Mohon tunggu...
Ali Sodikin
Ali Sodikin Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Masalah Sosial Politik, Dosen Ilmu Komunikasi

Pemerhati Masalah Sosial Politik , mantan aktivis HMI, twitter: @alikikin

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Para Pemberontak Dari Tegal Part III

23 Februari 2014   16:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_296940" align="aligncenter" width="300" caption="Patung di Monumen GBN Tegal"][/caption] [caption id="attachment_296941" align="aligncenter" width="300" caption="Monumen GBN Tegal"][/caption] [caption id="attachment_296942" align="aligncenter" width="300" caption="Kantor Bupati Tegal"][/caption]

Para Pemberontak Dari Tegal Part III

Oleh : Ali Sodikin

Di Procot Slawi, Monumen GBN  terlihat jorok dan tak terawat. Sana-sini terlihat onggokan gerobak pedagang entah milik siapa. Monumen yang dibangun dalam rangka mengenang perjuangan para pahlawan yang menegakkan NKRI dari meluasnya pemberontakan DI/TII di tiga daerah, Tegal, Brebes, Pemalang pimpinan Amir Fatah. Patung-patung para pejuang bagai seonggok bangunan batu yang mulai pudar maknanya tergerus perubahan zaman yang terus bergerak. Manusia-manusia yang lalu-lalang hilir mudik seolah acuh, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing yang tak pernah selesai.

Tidak tahu mengapa wilayah pantura paling barat dari Provinsi Jawa Tengah ini sangat identik dengan sebutan tiga daerah. Semacam segi tiga yang membentang dari laut utara melewati garis barat Brebes, garis timur Pemalang, poros tengah Tegal terus ke arah selatan  dan berujung di Gunung Slamet. Tegal memang daerah yang dianggap “mistis” oleh kalangan tertentu dan wilayah yang tidak direkomendasi bagi para penguasa untuk berkunjung, konon Presiden Soekarno dan Soeharto, begitu juga dengan Gus Dur serta Megawati jatuh dari pucuk kekuasaanya setelah berkunjung ke Tegal.

Namanya mitos boleh dipercaya bisa juga semata-mata hanya mitos. Faktanya Presiden SBY tetap saja kokoh di kekuasaannya hingga kini  meski pernah berkunjung ke Tegal. Infonya salah satu penasehat spiritual SBY orang Tegal (kata Ridwan Saidi Budayawan Betawi). Penulis sendiri tidak bisa memastikan keabsahan info-info “mistis” tersebut, disamping tidak memiliki latar belakang keilmuannya, dan belum memiliki waktu dan kesempatan untuk menelusuri cerita yang memancing rasa penasaran tersebut. Namun memang yang agak membuat kepala kita berkerenyit dan bertanya-tanya adalah, ada apa dan mengapa sewaktu SBY datang di Bumi Jawa, lereng Gunung Slamet Tegal, acara dialog dengan para petani diselenggarakan di dekat makam tua Bukit Cupu yang dianggap keramat karena ada Makam Syekh Syarif Abdurahman, sepupu Sunan Gunung Jati. Makam tersebut terletak di Desa Batumirah, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal.

Kecuali barangkali Habibie, Hampir seluruh Presiden Indonesia selalu diselubungi bayang-bayang mistis dan spiritualisme. Bagaimana banyak cerita mistis, sosok mirip Bung Karno sering terlihat di Istana Bogor, Soeharto banyak dikelilingi para penasehat spiritualnya termasuk persaudaraan batin dengan Soedjono Hoemardani yang satu guru satu ilmu dari sebuah padepokan di Bantul Yogyakarta. Perilaku Gus Dur yang juga sering berziarah ke makam-makam yang dianggap keramat, dan kasus Megawati yang sempat geger karena dianggap bersembahyang pada sebuah Pura di Bali. Bahkan dalam buku “Selalu Ada Pilihan” tulisannya sendiri, SBY mengaku terang-terangan kalau dia percaya bahwa santét itu ada.

Kantor Bupati Tegal berdiri megah dan asri, terletak di pojok kota Slawi. Suasana lengang karena hari libur, hanya terlihat beberapa petugas di pos penjagaan. Di sinilah Ki Enthus Susmono sekarang bertahta sebagai Bupati Tegal, di damping Wakil Bupati Umi Azizah yang juga merupakan Ketua Fatayat NU Kabupaten Tegal (organisasi perempuan Nahdlatul Ulama). Organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang didirikan oleh kakek Gus Dur, yakni KH Hasyim Asy’ari pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur.

Pasangan Ki “Dalang” Enthus dan Umi Azizah menang di Pilkada kabupaten Tegal tahun 2013 dengan memperoleh suara sebesar 35,21% atau 233.318 suara. Selain mengalahkan empat pasangan lainnya. Yang paling menarik adalah kekalahan  pasangan Moh Edi Utomo-Abasari yang memperoleh 223.436 suara (33,71%). Partisipasi politik orang Tegal termasuk rendah, dalam pilkada 2013 tersebut, hanya 57,88% masyarakat yang menggunakan hak pilihnya.

Sebagai bagian dari keluarga pemilik bus antar kota Dewi Sri, pasangan ini di indikasikan sebagai pasangan yang paling kuat secara pendanaan. Bahkan keluarga kaya Tegal ini juga merupakan semacam dinasti penguasa tiga daerah Tegal, Brebes dan Pemalang.

Menurut banyak cerita yang beredar dikalangan rakyat Tegal, kemenangan Ki Enthus tidak lepas dari dukungan para Kyai, Habib, para Alim Ulama di Kabupaten Tegal dan sekitarnya. Disamping Umi Azizah juga berasal dari kalangan santri, namun cerita dari mulut ke mulut yang beredar, dukungan massif para Kyai dan santri terhadap pasangan ini disebabkan ada ucapan yang dianggap sudah melebihi batas kepatutan yang diucapkan Ibu dari dr. Edi Utomo. Entah bermaksud sekedar bercanda atau karena terbawa suasana pertarungan yang sengit, ibunya Edi Utomo entah benar atau tidak pernah sesumbar yang menyinggung perasaan kaum santri di Tegal dan sekitarnya. “bis duit lebih hebat dari Bismillah”, maksudnya mungkin duit lebih kongkrit membeli suara ketimbang doa-doa para Kyai dalam politik.

Ucapan yang mungkin spontan , orang Tegal bilang “keprucut” atau kelepasan omongan, melihat fenomena politik era sekarang, bagaimana di banyak tempat, suara rakyat bisa di beli dengan sejumlah uang atau sembako untuk mengangkat seseorang menjadi pejabat negara, baik DPRD,DPR, Bupati/Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Orang bilang, Mulutmu Harimaumu, ,maksudnya kita dimanapun berada, dalam situasi apapun, harus menjaga ucapan, karena ucapan yang dianggap sepele bisa mengakibakan sesuatu yang fatal.. Demikian kabar dan isu yang beredar hingga ke kampung-kampung di Tegal. Ucapan yang tersebut dianggap sudah keterlaluan dan sangat sombong. Hal tersebut yang akhirnya mendorong para Kyai dan Ulama di Tegal all out membela pasangan Ki Enthus dan Umi Azizah.

Dan faktanya memang, adik dari dr. Edi utomo, yakni Ikmal Jaya yang merupakan kandidat Walikota Tegal dari incumbent pada hari yang sama juga tumbang oleh Calon Walikota perempuan Siti Masitha Soeparno yang sama sekali tidak dikenal di Kota Tegal sebelumnya, bahkan tokoh perempun ini bukanlah orang Tegal. Entah karena ucapan sang ibu yang ngomong sembarangan atau memang para pesainganya yang memang lebih berkualitas.

Lepas dari semua cerita-cerita yang membumbui hajatan politik lokal wong Tegal, Ki “Dalang” Enthus Susmono adalah tokoh yang sangat populer di seluruh daerah Tegal, bahkan hampir di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 2005 Ki Enthus terpilih menjadi dalang terbaik se-Indonesia pada Festival Wayang Indonesia di Taman Budaya Jawa Timur, berikutnya tahun 2008 dalang mbeling ini mewakili Indonesia dalam Festival Wayang Internasional di Bali.  Dan di tahun itu juga dalang edan ini mendapat  gelar Doktor Honoris Causa dr International University Missouri AS, Laguna College at Business & Arts Calamba Philipina 2005. Gelar Doktor Honoris Causa diberikan atas kiprahnya dalam bidang seni budaya.

Ki Enthus Susnono adalah karakter “pemberontak”  yang brillian dan cerdas. Media wayang dijadikan alat perjuangan dan sekaligus dakwah. kritik-kritik pedas dan cenderung kasar terhadap fenomena sosial dan politik, ketimpangan ekonomi, moral, korupsi dan sebagainya menjadi materi yang biasa dia bawakan dalam mendalang. Termasuk juga perlawanan dan pemberontakan terhadap pakem-pakem dunia wayang yang dianggap mapan dan sakral. Wajar kemudian, banyak pro dan kontra dari para pengamat pewayangan di Indonesia, termasuk dari kelompok dalang “sepuh” lingkaran keraton Yogya dan Solo yang menganggap pakem merupakan sesuatu yang tidak bisa dirubah lagi. Namun cara mendalang Ki Enthus yang dianggap menyempal dan urakan tersebut malah sangat digemari oleh masyarakat luas. Rakyat biasa, orang awam, wong cilik, dan kawulo alit, atau apapun sebutannya, memang lebih senang pada hal-hal yang apa adanya, tidak bertele-tele atau njelimet. Mungkin saja cara mendalang Ki Enthus yang berani mengkritik segala perilaku pejabat pemerintah seolah-olah mewakili suasana kebatinan dan uneg-uneg rakyat kecil yang keseharianya hidup dalam berbagai kesulitan akibat tata kelola negara yang amburadul dan maraknya pejabat yang terlibat korupsi serta tindakan tak terpuji lainnya. Padahal tugas mereka sebagai pejabat negara adalah untuk bekerja melayani rakyat dengan menciptakan kesejahteraan dan menjamin rasa keadilan bagi rakyat kecil dan lemah. Enthus melawan dan berusaha merubah segala pakem, baik pakem pewayangan itu sendiri sekaligus pakem kehidupan yang lebih luas.

Apa sebenarnya pakem tersebut, Sena Sastraamidjoyo dalam bukunya Nonton Wayang Kulit Jawa menjelaskan, pakem dalam konteks pewayangan adalah sebuah kitab (catatan atau daftar) yang didalamnya terdapat peraturan mengenai bentuk dan jalannya cerita pewayangan, termasuk model-model boneka (golek, kulit) wayang yang harus dipakai, termasuk iringan musik gamelan yang menghantarkan dan lain-lain. Peraturan ini ditetapkan oleh para ahli yang harus berlaku sebagai pedoman dan tidak boleh dirubah sewenang-wenang (1858 : 54-55).

Kini “pemberontak” tersebut telah menjadi Bupati. Alunan lagu Iwan Fals “Manusia Setengah Dewa” terdengar dari penumpang kereta malam menuju Jakarta. “Masalah moral, masalah akhlak biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau”. Kereta malam berjalan dengan kecepatan sedang, deru mesin dan  geruduk roda besi beradu rel bergerak teratur laksana sebuah persetubuhan, melantunkan bebunyian dan ritme  seperti suara drummer band Pink Floyd.  Para penumpang mulai sepi terhanyut rasa kantuk masing-masing, berbagai gambaran wajah  terlihat samar, entah apa yang mereka pikirkan tentang Kota Jakarta yang sedang mereka tuju.

Suasana diluar gelap, dari jendela kereta hanya sekali-kali terlihat kerlap-kerlip lampu di kejauhan. Mungkin hanya faktor kebetulan saja, ketika penulis berusaha mengusir rasa kantuk dan jenuh dengan berpindah ke gerbong makan, memesan segelas kopi, ada dua orang lelaki paro baya lewat dan duduk disebelah kanan  belakang. Ketika kopi panas meresap dalam kerongkongan, tiba-tiba penulis sadar. Dari lelaki itu salah satunya memilki wajah familiar, rasa penasaran membuat penulis melirik, dan benar  itu Ki “Dalang” Enthus dan seorang ajudannya. Meski tidak punya hak pilih di Tegal, dan juga tidak kenal tokoh fenomenal tersebut, sebelum beranjak kembali ke gerbong penumpang, penulis sempat menegur dan bersalaman, mengucap selamat.

Bisa jadi Ki Enthus bingung, karena memang belum pernah kenal. Penulis berlalu dan duduk di kursi penumpang, sebelum terlelap, ucapan Ki Enthus yang dikutip berbagai media massa terlintas, “ saya ingin mendapatkan penghargaan khusnul khotimah baik dalam jabatan sebagai bupati maupun dalam kehidupannya”  ujarnya ketika menerima sebuah penghargaan.  “Mudah-mudahan” gumam penulis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun