Mohon tunggu...
Ali Sodikin
Ali Sodikin Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Masalah Sosial Politik, Dosen Ilmu Komunikasi

Pemerhati Masalah Sosial Politik , mantan aktivis HMI, twitter: @alikikin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Loji Gandrung ke Istana Negara (1)

31 Juli 2015   09:34 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:33 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Ketika menjabat Walikota Solo selama dua periode Jokowi tidak pernah mengambil gajinya. Justru pada saat yang sama Departeman Keuangan merekomendasi kenaikan gaji bagi pejabat negara, dari Presiden hingga Bupati termasuk anggota DPR. Berita tersebut beredar luas dan menjadi konsumsi media massa Indonesia  awal tahun 2011.

            Dalam konteks ini, semua media massa kelihatannya hampir sepaham, dengan melakukan “perlawanan” terhadap kebijakan pemerintah dan menemukan tokoh yang dijadikan simbol perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni pemerintah atas rakyatnya, yakni seorang Jokowi seorang Walikota Solo yang tidak pernah ambil gajinya selama menjabat. Dalam kasus ini, bisa kita katakan media massa Indonesia sepaham dalam memaknai idealisme (watak dan perilaku pemimpin) yang seharusnya.

Pilihan media massa mengangkat isu (berita) Jokowi adalah sebuah produk pertarungan. Media memfasilitasi agen-agen dalam struktur masyarakat untuk bertarung dalam dalam ide dan gagasan. Satu sisi media memberitakan mengapa dan apa alasan pemerintah akan menaikan gaji para pejabat, satu sisi media juga menampilkan isu seorang pejabat negara yang tidak pernah mengambil gajinya. 

Menurut Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar-ideologi yang saling berkompetisi. Media adalah ruang di mana berbagai idelogi direpresentasikan (termasuk di dalamnya kepentingan ekonomi, politik dan idealisme), satu sisi media bisa menjadi penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Akan tetapi di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan (dalam hal ini Pemerintah dan DPR), namun sekaligus juga bisa menjadi instrument perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan (rakyat kecil dan miskin).

Ditengah wacana Kementerian Keuangan Republik Indonesia merekomendasikan kenaikan gaji untuk para pejabat negara termasuk  DPR, media massa menampilkan berita sosok Jokowi yang saat itu masih menjabat Walikota Solo. Seorang pejabat negara yang alih-alih tertarik dengan kenaikan gaji, malah Jokowi tidak pernah mengambil gajinya selama menjabat Walikota. Suatu drama kontradiksi yang dimunculkan pada ruang publik oleh media massa. Drama perlawanan kepada kekuatan dominan dan hegemoni (pemerintah).

Kompas.com

            Kompas.com 26 Mei 2011 memuat berita dengan judul Wah ! Wah Walikota Solo Tak Pernah Ambil Gaji. JAKARTA, KOMPAS.com — Jarang terdengar bahwa pejabat di Indonesia tidak mau menerima gajinya, justru kebanyakan dari mereka meminta kenaikan gaji. Namun, pejabat yang satu ini, Wali Kota Solo Joko Widodo, berbeda dengan pejabat lainnya. Selama menjabat sebagai wali kota, ia tidak pernah sekali pun mengambil gaji yang menjadi haknya. Hal ini dengan malu-malu diungkapkannya ketika ditanya oleh salah satu peserta seminar "Gerakan Perempuan Mewujudkan Good Governance" di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Kamis (26/5/2011).

Kompas.com hampir seciri dengan induknya group Kompas Gramedia, termasuk harian Kompas cetak, menggunakan bahasa yang datar dan melingkar  dalam menampilkan fenomena kontradiksi perilaku sebagaian besar pejabat negara termasuk Presiden hal hal kenaikan gaji dibanding Jokowi. Secara analisis wacana tematik, kompas menempatkan sosok Jokowi dalam posisi “hero”, meski dengan bahasanya terkesan hati-hati dan merendah. “Jarang terdengar pejabat di Indonesia tidak mau menerima gajinya, justru kebanyakan dari mereka meminta kenaikan gaji”. Kita bisa menangkap makna dalam topik berita ini, hampir seluruh pejabat negara memiliki motif dan pamrih terhadap kekayaan dengan gaji yang tinggi padahal kerja buat rakyat belum maksimal.

Kalimat berikutnya “Namun pejabat pejabat yang satu ini, Wali Kota Solo Joko Widodo, berbeda dengan pejabat lainnya. Selama menjabat sebagai wali kota, ia tidak pernah sekali pun mengambil gaji yang menjadi haknya”.  Jokowi adalh sosok teladan seorang pemimpin, manusia yang luar biasa kalau tidak mau disebut “setengah dewa”. Jokowi adalah oposisi dari kultur yang “salah” tapi mengakar dalam tipologi kepemimpinan atau pemimpin pejabat negara di Indonesia, Jokowi tidak memiliki pamrih terhadap kekayaan atau gajinya. Jokowi adalah pengecualaian, Jokowi adalah tipe pemimpin yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Jika kita berpijak pada teori McQuail, Media adalah cermin realitas, maka cermin tersebut sangat jernih memantulkan realitas yang sangat kontradiktif, berlawanan.  Jokowi adalah cermin bersih, bagaimana seharusnya pemimpin yang baik, sementara banyak pejabat negara kita jika di pantulkan oleh cermin media, terlihat wajah bopeng dan buruk perilaku mereka.

Tetapi jika gaji tinggi sebagian besar pejabat negara kita adalah sesuatu yang dinilai wajar, atau kelompok mayoritas dan berkuasa menganggap wajar, maka media sengaja menghadap-hadapkan mayoritas pejabat sebagai kelompok dominasi, dan Jokowi sebagai tokoh oposisi, bahasa terangnya meski Jokowi sendirinya, khalayak tetap bisa menangkap fakta, Jokowilah yang benar dalam hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun