Segala bentuk fiksi sering dipandang sebagai pelarian dari realita, yang ironisnya, justru menjadikan fiksi itu sendiri sebuah cerminan dari realita. Terlebih untuk fiksi dalam media film, dimana suatu narasi dapat disampaikan pada audiens secara visual, lengkap dengan musik dan tata suara. Menonton film sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Bisa dibilang industri film telah menjadi bagian dari budaya Indonesia modern melihat besarnya minat masyarakat dan potensi pasar yang ada. Pun, rumah-rumah produksi berlomba-lomba merilis film yang menghibur dan menarik minat masyarakat untuk mendapat keuntungan maksimal. Tidak jarang, film berusaha memancing penonton dengan melibatkan unsur mengejutkan, bahkan kontroversial. Saat ini, ada salah satu topik yang memancing perdebatan tentang moral dan etika: menampilkan kekerasan dalam film.
Menampilkan Kekerasan dalam Film
Menggunakan aspek emosi dan kejutan dalam cerita kerap menjadi taktik yang digunakan untuk menggaet atensi penonton. Salah satu cara yang sering dilakukan untuk melakukan hal tersebut adalah dengan menampilkan adegan kekerasan. Adegan kekerasan ditampilkan dalam film baik karena tuntutan plot atau sekadar shock value. Penggambaran kekerasan itu sendiri penting dalam menentukan konteks dan pesan yang akan ditangkap audiens. Apakah itu film aksi Hollywood yang tampak glamor dan gagah atau film thriller yang mencekam dan menanamkan rasa ngeri? Bagaimana cara penonton memaknai adegan tersebut? Persepsi penonton terhadap kekerasan fiktif akan menentukan dampak yang muncul dari media yang menggambarkan kekerasan. Meski bisa dijadikan sebagai alat untuk memberikan kritik sosial atau memancing simpati, kini adegan-adegan kekerasan dalam film seringkali ada hanya sebagai hiburan rekreasional bagi penonton, dan lama-kelamaan sebagai objek konsumsi yang dapat dijual. Bila tidak ditangani dengan bertanggungjawab, ini bisa berkembang menjadi hal yang berbahaya.
Saat ini para produsen film cenderung menjadikan kekerasan sebagai komoditas jual untuk meraup untung dengan cepat. Tanpa mempertimbangkan dampak sosial-psikologis maupun etika dan norma yang ada, banyak adegan kekerasan saat ini yang ditampilkan secara dramatis dan berlebihan. Ditambah dengan mudahnya akses informasi media sosial, bahkan ini dapat melanggengkan budaya yang mengglorifikasi kekerasan. Tanpa konteks dan penanganan yang baik, maraknya adegan kekerasan berlebihan dalam film dapat memiliki dampak sosial yang buruk, terutama, bagi penonton muda atau orang-orang yang kurang memiliki literasi digital. Saat kelompok penonton ini terpapar persepsi yang terlalu santai mengenai kekerasan, tanpa konteks dan kemampuan mengolah informasi yang baik, mereka dapat melihat kekerasan tersebut sebagai sesuatu yang normal.
Morbid Curiosity dan Dampaknya
Adegan mengerikan selalu menarik untuk ditonton. Menurut Coltan Scrivner, peneliti behavioral dari Aarhus University, orang-orang menyukai film horor karena mereka menyukai adrenalin yang didapat, atau untuk sebagian besarnya, karena mereka merasa pengalaman menonton film horor berdampak pada perkembangan dan kepercayaan diri mereka. Kita menonton film horor atau thriller untuk memuaskan “morbid curiosity” kita. Namun, untuk adegan kekerasan, hal ini memiliki dampak psikologis bagi individu maupun persepsi masyarakat terhadap kekerasan itu sendiri.
Mengutip Albert Bandura, seorang psikolog yang terkenal dengan social learning theory nya, “Violence can be presented, particularly on film and television, in such a way that it sanitizes the aggressive acts and the injury sustained victims, and portrays aggressors as the good guys who go unpunished”. Kekerasan dalam film dapat ditampilkan sedemikian rupa hingga dapat membuat tindak kekerasan tersebut “tersanitasi” dan penonton tidak lagi merasa terganggu atau gelisah saat melihatnya. Hal ini menjadi berbahaya saat paparan berulang adegan kekerasan yang ditampilkan secara tidak bertanggungjawab membuat penonton terbiasa dan mulai menormalisasi hal tersebut bahkan di dunia nyata. Menurut teori social learning Bandura, suatu perilaku dapat dipelajari melalui observasi, meniru, dan penguatan. Dengan menonton perilaku agresif pada media, perilaku nyata seseorang dapat terpengaruh karena perilaku agresi diperkuat atau divalidasi adegan kekerasan yang ia tonton.
Kekerasan yang Nyata dan Tidak
Belum lama ini, sebuah film horor dalam negeri memantik kontroversi terkait bagaimana adegan kekerasan seksual dalam film tersebut ditampilkan. Dalam beberapa klip yang beredar, adegan yang ditampilkan menunjukkan kejadian secara gamblang dan dramatis. Salah satu hal yang menimbulkan kontroversi moral dan etika adalah klaim bahwa film tersebut didasarkan pada kisah nyata. Bukan hanya sekadar klaim, promosi besar-besaran film tersebut menggunakan kasus nyata ini sebagai branding untuk menarik simpati. Beberapa orang setuju bahwa film ini dibuat untuk menuntut keadilan bagi korban, dan beberapa lainnya menilai bahwa film ini hanya berusaha meraup keuntungan dari kekerasan nyata secara tidak etis.
Dilema moral dan etika dalam menampilkan adegan kekerasan sangat berkaitan dengan fakta bahwa kekerasan itu sendiri adalah topik yang bersifat sangat nyata dan serius. Terutama untuk kekerasan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan film horor dramatis dengan pembunuh yang mengejar para tokoh satu-persatu, banyak bentuk kekerasan yang terjadi di sekitar kita seperti kekerasan domestik, kekerasan seksual, bahkan peperangan. Dalam menampilkan topik-topik ini dalam film, diperlukan kehati-hatian dan tanggungjawab untuk memastikan pesan dapat tersampaikan dengan baik oleh penonton. Bila ditampilkan secara eksploitatif dan sensasional, ini bisa mengaburkan batas antara hiburan dan realita bagi penonton, dan memberikan persepsi yang salah dan melanggengkan kekerasan di masyarakat.
Dalam menampilkan adegan kekerasan, diperlukan tanggungjawab produsen untuk melakukan riset yang baik dan tanggungjawab. Terutama dalam menampilkan adegan kekerasan yang sensitif, perlu diperhatikan bagaimana adegan tersebut ditampilkan, apa pesan yang ingin disampaikan, dan apa dampak yang akan muncul dari adegan tersebut. Dan sebagai penonton, hendaknya kita lebih bijak dalam mengonsumsi konten. Jangan menelan mentah-mentah semua hal yang ditonton, seleksi tontonan dengan bijak dan perkuat literasi digital dengan banyak membaca dan berdiskusi. Selalu utamakan empati dan rasa hormat untuk sesama, dan jangan lupa perhatikan rating usia sebelum menonton film. Selamat menonton!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H