Mohon tunggu...
Alisya Alzahrani A
Alisya Alzahrani A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

saya memiliki hobi mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Era Joko Widodo

28 Oktober 2024   23:12 Diperbarui: 28 Oktober 2024   23:12 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi 

Korupsi masih menjadi perhatian utama selama sepuluh tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa. Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di angka 34 dari 100 pada tahun 2014, atau awal masa jabatan Jokowi. Namun, skor itu sempat meningkat menjadi 38, tetapi kembali turun ke angka 34 tepat pada tahun terakhir Jokowi menjabat.

Meskipun demikian, aparat penegak hukum telah menangani sejumlah kasus megakorupsi selama satu dekade pemerintahan Jokowi. Selama masa kepemimpinan Jokowi, banyak kasus dengan kerugian mencapai triliunan rupiah yang terbongkat.

  • Megakorupsi E-KTP di Zaman Jokowi. Salah satu kasus terbesar dalam sejarah Indonesia adalah kasus korupsi proyek e-KTP, yang menyebabkan banyak kerugian negara dan melibatkan banyak pejabat tinggi, termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto. Kasus ini menjadi perhatian utama selama pemerintahan Joko Widodo, terutama karena dugaan intervensi politik dalam menanganinya. E-KTP dimulai pada tahun 2006 dengan anggaran sekitar 6 triliun rupiah. Kasus ini muncul setelah laporan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menyatakan bahwa ada mark-up dan praktik korupsi dalam pengadaan proyek. KPK kemudian menemukan bahwa proyek ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,314 triliun. Kasus korupsi e-KTP menunjukkan kompleksitas penegakan hukum Indonesia, terutama yang melibatkan pejabat tinggi. Meskipun proses hukum telah berjalan, spekulasi tentang intervensi politik Presiden Jokowi menimbulkan keraguan tentang komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi secara jelas dan efektif. Di antara tantangan besar yang dihadapi pemberantasan korupsi di Indonesia, kasus ini masih menjadi subjek diskusi yang berkelanjutan
  • Kasus Timah Rp 300 Triliun. Salah satu kasus lainnya dalam sejarah Indonesia adalah kasus korupsi PT Timah Tbk, atau kasus "Timah Rp 300 Triliun". Kasus ini melibatkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi dalam manajemen komoditas timah antara tahun 2015 dan 2022, yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 300 triliun. Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan dua puluh dua tersangka, termasuk mantan pejabat PT Timah dan beberapa perusahaan swasta. Di antara mereka adalah Harvey Moeis, yang didakwa melakukan pencucian uang 24 kali dan merugikan negara sebesar Rp 300 triliun. Beberapa berkas perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, menandakan bahwa proses hukum telah memasuki tahap persidangan. Kasus ini menimbulkan gelombang reaksi di masyarakat dan menunjukkan bahwa korupsi di sektor sumber daya alam Indonesia masih ada. Banyak orang menyerukan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan. Kasus PT Timah Tbk menunjukkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam memerangi korupsi. Dengan kerugian negara yang signifikan dan banyaknya tersangka yang terlibat, kasus ini menuntut perhatian serius dari pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk memastikan keadilan ditegakkan dan mencegah korupsi di masa mendatang.

Kasus korupsi yang terjadi selama pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa sistem pengawasan dan penegakan hukum Indonesia lemah. Terlepas dari beberapa upaya yang dilakukan untuk menghilangkan korupsi, hasilnya tidak memuaskan dan menimbulkan keraguan tentang komitmen pemerintah terhadap transparansi dan akuntabilitas. Tantangan untuk memperbaiki keadaan ini menjadi semakin penting dengan sisa waktu kepemimpinan yang semakin sedikit.

Kolusi dan Nepotisme

Beberapa kasus kolusi dan nepotisme telah muncul selama pemerintahan Joko Widodo, menimbulkan perhatian publik dan kritik terhadap integritas pemerintahan. Berikut adalah contoh penting:

  • Laporan Terhadap Jokowi dan Pejabat Terkait. Pada Oktober 2023, kelompok yang bernama Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Persatuan Advokat Nusantara melaporkan Presiden Jokowi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan Kaesang Pangarep ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kolusi dan nepotisme. Laporan ini berkaitan dengan keputusan MK yang memungkinkan seorang pria berusia di bawah empat puluh tahun untuk menjadi presiden atau cawapres jika mereka memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Menurut TPDI, keputusan untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden yang dianggap sebagai nepotisme karena hubungan keluarganya dengan Jokowi adalah hasil dari keputusan tersebut.
  • Dugaan Nepotisme dalam Pilpres 2024. Menurut Ganjar Pranowo-Mahfud MD dari Tim Pemenangan Nasional, Jokowi menggunakan nepotisme untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Umum 2024. Tiga skema nepotisme yang disebutkan oleh mereka adalah sebagai berikut: 
    • Promosi Gibran: Setelah terpilih sebagai Wali Kota Surakarta, putra Jokowi, diduga dipromosikan untuk maju sebagai calon wakil presiden.
    • Jaringan Jabatan: Untuk menjamin kelancaran pemilihan presiden 2024, orang-orang yang dekat dengan Jokowi ditempatkan di posisi penting.
    • Politisasi Bantuan Sosial: Menggunakan bantuan sosial untuk membantu pasangan calon tertentu dengan cara yang dianggap tidak moral.

Kasus kolusi dan nepotisme yang terjadi selama pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa integritas pemerintahan terancam. Tuduhan-tuduhan ini menunjukkan kekhawatiran masyarakat tentang kemungkinan pejabat tinggi dan keluarganya menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruh politik. Untuk menjaga kepercayaan publik, pemerintah harus menangani masalah ini dengan transparansi dan akuntabilitas, mengingat banyaknya laporan ke KPK dan kritik.

Upaya-upaya mengatasi masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme

Kebijakan Jokowi untuk Mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Banyak kebijakan telah dibuat oleh pemerintahan Jokowi untuk memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Beberapa tindakan penting yang diambil termasuk:

  • Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Diumumkan pada tahun 2018 melalui Peraturan Presiden Nomor 54/2018 dan bertujuan untuk mencegah korupsi secara sistemik dengan fokus pada tiga area utama:
    • Perizinan dan Tata Niaga: Meningkatkan transparansi proses perizinan untuk mengurangi peluang kolusi
    • Keuangan Negara: Meningkatkan sistem e-katalog untuk mengurangi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.
    • Reformasi Birokrasi: Mendorong penerapan sistem merit untuk mencegah nepotisme dalam pengambilan pekerjaan.

Untuk melaksanakan pencegahan korupsi yang efektif, Stranas PK melibatkan kerja sama antara berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

  • Digitalisasi dan Transparansi. Jokowi menekankan pentingnya digitalisasi dalam pelayanan publik untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Beberapa inisiatif yang diluncurkan termasuk:
    • Online Single Submission (OSS)
    • E-katalog.
    • Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) dan Sistem Logistik Nasional (Sislognas).

Dengan digitalisasi, diharapkan proses pelayanan menjadi lebih cepat, transparan, dan mengurangi peluang untuk melakukan suap

  • Penguatan KPK. Meskipun terdapat kritik terkait revisi Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan lembaga tersebut, Jokowi berkomitmen untuk mendukung KPK dalam menjalankan tugasnya. Ia mendorong agar KPK tetap beroperasi tanpa intervensi politik
  • Peningkatan Kesadaran Publik. Selain itu, peningkatan kesadaran publik Jokowi mendorong orang untuk berpartisipasi dalam pencegahan korupsi melalui program-program seperti Saber Pungli, yang memungkinkan orang melaporkan praktik pungutan liar. Ini menunjukkan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pemberantasan KKN.

Kebijakan Jokowi untuk memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme menggunakan pendekatan yang komprehensif melalui pencegahan sistemik, digitalisasi layanan publik, penegakan hukum yang tegas, dan peningkatan partisipasi masyarakat. Meskipun mereka menghadapi kesulitan dan kritik, tindakan ini merupakan bagian dari upaya jangka panjang untuk mengubah pemerintahan Indonesia menjadi lebih transparan dan bersih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun