SBY dan Partai Demokrat,
(Menafsir Pemikiran Jenderal Intelektual)
Oleh : Ali Sodikin
Orang besar tidak hadir ditengah kita setiap saat. Hal tersebut sebagai tanda agar kita senantiasa mampu belajar dan meneladani pemikiran dan kebijakan-kebijakannya. Dalam sejarah politik Indonesia, tentu kita tidak bisa menafikan kehadiran seorang SBY, Presiden Indonesia keenam, yang kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Seperti kita ketahui, SBY adalah salah satu pemimpin yang memiliki latar belakang militer. Meski lahir dan ditempa dalam sistem komando dan kepatuhan terhadap atasan adalah mutlak. Namun, gaya dan pola politiknya sungguh sangat demokratis. Salah satu Jenderal yang sangat cerdas dan lebih menonjol sebagai seorang pemikir. Maka tidak berlebihan jika kita sebut SBY adalah seorang Jenderal Intelektual.
Selama 10 tahun SBY menjadi Presiden, kondisi dan iklim politik Indonesia bisa dikatakan sangat kondusif dan demokratis. Orang bebas mengkritik bahkan dengan cara mengkritik yang paling “keras” sekalipun. SBY baik sebagai seorang Presiden maupun sebagai individu mampu merespon dengan “sewajarnya”.
Pada kesempatan acara konsolidasi partai menyambut Pilkada Serentak yang akan segera dimulai, SBY sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat tidak lupa menginstruksikan agar para kader Partai Demokrat membantu pemerintah menghadapi persoalan ekonomi. Kontribusi itu dilakukan sebagai bagian dari anak bangsa untuk rakyat dan pemerintah Indonesia. Karena bagaimanapun, kader-kader partai berlambang segitiga mercy adalah bagian dari pemerintah itu sendiri, baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif.
Sebuah sikap bijaksana dari seorang negarawan, agar kader partainya mampu berkontribusi nyata dalam bentuk saran maupun kritik yang konstruktif, kritik yang membangun dengan cara-cara santun. Utamanya dalam bidang ekonomi. Termasuk didalamnya bagaimana RAPBN harus dikawal agar lebih berorientasi terhadap pemulihan ekonomi nasional. Politik harus memiliki prioritas untuk melindungi rakyat, sikap empati terhadap kesulitan rakyat kecil harus diutamakan.
Demikian juga bagi kader Partai Demokrat yang duduk legislatif dan eksekutif di daerah-daerah, harus langsung turun mengatasi persoalan di daerah. Tetap prioritaskan pertumbuhan, stablitas harga, pencegahan PHK, pencegahan kemiskinan, dan bantuan untuk rakyat miskin.Bekerja secara nyata sebagai bukti bahwa Partai Demokrat peduli dan solutif.
Pesan SBY tersebut menjadi relevan bagaimana kondisi politik Indonesia masih berada dalam satu tahap yang digambarkan oleh Alvin Toffler sebagai tahapan kedua dalam politik. yakni kekuatan uang masih menjadi ujung tombak yang mengintegrasi kekuatan fisik dan pengetahuan. Hal tersebut seperti yang digambarkan dalam buku Powershift. Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century yang terbit tahun 1990.
Kekuatan uang yang menjadi penopang utama demokrasi liberal mengakibatkan biaya politik sangat mahal. Hal tersebut memberi ruang para pemilik modal membajak proses politik di Indonesia, maka hasil akhir dari proses tersebut hanya melahirkan rezim yang korup dan sangat tergantung pada kekuatan partai politik. Namun parpol juga tidak bisa kita harapkan karena mereka juga korup. Parpol yang seharusnya melakukan pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan, menjadi setali tiga uang dengan rezim itu sendiri, bahkan yang lebih memprihatinkan parpol korup tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari rezim korup tersebut. Maka bisa dibayangkan nasib rakyat seperti yatim piatu tanpa pelindung.
Tentu ini sebuah tantangan bagi SBY dan Partai Demokrat. Sebagai Ketua Umum, SBY harus terus bekerja keras, agar dunia politik Indonesia tetap melaju pada rule of game menuju peradaban yang lebih baik, seperti digambarkan kondisi ideal dunia politik adalah ketika kekuatan ilmu pengetahuan menjadi ujung tombak yang mengintegrasi kekuatan uang dan fisik dalam proses demokrasi. Alvin Toffler menyebutnya sebagai peradaban Gelombang-Ketiga. Seperti yang kita cita-citakan bersama sebagai sebuah bangsa, bahwa tujuan dari demokrasi adalah keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Gelombang Ketiga adalah suatu dialektika yang dinamis dari Gelombang Pertama yang berciri peradaban fisik dan Gelombang Kedua dimana kekuatan uang (kapital) menjadi tulang punggung peradaban, termasuk di dalamnya demokrasi liberal yang sangat mahal. Suatu peradaban yang lebih bermutu, lebih dalam, luas, dan lebih menyeluruh dari kedua peradaban sebelumnya. Pembaruan ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi transportasi, komunikasi-informasi yang memungkinkan jauh lebih banyak manusia mampu melihat semua fenomena yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi (mesh-networking).Peradaban Gelombang Ketiga lebih mengutamakan pelipatgandaan kemampuan berpikir dan berbudidaya luhur manusia.
Ciri yang terpenting dan sangat manusiawi dari peradaban Gelombang Ketiga adalah pemberdayaan golongan masyarakat yang lemah dan kalah bersaing, sehingga menghilangkan perbudakan, imperialisme, dan apartheid dari muka Bumi ini. Pengertian Ekonomi-Pasar dengan "natural selection on a level playing field" mengalami perubahan dan penyempurnaan, dimana monopoli-oligopoli adalah penyebab rakyat kecil hanya menjadi obyek eksploitasi dari sistem politik dan ekonomi.
Untuk melahirkan gelombang peradaban ketiga di Indonesia, dimana nilai kemanusiaan dijunjung tinggi, dan rakyat juga menjadi subyek politik dan pembangunan, kita berharap SBY sebagai seorang Jenderal intelektual, mantan Presiden dan sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Demokrat selalu ada pilihan. Pilihan-pilihan yang lebih kongkrit,selain mengedepankan politik santun, SBY juga diharapkan lebih fokus bagaimana memberi ruang yang luas dan kondusif untuk melahirkan gelombang intelektual di tubuh partai. Para intelektual yang berkarakter dan loyal ini yang pada akhirnya akan mampu menciptakan kondisi politik Indonesia yang bermartabat.
Orang-orang pintar yang berkarakter dan loyal tersebut lebih dibutuhkan untuk menyiapkan, menyongsong, dan menciptakan dunia baru yang lebih adil dan sejahtera. Karena seorang demokrat sejati adalah mereka para kader yang lebih mengutamakan pelipatgandaan kemampuan berpikir dan berbudidaya luhur manusia dibandingkan dengan kemampuan atau kekuatan fisik. Bahasa sederhananya lebih mengutamakan otak daripada otot.