Mohon tunggu...
Ali Sodikin
Ali Sodikin Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Masalah Sosial Politik, Dosen Ilmu Komunikasi

Pemerhati Masalah Sosial Politik , mantan aktivis HMI, twitter: @alikikin

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anas Urbaningrum: Bunga Indah Gugur Dimusim Semi

13 September 2014   06:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:50 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anas Urbaningrum : Bunga Indah Gugur Dimusim Semi

Oleh : Ali Sodikin

Tulisan ini tidak mengulas tentang banar dan salah, tapi tentang tragedi anak manusia karena politik dan kekuasaan. Apalagi kebenaran dalam politik terlalu kompleks untuk diuraikan, begitu perspektif masing-masing dari kita tentang politik yang pada akhirnya melahirkan ragam tafsir bahkan sangat multi-tafsir. Tulisan ini hanya mencoba menggambarkan dari sisi kemanusiaan para pelaku politik atau tokoh politik yang terkadang nasibnya sangat tragis dan dramatis. Pagi hari berkuasa, dipuja-puji pendukungnya, sore bahkan siang hari telah berubah 180 derajat perjalanan hidup dan karier politiknya menjadi “pesakitan” yang terhinakan, pendukung dan loyalisnya satu persatu meninggalkan dan melupakan, hingga tokoh tersebut mati dalam kesepian dan kenistaan. Bagaikan bunga indah namun berguguran justru dimusim semi.

Membaca sejarah politik  Indonesia, dengan segala peristiwa dan tokoh-tokohnya, tidak bisa kita melepaskan dari pertarungan kepentingan-kepentingan politik global. Indonesia, sebagai negeri kepulauan yang letaknya sangat strategis dan kaya raya sumber daya alamnya. Tidak mengherankan negeri subur ini adalah wilayah yang menjadi target bagi banyak kepentingan global. Hampir bisa dipastikan, segala peristiwa politik yang terjadi di dalam negari disinyalir selalu melibatkan  atau “terlibatnya” kekuatan-kekuatan asing.

Ditengah pertarungan politik dan ekonomi global yang suka tidak suka berimbas kedalam negeri Indonesia, muncullah para aktor politik lokal yang juga senantiasa memiliki relasi dengan aktor-aktor politik dunia,  terutama dari para negara super power semisal Amerika, China, Rusia, Jepang, juga kekuatan-kekuatan dari belahan Eropa lainnya. Termasuk dengan Australia.

Dari puluhan hingga ratusan tokoh politik lokal yang penulis ingin mengambil perjalanan dan nasib tokoh politik muda yang redup justru ketika karier politiknya sedang bersinar terang. Entah karena “kesembronoan” atau kepercayaan diri yang melampaui batas-batas tertentu, atau entah karena kondisi politik baik lokal maupun global tidak memihak keberadaan dan kehadiran tokoh tersebut. Hanya efek dan akibat yang bisa kita lihat tokoh-tokoh tersebut pada akhirnya tumbang secara tragis ketika usianya masih muda dan bintangnya sedang bersinar terang.

Tokoh tersebut adalah DN Aidit dan Anas Urbaningrum. Keduanya tentu tidak memiliki hubungan sama sekali, bahkan hidup dalam jaman yang berbeda. Namun perjalanannya seorang politisi nyaris  memiliki kesamaan, bahkan kejadian-kejadian yang bisa kita lihat dan amati baik secara langsung maupun melalui pemberitaan media massa, nasib Anas mirip dengan nasib Aidit. Dalam banyak hal keduanya jelas berbeda,  Namun ketokohan dan nasib akhir  sebagai seorang politisi muda yang sedang bersinar memiliki kemiripan. Akhir perjalanan politik yang tragis, bunga indah yang gugur justru disaat  musim semi tiba.

Aidit adalah tokoh politik yang sangat bersinar pada era orde lama, ketika PKI, partai yang dipimpinnya bersama Nyoto dan Lukman berhasil menjadi partai pemenang keempat pada Pemilu 1955. Namun pada akhirnya Aidit mati ditembak tentara pasca peristiwa “Gerakan 30 September 1965” yang gagal. Kematiannya begitu tragis ketika karier politiknya sedang “sangat” bersinar. Kematian yang begitu mengagetkan banyak tokoh dunia hingga saat itu penguasa China Mao Tze Tung membuat sajak untuk seorang Aidit untuk menggambarkan betapa tragis kematian tokoh yang sangat diharapkan mampu membawa Indonesia sebagai basis kekuatan komunis di Asia Tenggara.  “Dimusim semi bunga malah berguguran”.

Jaman tersebut, secara politik Aidit adalah tokoh yang sangat “berdosa” dan harus dilenyapkan oleh kekuatan penguasa politik (tentara). Meski dalam banyak perspektif, hukuman mati yang dijatuhkan kepada  Aidit yang tanpa melalui persidangan di pengadilan masih menyisakan perasaan “tragis” bagi siapa saja yang peduli pada nilai-nilai kemanusiaan.

Kini, peristiwa serupa tapi tak sama hadir dihadapan kita. Seorang tokoh politik muda yang sedang bersinar Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum Partai Demokrat sedang menghadapi pengadilan yang membawa posisinya seperti diujung tanduk. Secara fisik Anas tidak “dimatikan” , karena jaman telah berubah. Tetapi tuntutan Jaksa Tipikor yang menuntut Anas 15 tahun penjara, sama saja dengan “membunuh” karier politik Anas Urbaningrum.  Tentu bagi sebagian kita perjalanan nasib yang menimpa seorang Anas terasa begitu memprihatinkan.

Kita boleh saja berdebat sampai “bodoh”, apakah musibah hukum yang menimpa Anas adalah sebuah rekayasa politik atau peristiwa hukum murni. Namun penulis tidak ingin masuk pada perdebatan tersebut. meski begitu, kita bisa memperkirakan peristiwa apa yang kira-kira akan terjadi nanti pada saat pembacaan vonis tentang kasus yang menimpa seorang Anas Urbaningrum. Ada tiga atau empat hal yang dapat kita perkirakan mengenai status hukum yang nanti akan divonis oleh pengadilan Tipikor. Pertama, Hakim memvonis Anas sesuai dengan tuntutan Jaksa, kedua Hakim memutuskan hukuman Anas justru melebihi tuntutan  dan yang ketiga, Hakim menjatuhkan hukuman terhadap Anas Urbaningrum dibawah tuntutan Jaksa. Dan yang keempat, meski kemungkinannya sangat kecil, Hakim Tipikor menjatuhkan vonis bebas terhadap Anas. Namun, apapun dan berapapun putusan hakim terhadap Anas, tentu kita berharap yang terbaik bagi seorang Anas Urbaningrum.

Dari realitas diatas, entah apa yang ada dibenak kita masing-masing, penulis bisa melihat  ada cerita perulangan sejarah. Sejarah tentang anak manusia, tentang seorang tokoh politik muda. Tentang kecemerlangannya  dalam karir politiknya, bagaikan bintang yang bersinar terang, namun “nasib” berkata lain. Peruntungannya hanya bertahan sekejap, hanya seumur jagung. Potret yang ada didepan mata kita kini berwarna buram dan kelabu, tokoh tersebut harus terlempar pada jalan dramatis menemui ketragisannya. Seperti yang digambarkan oleh puisi Mao Tze Tung, ironi jalan hidup tokoh politik muda, seperti  “bunga indah gugur  justru disaat musim semi tiba.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun