SBY, Politik Menghadang, Politik Melenggang
Oleh : Ali Sodikin
Suasana hiruk pikuk terjadi dalam ruang sidang Gedung MPR Juli 2001, ada sekitar 700 anggota MPR sedang beradu argumen, silang pendapat mempertahankan keyakinan dan sikap politiknya. Ya, saat itu sedang berlangsung Sidang Istimewa yang hasil akhirnya adalah mencabut mandat Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
Suatu transisi politik kekuasaan yang cukup menengangkan, ketika Gus Dur yang baru menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia keempat harus berhenti dan diperhentikan ditengah masa jabatannya oleh Istimewa MPR. Maka, Megawati Soekarnoputri yang merupakan Wakil Presiden saat itu secara otomatis akan menggantikan posisi Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia. Posisi Wakil Presiden kosong.
Disaat itulah banyak kalangan yang menghubungi SBY, mendorong dan mendukung dirinya untuk maju mencalonkan menjadi Wakil Presiden. Menurut pengakuan SBY dalam buku SBY Sang Demokrat, sejumlah anggota DPR dari berbagai fraksi yakni PDIP, Golkar, Utusan Golongan dan Kesatuan Kebangsaan (KKI) walaupun mereka tidak mewakili fraksinya masing-masing, namun mereka meminta SBY untuk maju dalam pencalonan Wakil Prsiden.
Meski awalnya SBY mengaku tidak begitu tertarik, namun dengan berbagai pertimbangan akhirnya SBY secara resmi pada 24 Juli 2001 oleh Fraksi KKI mengajukan dirinya menjadi calon Wakil Presiden. Saat itu ada sejumlah kandidat yang ikut bertarung memperebutkan posisi orang nomor dua di Indonesia, antara lain, Hamzah Haz dari FPP, Akbar Tanjung dari FPG, Agum Gumelar dari FDU, Sisiwono Yudhohusodo dari  FUG, sementara fraksi TNI/Polri tidak mengajukan calon.
Pemilihan Wakil Presden yang nantinya akan mendampingi Megawati Soekarnoputri berlangsung sangat seru dan alot selama tiga putaran. Pada putaran pertama dan kedua SBY lolos dengan perolehan suara 122 dan 147. SBY tidak bisa melanjutkan putaran ketiga karena kalah suara dari Hamzah Haz dan Akbar Tanjung, yang masing-masing mengantongi 254 dan 203 suara. SBY gagal menjadi Wakil Presiden, kekuatan politik yang lebih besar telah menghadangnya.
Kegagalan SBY menjadi Wapres bukan satu-satunya momentum politik yang menghadang dalam perjalanan hidupnya. Beberapa tahun sebelumnya, peristiwa politik juga ditenggarai menjadi faktor terbesar yang menghalangi seorang SBY untuk menjadi seorang KASAD TNI. Kegagalan menjadi orang nomor satu di TNI AD sangat memukul perasaan dan semangat SBY.
" Dalam perjalanan hidup saya, inilah berita kedua yang membuat saya terpukul sekali. Pertama adalah, ketika saya sebagai anak tunggal saya harus menghadapi realitas perceraian orang tua saya. Dan kedua, pada saat Presiden Abdurrahman Wahid meminta saya menjadi Menteri. Dengan menjadi Menteri, saya harus pensiun lima tahun lebih cepat dari TNI. Saya benar-benar terpukul dan sangat sedih ". ( SBY Sang Demokrat, Usamah Hisyam, hal 19, Maret 2004 ).
Adalah Gus Dur, Presiden hasil Sidang Umum MPR 1999. Meminta SBY menjadi Menteri Pertambangan dan Energi di Kabinet Persatuan Nasional. Ini artinya karier militer SBY Â berakhir. Ia tidak hanya gagal menjadi KSAD, tetapi juga harus pensiun dari dinas kemiliteran lima tahun lebih cepat.
SBY nyaris tidak mengeluarkan kata-kata, hati dan pikirannya gundah gelisah, bibirnya terkatup rapat. Guratan wajahnya yang halus berubah mengeras, dahinya mengerut, tatapan matanya kosong. Bagaimana tidak, sebagai  Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI,  SBY dua tahun terakhir  menjadi motor penggerak reformasi internal TNI. Salah satu wujud implementasi reformasi TNI adalah mengembalikan profesionalisme prajurit.