Mohon tunggu...
Ali Suyanto Herli
Ali Suyanto Herli Mohon Tunggu... wiraswasta -

Praktisi micro finance

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Aplikasi Chatting, Kotak Pandora Baru

7 Januari 2017   01:08 Diperbarui: 7 Januari 2017   01:22 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebuah Opini Pribadi oleh Ali Suyanto Herli

Beberapa waktu  lalu pemerintah membuka wacana untuk mulai juga mengawasi aplikasi ‘chatting’ menyusul pengawasan terhadap aplikas-aplikasi media sosial sejalan dengan makin merebaknya berita hoax yang meresahkan masyarakat saat ini. Berita di kompas.com pada hari Kamis tanggal 29 Desember 2016 berjudul “Selain Media Sosial, Pemerintah Juga Pantau Aplikasi ‘Chatting’” menegaskan hal itu, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, karena pada aplikasi chatting itu dianggap banyak juga ujaran kebencian, provokatif, hingga informasi hoax dan fitnah yang disebarkan melalui aplikasi chatting. Lebih lanjut Pak menteri menambahkan, jika diperlukan Kemenkominfo bisa melapor kepada kepolisian untuk melakukan penindakan hukum.

Bila kita melakukan refleksi ke belakang, kondisi beredarnya banyak berita hoax ini sudah terjadi sejak era pilkada DKI (Daerah Khusus Ibukota) tahun 2012 lalu berlanjut di pemilu 2014, dan terus terjadi di pilkada DKI 2017 saat ini. Dan selalu berita-berita hoax pilkada di daerah lain tidaklah separah dan semengerikan seperti yang terjadi di pilkada DKI.

Issue yang diolah selalu tidak jauh dari masalah SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Berita hoax dan tentu saja bersifat provokasi selalu bermuara pada hal-hal SARA, dikemas secara berbeda-beda oleh pihak-pihak tertentu, tetapi tujuannya tetap sama untuk menimbulkan salah paham lalu muncul sikap antipati atau bahkan kebencian di kalangan pembaca atau sasaran pembacanya terhadap tokoh-tokoh politis atau kepada kalangan tertentu di masyarakat.

Presiden Jokowi pun mengeluhkan hal ini di media massa, bahwa ada tendensi makin banyaknya berita-berita hoax yang bertujuan memprovokasi masyarakat sehingga menimbulkan kebencian (hate speech) pada pihak-pihak tertentu dengan tujuan-tujuan yang sifatnya lebih ke politis.

Media sosial pun seperti hutan yang penuh dengan akun-akun (baca:  hewan dan tumbuhan) yang siap bermain tanpa aturan norma-norma kepantasan. Munculnya akun-akun yang tidak jelas, lalu makin canggihnya perilaku para pelaku media sosial dan akhirnya rentannya mereka ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu demi tujuan yang tertentu pula, akan membuat media sosial semakin menjadi senjata berbahaya di masa mendatang.

Perkembangan teknologi media sosial dan komunikasi di beberapa tahun terakhir ini di Indonesia dan atau bahkan di seluruh dunia tidaklah berjalan secara linier dengan kemampuan masyarakat di dalam mencerna banjirnya berita-berita tersebut. Permasalahannya sudah berubah di era saat ini. Dulu terlalu sedikit informasi yang tersedia. Sekarang terlalu banyak informasi yang ada, dan kita harus jeli mencernanya supaya tidak mengkonsumsi berita atau malah menjadi ‘sakit’.

Sedikit agak menyimpang dari pembahasan ini, saya ingin bercerita singkat tentang bagaimana dewa maha tahu si ‘google’ dapat membuat kita menjadi sakit. Ada rekan yang mengalami gejala pendarahan lalu mulai cari informasi di mesin pencari google. Ada banyak informasi penyakit ringan dan berat di data google yang ditandai oleh ciri-ciri pendarahan itu. Makin dibaca ciri-ciri itu, karena mirip maka semakin yakin akan vonis penyakit berat tersebut. Lalu terjadilah swa-vonis yang membuatnya depresi berat. Beberapa hari kemudian pihak keluarga membawanya ke dokter spesialis, dilakukan pemeriksaan ulang dan ternyata hasilnya negatif. Si dokter menanggapi keluarga pasien tentang informasi di google, “Hati-hati di dalam mencari informasi. Memang google sangat membantu kita, namun bila salah memahaminya akan terjadi salah konsep. Memang salah satu gejala penyakit kanker adalah pendarahan. Tapi apakah setiap pendarahan itu harus menjadi vonis penyakit kanker? Tentu tidak.”

Rekan tadi cuma mengalami pendarahan biasa, dan sembuh setelah mengkonsumsi obat yang diberikan dokter di dalam resepnya.

Kembali ke pembahasan awal, kejadian di beberapa negara yang tingkat pendidikan masyarakatnya sudah tinggi dan cukup makmur dalam tingkat kesejahteraannya, misal di benua Eropa, Amerika dan Australia, masih seringkali kita lihat terjadi kasus-kasus kerusuhan (riots) di masyarakatnya yang berawal dari provokasi (di media sosial seperti facebook dan twitter, serta secara komunikasi lisan).  Di mana pun kasus-kasus berbumbu SARA memang selalu mujarab untuk membakar sentimen masyarakat, baik di negara yang sudah makmur atau bahkan apalagi di dalam masyarakat yang tingkat kesejahteraannya masih ‘njomplang’ (misal karena kemiskinan struktural yang terjadi selama ini). Tentu tidaklah heran bila kasus-kasus seperti itu juga terjadi dan makin marak terjadi di negeri kita, Indonesia.

Dan SARA seolah menjadi bahan bakar yang sangat mujarab untuk membakar emosi massa. Banyak orang yang akan langsung mudah terpancing untuk emosi manakala saat pertama kali mendengar berita yang bersifat menyerang salah satu unsur SARA-nya. Banyak pula yang tanpa melakukan cek silang dan analisa berita, lalu menggalang kekuatan-kekuatan baru untuk menumbuhkan kantung-kantung kebencian baru di kelompoknya.

Menjadi agak aneh saat kasus-kasus berita hoax provokasi itu malah disebarkan oleh kalangan berpendidikan tinggi yang misalnya setingkat dengan sarjana strata S2 (master) dan S3 (doktoral) di Indonesia. Bisa dibayangkan bila kalangan S3 saja masih berkutat di berita hoax seperti itu, lalu mayoritas penduduk Indonesia yang cuma lulus  SMA, atau D3 atau bahkan S1 – bahkan apalagi masih banyak yang tinggal di kota-kota kecil dan pinggiran yang minim informasi pembanding serta masih gagap teknologi menggunakan perangkat komunikasi laptop dan android misalnya - akan seperti apa mudahnya terprovokasi oleh berita hoax tersebut? Mengerikan.

Dengan makin canggihnya model komunikasi di dalam masyarakat saat ini, dibantu oleh perangkat telepon selular yang dengan mudah (dan cepat sekali) mampu mengirim berita sekian banyak secara simultan ke banyak pihak sekaligus (forward), maka muncullah kotak pandora baru di masyarakat. Media sosial dan aplikasi chatting masuk di dalam kotak pandora. Kotak pandora ini harus diperlakukan secara tepat dan benar oleh pemerintah, bukannya dibuka secara paksa sehingga malah memunculkan permasalahan-permasalahan baru yang jauh lebih kompleks nantinya.

Kebebasan yang terlalu luas tanpa aturan adalah salah. Namun kebebasan yang ditiadakan, misal dengan menutup akses masyarakat ke media sosial dan aplikasi chatting seperti di beberapa negara tertentu juga tentu tidak akan baik dalam proses pendewasaan berpikir warganya. Fakta dan sejarah membuktikan bahwa tidaklah mungkin membendung arus informasi dan arus teknologi komunikasi di era seperti saat ini.

KOTAK PANDORA

Apakah kotak pandora itu? Mitologi ini berasal dari Yunani kuno, pandora adalah nama wanita pertama yang hadir di dunia - pandorta itu sendiri berarti ‘diberikan semuanya’, bercerita saat dunia hanya ada para dewa immortals. Pandora atas dasar keingintahuannya lalu membuka sebuah kotak yang berisi tentang semua keburukan manusia, sehingga muncullah banyak malapetaka dan bencana di dunia ini. Namun Pandora juga memunculkan hadirnya harapan, sebagai makhluk terakhir yang muncul dari kotak tersebut.

Kotak pandora itu kini hadir di masyarakat kita sebagai suatu bentuk komunikasi media sosial dan chatting yang makin menarik dan canggih pola kerjanya. Kotak pandora ini penuh dengan berita-berita buruk (dan baik juga) tentang masyarakat kita dengan segala peradabannya. Lalu tiba-tiba muncullah karakter si Pandora yang sedemikian tertarik ingin membuka isinya.

Bila pemerintah jadi membuka kotak pandora tersebut, semoga setelah dipertimbangkan dengan matang, kita juga selalu berharap si makhluk terakhir itu tetap akan ada dan keluar dari kotaknya. Si Harapan.

Harapan sebagai sebuah upaya untuk memulihkan segala bencana tersebut dapat dimaknai dalam berbagai aspek. Kaitannya dengan pembahasan di sini, harapan itu muncul bila kita ingin masyarakat lebih siap dan dewasa di dalam membaca berita di mana pun. Masyarakat yang sudah mampu menyaring segala informasi yang masuk dari mana pun asal dan apa pun bentuk beritanya. Ada suatu akal nalar dari masyarakat kita, dan logika berpikir dan bahkan kemampuan membaca arah serta itikad maksud si pembawa berita / penulis berita tersebut. Berita yang tidak benar akan tereliminasi dengan sendirinya. Berita yang benar akan diamini. Berita yang masih belum jelas akan ditindaklanjuti dengan cara mencari tahu atau verifikasi ke sumber berita yang lebih dapat dipercaya lagi, atau bahkan ke instansi pemerintah resmi yang akan melakukan klarifikasi.

Pra kondisi di atas haruslah mulai dibenahi oleh pemerintah dalam hal ini supaya tidak menjadi bumerang. Dan itu tentu butuh proses waktu yang lama, pembelajaran dan pendewasaan.

Lalu untuk para pelaku pembuat dan penyebar berita hoax ini memang harus diberikan sanksi hukum yang sepadan bilamana sudah dalam taraf mengganggu kehidupan bermasyarakat. Gangguan itu bisa juga berupa merusak keharmonisan antar etnis, merusak toleransi kehidupan antar umat beragama, atau hingga memberi label fitnah kepada kelompok politik lainnya tanpa didasari data yang benar dan kuat. Gangguan itu akan makin kontra produktif manakala sudah melibatkan demontrasi sejumlah masyarakat dalam jumlah besar yang berskala nasional. Aparat hukum harus tegas dan berani menindak mereka supaya ada efek jera di dalam masyarakat agar tidak mudah lagi membuat dan menyebar berita-berita hoax ke dalam masyarakat.

Masyarakat informasi era ke depannya adalah masyarakat yang bertanggung-jawab terhadap setiap informasi yang didapat dan disebarkan kembali ke orang lain.

SISI GELAP SUATU PENGAWASAN

George Orwell pernah menulis buku berjudul ‘1984’ yang bercerita tentang bagaimana negara mengawasi semua aktivitas rakyatnya. Segala aktivitas rakyat dikendalikan dan diawasi oleh negara, dari aktivitas seperti bekerja, makan, minum, tidur, berbicara, berpikir, dan semuanya diawasi ketat oleh negara. Setiap tindakan kecil atau besar yang bersifat memberontak atau melawan terhadap negara akan dihukum berat dan diawasi oleh Polisi Pikiran melalui layar monitor besar. Sejarah ditulis ulang dan diatur untuk kepentingan pemerintahan incumbents. Mereka yang menguasai masa lalu akan mengusai masa depan. Tidak ada kebenaran mutlak. Kebenaran hanya ada di negara. Jika negara mengatakan kebenaran adalah 2 + 2 adalah 5, maka rakyat harus mengamininya.

Bahkan bahasa diatur ulang formatnya, karena individualisme tidak dianggap ada dan kalau pun ada hanya dianggap sebagai sebuah bentuk kejahatan. Di saat seperti itu akan muncullah benih-benih fasisme. Apa itu fasisme? Akan kita bahas secara singkat nanti.

Pada tahun 1988 pernah muncul sebuah film berjudul ‘Enemy of The States’ (sutradara Tony Scott) yang bercerita tentang seorang pengacara (diperankan oleh aktor Will Smith) di Amerika Serikat yang menjadi target pembunuhan seorang politikus jahat beserta kroni-kroni dari NSA hanya karena si pengacara secara tidak sengaja menjadi saksi atas kejahatan si politikus itu.

NSA atau National Security Agency adalah suatu badan kriptography milik pemerintahan Amerika Serikat yang didirikan oleh Presiden Harry S Truman pada tanggal 4 November 1952, dan dibekali dengan tehnologi super canggih dari satelit di atas langit sampai ke camera cctv super mikro di kisi-kisi rumah kita.

Di film itu ditunjukkan bagaimana hebatnya cara orang-orang jahat di NSA menggunakan tehnologi pengawasan milik pemerintah untuk mengawasi dan mencelakai si subyek target tertentu demi kepentingan pribadi si pemegang kuasa tersebut. Dari saat subyek bangun tidur, berangkat kerja, mampir sarapan di cafe, belanja pakai kartu kredit, menggunakan telepon selular, masuk toilet sampai pulang kembali ke kamar tidurnya di malam hari akan selalu terpantau oleh NSA. Tidak ada saat dimana masyarakat tidak terpantau oleh negara.

Dalam kondisi ekstrem, pembicaraan di telepon – bahkan di semua media sosial dan aplikasi chatting juga – semua akan disadap. Jadwal kapan para orangtua menjemput putra-putrinya pulang sekolah akan diketahui, tagihan-tagihan kartu kredit kita, jadwal kapan para suami melakukan hubungan suami istri dengan istri maupun dengan selingkuhannya kalau ada juga akan terlacak oleh negara, komunikasi dokter dengan pasiennya tentang penyakitnya juga akan diketahui, bahkan sampai masuk ke hal-hal paling pribadi antar umat manusia apa pun itu yang dibahas akan diketahui oleh lembaga supervisi.

Bahkan bisa jadi bentuk penyadapan itu dilakukan bukan oleh orang-perorang saja, namun oleh suatu kelompok atau instansi untuk tujuan-tujuan tertentu yang belum tentu dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Katakan lah misalnya yang lebih ekstrem ke antar lawan politis; jadi misalnya satu pihak mengawasi lawan politiknya demi mencapai kemenangan politik. Dan kekuatan besar itu akhirnya sungguh sulit dibenahi lagi.

Lalu muncullah pertanyaan ini, apa jaminan bahwa bentuk pengawasan dan penyadapan hingga ke ranah pribadi itu tidak akan disalahgunakan oleh oknum-oknum lembaga pengawasnya? Kasus-kasus pelenyapan (mahasiswa mau pun non mahasiswa) aktivis kemanusiaan di negeri ini di masa2 pergolakan politik tempo lalu, entah oleh siapa itu pelakunya, tetap menjadi tanda tanya besar buat kita bersama, masih yakinkah kita semua bahwa moral oknum pejabat dan penguasa kita akan seratus persen benar, baik dan bagus secara moral?

Ada satu kasus kematian aktivis kemanusiaan itu yang masih menyisakan misteri dan tanda tanya besar hingga detik ini. Tidak jelas siapa pelakunya. Semua terdiam, mungkin ada nuansa takut pula di situ.

Saat pengawasan sudah masuk ke aplikasi chatting, saat itu lah artinya tidak ada lagi wilayah privacy (tidak ada lagi individualisme) di negara tersebut. Karena individualisme hanya dianggap sebagai suatu bentuk kejahatan.

FASISME

Apa konsekuensi dari bentuk pengawasan terhadap aplikasi chatting? Mari kita berandai-andai ini hanya terjadi di negeri dimana buku  George Orwell ‘1984’ tadi berlangsung. Terbayangkah pada suatu ketika nanti tidak jauh dari masa sekarang ini setiap saat – pagi, siang dan tengah malam – polisi atau aparat negara apa pun itu namanya nanti bisa masuk ke dalam rumah Anda membuka setiap isi laci lemari Anda dan membongkar isinya hingga ke karcis-karcis parkir hanya demi alasan melakukan pemeriksaan rutin?

Dan Anda beserta keluarga selalu tanpa daya. Setiap penolakan akan diterjemahkan sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap otoritas, dan tentu saja akan dikenakan sanksi hukuman yang berat. Big brother is watching you!Personifikasi Big Brother ini menjadi sangat mengerikan.

Pengawas mempunyai kewenangan mutlak yang sangat kuat. Tiada lagi demokrasi, karena suara manusia menjadi nihil. Dua ditambah dua harus dijawab lima jika itu diinginkan otoritas. Jika dijawab hasilnya empat, artinya masuk bui abadi. Hitam bisa menjadi putih, dan putih bisa menjadi hitam sesuai intruksi lembaga otoritas.

Benito Mussolini yang dikenal sebagai pencetus ideologi fasisme pernah menulis tentang doktrin fasisme, Fascist Decalogue (1934 dan 1938). Fasisme adalah ideologi yang berdasarkan kepada prinsip kepemimpinan dengan otoritas absolut dimana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian.

Ideologi fasisme Mussolini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx, Charles Darwin dan Hitler sobat kentalnya itu.

Mussolini menulis beberapa point di dalam doktrin itu yang beberapa di antaranya adalah sebagai berikut : know that the fascist and in particular the soldier must not believe in perpetual peace, The rifle and the cartridge belt and the rest are confided to you not to rust in leisure but to be preserved in war, Do not ever say "The Government will pay . . . " because it isyouwho pay and the Government is that which you willed to have and for which you put on a uniform, Discipline is the soul of armies - without it there are no soldiers only confusion and defeat, Mussolini is always right.

Doktrin itu penuh dengan kondisi bahwa negara adalah nomor satu dan untuk menjunjung itu semua rakyat harus patuh. Negara sedang dalam kondisi berperang, maka semua rakyat harus siap berperang dan mengorbankan nyawanya. Lalu seperti di dalam buku George Orwell tadi, negara sedang dalam bahaya, maka semua individu harus siap diawasi secara ketat oleh suatu lembaga supervisi.

Ideologi fasisme Mussolini itu akhirnya membawa Italia jatuh ke dalam perang dunia kedua dan membawa bencana bagi negeri Italia dan bagi dunia juga.

HARAPAN

Lalu akhir dari pembahasan ini, apa harapan atau intisari yang ingin kita tarik dari pembahasan ini? Pengawasan memang dibutuhkan, dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang senantiasa mengeruh di air keruh memang harus dilakukan agar harmonisasi kehidupan di masyarakat tidak menjadi rusak. Namun, pengawasan yang membabi buta sampai ke pembicaraan antar pribadi subyek hukum yang merupakan ranah sangat prinsipil dalam hak asasi manusia (chatting), dengan asumsi pula bahwa siapa yang akan sanggup mengawasi para pengawas itu juga, maka akan cenderung menambah deretan masalah baru nantinya.

Kita tidak ingin menyelesaikan masalah lama dengan memunculkan masalah baru yang lebih berat. Setiap manusia itu unik (manusia bukan robot), dan manusia itu mempunyai hak wilayah pribadi yang tidak ada seorang pun berhak campur tangan mengetahuinya. Hak itu diberikan langsung oleh Tuhan kepada umat-Nya. Kepada siapa kita akan jatuh cinta, rayuan apa yang disampaikan seorang pemuda kepada pacarnya, kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya adalah suatu bentuk hubungan pribadi dimana tidak ada orang lain berhak campur tangan dan mengacak-acaknya.

Pemerintah harus mengkaji ulang ide pengawasan aplikasi chatting. Setiap ide dan tindakan ada baiknya dipikirkan masak-masak nilai plus dan minusnya. Ekses-ekses yang dapat memperparah kehidupan berbangsa agar dapat dihindari sejak dini.

Kita ingin Indonesia tetap menjadi negeri penuh toleransi yang aman, damai dan indah. Negeri yang berdasarkan Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika. Jayalah Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun