Mohon tunggu...
Alisya Rahma Nisa
Alisya Rahma Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Saya merupakan seseorang dengan kepribadian disiplin, senang dengan kesempatan baru, dan berdedikasi penuh terhadap isu-isu terkini terkait hukum, lingkungan, HAM, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penangkapan Sorbatua: Bukti Kegagalan Negara Menghargai Hukum Adat

7 Juni 2024   22:03 Diperbarui: 8 Juni 2024   02:35 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Baru-baru ini, jagad maya dihebohkan dengan beredarnya video penjemputan paksa ketua adat Dolok Parmonangan, Sorbatua Siallagan oleh orang tidak dikenal (OTK). Setelah ditelisik, penangkapan Sorbatua oleh kepolisian daerah Sumatera Utara merupakan buntut dari aksi masyarakat adat Dolok Parmonangan yang dipimpin oleh Sorbatua untuk melindungi wilayah adatnya dari aktivitas PT Toba Pulp Lestari yang merusak lingkungan.

Kriminalisasi masyarakat adat rupanya telah menjadi makanan sehari-hari pemberitaan di media massa. Masyarakat adat yang seharusnya dilindungi dan dihormati oleh negara malah menjadi sasaran kriminalisasi. Artikel ini akan membahas bukti kegagalan negara dalam menghargai hukum adat melalui kasus penangkapan Ketua Adat Sorbatua Siallagan.

Kronologi Singkat dan Latar Belakang 

Pada Jumat 22 Maret 2024, Sorbatua Siallagan, Ketua Adat Dolok Parmonangan, ditangkap oleh polisi saat membeli pupuk di Tanjungdolok. Penangkapan ini disaksikan oleh istrinya dan dianggap sebagai penculikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. 

Dalam surat penangkapannya, Sorbatua dituduh melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan di area konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Penangkapan Ketua Adat Dalok Parmonangan menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk aktivis HAM, organisasi masyarakat, dan akademisi. 

Pasalnya, penangkapan Sorbatua diduga berkaitan dengan perjuangan Komunitas Adat Dolok Parmonangan dalam upaya membebaskan wilayah adatnya yang masuk dalam konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT TPL.

Jauh sebelum aksi penangkapan ini, Sorbatua dan masyarakat adat Dolok Parmonangan telah lama berkonflik dengan PT TPL terkait sengketa lahan adat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), luas wilayah adat Dolok Parmonangan sebesar 851,42 hektare, dan 235,71 hektare di antaranya tumpang tindih dengan konsesi PT TPL. Wilayah seluas 235,71 hektare inilah yang sejak beberapa tahun belakangan diperjuangkan oleh Sorbatua dan anggota komunitas adatnya.

Jika ditelisik lebih dalam, sejak 2019 PT TPL telah melakukan kriminalisasi terhadap dua orang Masyarakat Adat Sihaporas yang juga berjuang mempertahankan tanah adat mereka dari kehancuran masif akibat aktivitas PT TPL. Pengadilan Negeri Simalungun memutus pidana penjara selama 1,6 tahun untuk keduanya.

Berdasarkan uraian kasus kriminalisasi masyarakat adat diatas, timbulah pertanyaan terkait dimana peran negara dalam melindungi hak-hak masyarakat adat yang secara tersurat diamanatkan oleh konstitusi?

Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Huta Utte Anggir Dolok Parmonangan

Hak ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum adat pada lembaga hukum dan hubungan konkret antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya. Hak ulayat diakui secara legal oleh hukum nasional dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam prespektif hukum adat, hak ulayat melambangkan hubungan erat antara masyarakat adat dengan tanah, alam, dan warisan nenek moyang mereka.

Eksistensi masyarakat adat Dolok Parmonangan sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Leluhur mereka sudah lebih dahulu tinggal dan bercocok tanam di wilayah tersebut, sehingga wajar saja jika mereka mewarisi dan bercocok tanam di tanah peninggalan leluhur mereka. Selain itu, kehidupan masyarakat adat juga sangat bergantung pada hasil tanah peninggalan leluhur mereka.

Pasal 18 B UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Bunyi pasal konstitusi diatas telah mewakili pengakuan negara terhadap masyarakat adat dan hak ulayatnya harus senantiasa dilindungi dan dihormati keberadaannya.

Penangkapan Ketua Adat: Bukti Kegagalan Negara

Penangkapan Ketua Adat Sorbatua Siallagan menjadi bukti nyata kegagalan negara dalam melindungi dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat. Pertama, Penangkapan tersebut dilakukan tanpa melibatkan tokoh adat dan masyarakat desa dalam prosesnya. Padahal, dalam sistem hukum adat, tokoh adat memiliki peran penting dalam menjaga keadilan dan keharmonisan masyarakat. Tindakan ini jelas menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap hukum adat yang telah eksis sejak lama.

Kedua, penangkapan Sorbatua juga melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Dalam Konstitusi Republik Indonesia tahun 1945, diakui bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menjalankan kehidupan berdasarkan agama dan kepercayaan yang diyakini serta menjunjung tinggi hukum adat. Namun, penangkapan ini menunjukkan bahwa negara tidak menghormati hak ini dan lebih condong kepada hukum nasional yang seringkali tidak mempertimbangkan keberadaan hukum adat.

Ketiga, proses penangkapan Sorbatua juga tidak mengikuti prosedur hukum yang belaku. Aparat kepolisian tidak memberikan penjelasan yang jelas mengenai alasan penangkapan, tidak memberikan izin kepada pihak desa adat untuk hadir dalam proses pemeriksaan, dan tidak memberikan akses kepada keluarga dan pengacara Sorbatua Siallagan selama penahanan. Hal ini menunjukkan intransparansi dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh negara.

Dampak Penangkapan Sorbatua terhadap Masyarakat Adat

Penangkapan Sorbatua bukan hanya mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarganya, tetapi juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat di Desa Pematang Raya secara keseluruhan. Masyarakat adat merasa kehilangan sosok yang sangat dihormati dan diandalkan dalam menjalankan aturan hukum adat. Selain itu, penangkapan ini juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi negara dan pemerintah setempat yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat adat.     

Kesimpulan

Penangkapan Sorbatua Siallagan hanyalah salah satu contoh dari banyaknya kasus di mana negara dinilai gagal melindungi dan menghargai hukum adat. 

Minimnya peran negara dalam melindungi hukum adat menjadikan masyarakat adat merasa bahwa hak-hak mereka seringkali diabaikan dan dilanggar oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka. Pengabaian terhadap hukum adat hanya akan merugikan kedua belah pihak dan menimbulkan konflik yang mengancam keutuhan sosial dan ekologis di suatu daerah.

Negara seharusnya membuka dialog dengan masyarakat adat dan mendengarkan aspirasi mereka dalam hal perlindungan lingkungan hidup. 

Penangkapan Sorbatua harus menjadi pelajaran bagi negara untuk lebih menghargai hukum adat dan mendukung perjuangan masyarakat adat dalam melindungi lingkungan hidup. Negara seharusnya menjadi mitra bagi masyarakat adat, bukan musuh yang menghalangi upaya mereka dalam menjaga kelestarian alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun