kebebasan dan kesejahteraan umum[5].

Pakar politik Miriam Budihardjo menyatakan bahwa terlepas dari ideologinya, setiap negara menyelenggarakan beberapa fungsi minimum yang perlu, antara lain melaksanakan penertiban, pertahanan, menegakkan keadilan dan mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya[6].

Kesejahteraan Rakyat; Apa Itu?

Kesejahteraan rakyat atau kesejahteraan sosial (social welfare) adalah penyediaan pemerintah dalam bentuk bantuan ekonomi bagi individu yang memerlukannya[7]. Seorang pakar bernama Charles H. Zastrow menyatakan bahwa kesejahteraan sosial diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan- kebutuhan sosial, keuangan, kesehatan dan hiburan bagi semua individu dalam suatu masyarakat[8].

Lebih lanjut, para pakar lain seperti Rosalie Ambrosino, Robert Ambrosino, Joseph Heffernan dan Guy Shuttlesworth, menyatakan bahwa istilah ‘kesejahteraan sosial’ merujuk pada lingkup luas kegiatan terorganisasi badan- badan publik atau badan- badan sukarelawan dalam upaya mencegah, mengurangi penderitaan atau berkontribusi untuk memecahkan serangkaian masalah sosial tertentu[9]. Pada konkretnya, kesejahteraan sosial menunjuk pada tersedianya fasilitas publik seperti perpustakaan, taman umum dan rumah sakit.

Indonesia Negeri yang Kaya dengan Sumber Daya Alam

Berdasarkan data Badan Intelijen Amerika Serikat (Central Intelligence Agency), Indonesia mempunyai sumber daya alam andalan berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, lahan pertanian yang subur, batu bara, tembaga, emas, perak[10]. Pada tahun 2009, produksi minyak bumi diperkirakan mencapai 1.023 juta barrell per hari (peringkat ke- 22 dunia) dengan cadangan minyak bumi diperkirakan mencapai 3,99 milyar barrell (peringkat ke- 29 dunia). Pada tahun 2008, produksi gas alam diperkirakan mencapai 70 milyar meter kubik (peringkat ke- 12 dunia) dengan cadangan gas alam pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 3.001 trilyun meter kubik (peringkat ke- 12 dunia) tetapi terhitung pada 31 Desember 2009, Indonesia masih mempunyai hutang luar negeri mencapai 150,7 milyar Dollar Amerika.

Liberalisasi dan Privatisasi. Kenapa Bukan Nasionalisasi (atau setidaknya Intervensi untuk Melindungi Usaha Rakyat?

Dengan hutang luar negeri mencapai 150,7 milyar Dollar Amerika, pembentuk undang- undang malah melakukan (atau setidak- tidaknya membiarkan) liberalisasi[11] yang mendorong privatisasi[12] pengelolaan sumber daya alam. Kenapa tidak melakukan nasionalisasi[13] perusahaan- perusahaan yang mengelola pemanfaatan sumber daya alam?. Bolivia dibawah kepemimpinan presiden Evo Morales melakukan nasionalisasi terhadap tambang gas alam Bolivia pada tanggal 1 Mei 2006[14] dan nasionalisasi terhadap Chaco yang merupakan anak perusahaan British Petroleum (BP)pada tanggal 23 Januari 2009[15]. Chile dibawah kepemimpinan presiden Salvador Allende melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan- perusahaan tambang tembaga pada tahun 1971[16]. Selain itu, Venezuela dibawah kepemimpinan presiden Hugo Chavez melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan pemurnian minyak Orinoco Belt[17]. Negara- negara seperti Bolivia, Chile, Venezuela memang tidak menganut Pancasila sebagai landasan hukumnya tetapi negara- negara tersebut menganut asas kesejahteraan sosial untuk rakyatnya dan berani melakukan nasionalisasi sumber daya alam. Sila ke- lima Pancasila berbunyi ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Jadi mengapa Indonesia (yang mengaku) menganut Pancasila sebagai landasan hukumnya tidak berani melakukan nasionalisasi demi kesejahteraan sosial rakyatnya? atau setidak- tidaknya melakukan intervensi legislatif dengan membuat undang- undang yang melindungi dan mengutamakan masyarakat setempat dalam mengakses dan memanfatkan sumber daya alam dan juga melakukan review/ perbaikan materi undang- undang yang berasas liberalisme?. Mengapa justru pembentuk undang- undang menciptakan kondisi kebebasan bersaing dalam mendapatkan ijin pencarian, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam?.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Kehutanan

Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan merupakan peraturan yang mengatur tentang pemanfaatan hutan di Indonesia. Dalam Pasal 29 tercantum bahwa izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayudapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Sepintas lalu rumusan Pasal 29 tersebut tampak memberikan kesempatan yang sama kepada perorangan dan koperasi untuk dapat memperoleh izin pemanfaatan hutan tetapi rumusan tersebut menyimpan filosofi kebebasan bersaing. Bagaimana perorangan atau koperasi jika bersaing langsung dengan badan usaha milik swasta?. Kemungkinan besar perseorangan atau koperasi akan kalah bersaing dengan badan usaha milik swasta. Selain itu, seharusnya dalam undang- undang kehutanan dicantumkan ketentuan yang memberikan jatah untuk perorangan dan koperasi dengan persentase tertentu dari kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan. Akan sangat baik jika persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Dengan demikian pemanfaatan hutan dan hasil hutan tidak didominasi oleh badan usaha milik swasta dan memberikan jaminan kepastian ketersediaan akses pemanfaatan hutan bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi.

Selain mengenai kebebasan bersaing dalam mendapatkan izin dan tidak adanya jatah khusus bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi, hak masyarakat adat untuk memanfaatkan hutan juga dibatasi dengan ketentuan Pasal 67 dimana masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut berarti bahwa untuk melakukan usaha pemanfaatan hutan dan hasil hutan, masyarakat adat harus mendapatkan izin (sebagaimana usaha perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta dan badan usaha milik pemerintah). Hal tersebut tentunya menghambat masyarakat adat untuk mencapai kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam di lingkungan tempat tinggalnya. Sebaiknya masyarakat adat diberikan prioritas untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan dalam ‘area jatah 33-50 %’ dalam alinea diatas serta diberikan kemudahan dalam hal izin.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Minyak dan Gas

Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan peraturan yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam minyak dan gas bumi di Indonesia. Dalam Pasal 9 ayat (2) tercantum bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1), kegiatan Usaha hulu mencakup ekplorasi dan eksploitasi. Pertanyaan nya: apakah Bentuk Usaha Tetap itu?. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) c Undang- Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Bentuk Usaha Tetap adalah:

bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu badan usaha asing cukup dengan mengirimkan perwakilan sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai ‘Bentuk Usaha Tetap’tanpa perlu mendirikan badan usaha berdasarkan hukum Indonesia sudah dapat melaksanakan kegitan pencarian dan penambangan minyak dan gas bumi! Apa- apaan ini?. Bukankah ini sama dengan mempermudah badan usaha asing untuk memanfaatkan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Indonesia?. Hal tersebut membuat badan usaha Indonesia akan menghadapi persaingan lebih berat. Mengapa pembentuk undang- undang tidak memberikan proteksi dan prioritas bagi badan usaha milik warga negara Indonesia?.

Dalam Pasal 22 ayat (2) dicantumkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengapa hanya 25 %? seharusnya tidak boleh kurang dari 50 %, bukankah minyak dan gas bumi tersebut milik Indonesia?.

Kemudian dalam Pasal 28 ayat (2) dicantumkan bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Bukankah ini merupakan asas kebebasan bernegosiasi atau kebebasan dalam menyusun kontrak?. Mengapa rumusan pasal tersebut begitu mengambang dan tidak tegas?. Mengapa tidak dirumuskan bahwa standar harga Bahan Bakar Minyak Bumi tidak boleh lebih rendah dari standar harga OPEC (Organization of the Petroleum Exporter Counry)/ Organisasi negara- negara pengekspor minyak. Untuk penentuan harga gas bumi memang belum ada standar baku tetapi dapat dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh negara- negara angggota GECF (Gas Exporting Country Forum)/ Forum negara- negara pengekspor gas.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Pertambangan

Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara merupakan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pemanfaatan mineral dan batu bara di Indonesia. Dalam Pasal 22 f dicantumkan bahwa salah satu kriteria bagi suatu lokasi untuk ditetapkan sebagai wilayah pertmbangan rakyat (WPR) adalah merupakan wilayah atau tempat kegitan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang- kurangnya lima belas tahun. Jika demikian maka lokasi tersebut kemungkinan besar sudah tidak produktif lagi. Selain itu jangka waktu Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi untuk pertambangan dalam Pasal 47 juga terlalu lama. IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam, batu bara dan mineral bukan logam jenis tertentu adalah paling lama dua puluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- masing sepuluh tahun, sehingga total keseluruhan dapat mencapai empat puluh tahun. Sedangkan untuk IUP Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam adalah paling lama sepuluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- masing lima tahun, sehinggga total keseluruhan dapat mencapai dua puluh tahun. Dengan periode selama itu maka kemungkinan besar ketika IUP berakhir maka pertambangan sudah tidak produktif lagi selain itu keuntungan hanya akan dinikmati segelintir pihak saja dan kurang mendukung pemerataan.

Pada Pasal 51 dicantumkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan dengan cara lelang. Dengan mekanisme lelang memang pemerintah akan mendapatkan penawaran tertinggi tetapi hal tersebut membuat daya saing koperasi dan perseorangan lebih lemah dari pada badan usaha yang umumnya bermodal besar. Seharusnya pembentuk undang- undang memberikan jatah untuk koperasi dan perseorangan dengan persentase tertentu dari luas wilayah ijin usaha pertambangan yang ditetapkan setiap tahunnya. Akan sangat baik jika persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Mekanisme lelang dapat dipertahankan tetapi koperasi dan perseorangan tidak berhadapan langsung dengan badan usaha dalam suatu lelang. Akan lebih adil jika badan usaha bersaing dengan badan usaha, dan koperasi atau perseorangan dengan koperasi atau perseorangan lainnya.

Kesamaan Masalah Pada Undang- Undang Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara sebagai undang- undang yang mengatur pemanfaatan tiga sumber daya alam andalan Indonesia kesemuanya sarat dengan asas Neo- Liberalisme: kebebasan bersaing, kebebasan bernegosiasi dalam kontrak. Selain sarat dengan asas Neo- Liberalisme, ketiga undang- undang tersebut tidak memiliki suatu ‘jaring pengaman’ atau jaminan pelindungan yang memadai bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Bahkan terdapat indikasi bahwa ketiga undang- undang tersebut mempermudah masuknya badan usaha asing dan memberikan keuntungan yang terlaluu besar pada badan- badan usaha asing tersebut.

Dimanakah Asas Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Sosial?

Dominannya asas Liberalisme dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara membuat saya berpikir: dimanakah nilai- nilai Pancasila khususnya ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang seharusnya menjadi dasar pembentukan ketiga undang- undang tersebut? Dimanakah nilai kesejahteraan sosial yang diamanatkan dalam pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945?.

Bukankah Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan?, lalu dimanakah asas kekeluargaan tersebut dalam ketiga undang- undang tadi?.

Bukankah, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat?, lalu mengapa mekanisme penetapan harga cenderung merugikan pemerintah?, mengapa kewajiban pemegang izin usaha eksplorasi dan eksploitasi begitu ringan?.

Kerinduan Akan Nilai- Nilai Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Rakyat: Sebuah Penantian

Akhirnya sampai dengan saat ini, rakyat Indonesia sedang merindukan nilai- nilai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat untuk menjadi landasan pembentukan peraturan perundang- undangan. Rakyat Indonesia masih menanti- nanti kebangkitan kembali Pancasila sebagai landasan hukum Indonesia. Penantian yang entah sampai kapan akan tergenapi.

[1] Thomas Bulfinch, 1913, Bulfinch's Mythology: the Age of Fable or Stories of Gods and Heroes, Thomas Y. Crowell Company, New York, hlm.287-288.

[2]Istilah Neo- liberalisme digunakan untuk menggambarkan ideologi yang berorientasi pada pasar dengan penekanan pada efisiensi, selera konsumen, pemikiran transaksional, dan otonomi individu. Dengan otonomi individu/ kebebasan menentukan pilihan maka negara dan korporasi lepas dari tanggung jawab atas risiko yang terkandung dalam pilihan yang dibuat oleh individu tersebut. Lihat: Aihwa Ong, 2006, Neoliberalism as Exception: Mutations in Citizenship and Sovereignty, Duke University Press, Durham, hlm.1.

[3] Alinea IV Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[4] Johann Caspar Bluntschli, 2009, The Theory of State, Bibliolife LLC, tanpa kota, hlm.65-66.

[5] Miriam Budihardjo, 2008, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm.56.

[6] Ibid.

[7]http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=welfare, diakses 3 November 2010.

[8] Charles H. Zastrow, 1999, The Practice of Social Work, Pacific Grove: Brooks/ Cole, Belmont- California, hlm.6.

[9] Rosalie Ambrosino,Robert Ambrosino,Joseph Heffernan,Guy Shuttlesworth, 2007, Social Work and Social Welfare: an Introduction, Thomson Brooks/ Cole, Belmont- California, hlm.5.

[10]https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html, diakses 3 November 2010.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun