Jakarta, 31 Desember 2010
081611131xx
Akhirnya berakhir, aku dan dia sudah putus.
081235356xx
Jangan buang banyak – banyak air mata kamu. Dia bahkan tidak seharusnya dapat apapun.
081611131xx
Dia tidak menyesal, hanya kaget. Aku menangis sedikit, tapi tidak di depan dia dan wanita bedebah itu. Rasanya… sakit. Aku.. tidak baik – baik saja sekarang.
081235356xx
Aku berharap kamu bisa menemui seseorang yang memang mencintaimu, sedalam kamu mencintai dia. Sakitnya akan menghilang, dan tidak akan meninggalkan luka.
081611131xx
Terima kasih. Aku tidak bisa bertahan sekuat ini kalau tidak ada kamu. Nasihatmu membuat aku tidak menjadi pecundang lagi. Sekarang aku bisa bangga dengan diriku sendiri.Aku sudah bisa pergi dari dia.
081235356xx
Tugasku sudah selesaikalau begitu ?
081611131xx
Ehm.. apa kamu memutuskan untuk tidak menghubungiku lagi?
081235356xx
Kini giliranku yang melangkah. Minggu depan adalah hari pertunanganku, kau ingat ?
( dua jam berlalu )
081235356xx
Senang pernah bisa membantumu. Aku berharap disaat akhirnya kita bisa bertemu di dunia nyata, aku berharap sudah melihatmu bahagia dengan pria yang setia dan mencintaimu. Selamat tinggalteman asingku.
081611131xx
Semudah itu kah kamu mengucapkan selamat tinggal padaku? Apa aku benar – benar tidak bisa bertemu, mengenal, atau sekedar menyapa kamu lagi ?Mengapa aku merasa lebih sedih lagi karena tahu aku akan ditinggal dirimu ? Aku, masih membutuhkanmu…. ( delete )
Aku berdoa untuk kebahagiaanmu juga, malaikat kesasarku. ( send )
***
Jakarta, 31 Desember 2013
“ Hei ini pesanan baru, enggak pake lama ya..” Ucapan Lina membuyarkan lamunanku. “Bengong mulu, kalau dilihat bos, habis kamu… mikir apa sih ?”
Aku hanya bisa tersenyum dan melanjutkan pekerjaanku.
“ Hei hei, jangan bilang kamu lagi mikirin malaikat kesasarmu.”
“ Ini teh mint pesanan langganan kita yang biasa ya?” tanyaku mengalihkan perhatian.
Lina mencibirku, “ Oke kalau kamu enggak mau bahas, tapi aku wajib ingatkan kamu, kamu enggak bisa begini terus, tiga tahun dan tidak melanjutkan hidup, teruuuusss berharap bertemu dia.” Lina mengehela napas berat, “ Kamu tahu dia sekarang sudah beristri. Mungkin sudah punya anak dan hidup bahagia. “
“ kok tumben teh mint-nya dibungkus, biasanya dia minum ditempat.”
“ Hei ! sok tahu ini bukan teh mint langgangan kita ” Sergah Lina sebal tidak dihiraukan.
“ teh mint hangat, gula merah dua sendok kecil. Cuma dia harusnya yang selalu pesan ini.”
“ Rianti, lanjutkan hidupmu, catat itu sebagai resolusi tahun 2014. Kamu tulis besar – besar, BERTEMU LAKI – LAKI YANG SEBAIK DIA, DAN MENCINTAIKU. Mengerti ?”
“ Aku tahu.” Akhirnya aku yang mengalah
“ Bagus, sini pesanannya.” Lina langsungmerebut gelas kertas berisi teh mint dengan galak, “Lagian ini yang pesan bukan pria itu, ini pesanan perempuan, mungkin istri pria pendiam itu. Tuh info biar kamu enggak penasaran.”
Lina pergi meninggalkan aku yang sedang tertegun. Hari ini tepat tiga tahun aku merindukan orang tak bernama itu, laki – laki yang membantuku keluar dari neraka, menghangatkan aku saat aku sangat kesepian, menghapus air mata, dan menguatkan aku disaat aku tak kuat menahan rasa sakit saat dulu. Dia, laki – laki asing yang tak sengaja menyapaku saat aku sedang menangis.
‘Apa kabar malaikat kesasarku ?’
“ Rianti.” Tegur teman sekerjaku, “ Udah saatnya gantian shift. Kamu enggak mau pulang ?”
“Aah.. sudah jam 5 ya.” Ucapku salah tingkah, “ iya, aku siap – siap.”
***
Tiga tahun lalu, aku ingat cuacanya seperti ini. Langit terlalu mendung, gelap, semua tahu sebentar lagi akan hujan lebat. Waktu itu aku juga melihat langit seperti saat ini, menengadahkan kepala, sekedar mencari tahu, apakah langit mengerti perasaanku yang sedang hancur, dan ingin menangis bersamaku. Hari ini, aku juga ingin mencari tahu, apakah langit tahu aku masih mengharapkannya hadir didepanku, datang tiba – tiba dalam kehidupanku seperti dulu, ia tiba – tiba meneleponku.
(Tiga tahun yang lalu)
“ Ha..lo” ucapku bergetar menahan tangisku yang dari tadi sudah berderai.
“ Halo, ini saya. Saya hanya ingin tahu apa maksud saya yang tadi, sudah anda mengerti. Saya takut anda salah mengerti keadaannya.”
Kuhapus air mataku yang tidak bisa berhenti, dan mencoba tenang dan berpikir sesaat, “Ma..af,saya memang tidak mengerti.” Ucapku tak paham sama sekali dengan telepon ini.
“ Ah kalau gitu saya bantu jelaskan lagi. Pajangan kaca yang sudah pecah tadi, tidak dapat dkembalikan seperti dulu lagi. Saya turut menyesal.”
‘Ah, ini telepon kesasar sepertinya’ ucapku dalam hati,dan mulai menyadari keadaan.
“ Tapi saya bisa menjadikan kaca yang pecah berkeping – keping itu, menjadi lebih indah bila anda mau. Bentuknya akan berbeda, namun jauh lebih indah dan kuat. Tapi, semua kembali pada pilihan anda, bila anda percaya dengan saya, saya akan bertanggung jawab dengan sepenuh hati saya.”
Air mataku berhenti, dan entah mengapa aku sedikit merasa ketenangan.
“ Pasti tidak mudah.” Ucapku
“ Tidak ada yang mudah, bila ingin akhir yang indah bukan ?”
“ Apakah perasaan bisa disamakan dengan kaca.”
“ Maaf….”
***
(Saat ini)
‘ Katamu dulu kamu akan bertanggung jawab sepenuh hati, seharusnya kamu datang hari ini. Kamu belum menyelesaikan janjimu. Aku tak lagi hancur berkeping – keping, tapi aku juga belum lagi utuh sepertikatamu.’
Derai hujan berjatuhan. Aku hanya ingin mengalir saja bersama hujan. Entah sampai mana aku akan berlaju, tapi aku butuh muara. Kubiarkan hujan mengehempas diriku, aku berharap hujan bisa mengahapus laki – laki itu dari diriku, menghanyutkannya, dan aku bisa merelakannya.
Hujan berhenti, kubuka mataku. Tidak, hujan masih terjadi disekitarku, tapi mengapa aku tak lagi terhempas hujan.
“ Hujan tidak baik untukmu.” Lelaki berpayung hitam, disampingku.
Aku terdiam.
“ Aku tadi ke kafe itu, mau menukarkan tehku. Aku minta teh mint dengan gula merah, tapi sepertinya hanya berisi gula putih. Saat mau masuk dan aku lihat kamu kehujanan. Kamu mau pinjam payung ini ?”
“ Ah teh mint gula merah ?” aku baru tersadar, “ itu…” aku masih berusaha kembali kedunia, “kebetulan saya yang buat, saya salah, saya minta maaf.”
“ Benarkah ?”
“Teh yang dibeli istri anda kan? Iya saya yang buat. Biar saya gantikan. Kita masuk saja ke kafe dulu.”
Dia tersenyum. “ Dia adik saya,saya belum cukup beruntung untuk punya istri.”
“ Maaf, saya.. minta maaf. Saya banyak melakukan kesalahan hari ini.”
“ Apa kamu selalu seperti ini saat musim hujan datang ?” Dia mengiringku ke tepian kafe, “ Aku rasa teh ini juga lumayan, kamu tak perlu menggantinya”
Aku tak tahu harus berbuat apa.
“ Gunakan payungku, biarkan ini menjagamu.”
“ Ah terima kasih. Tapi…”
Ia menatap mataku, dan tersenyum hangat, “ Kau bisa sakit. Pakailah, hujan benar – benar tidak baik untukmu. Kamu tahu itu dari dulu kan?”
“ Apa kamu…”
“ Aku kembali besok.”
***
(Tiga tahun yan lalu)
“ Pasti tidak mudah.” Ucapku
“ Tidak ada yang mudah, bila ingin akhir yang indah bukan ?”
“ Apakah perasaan bisa disamakan dengan kaca.”
“ Maaf….”
Aku tersenyum getir, pertanyaan bodoh, “ Maaf saya hanya asal, tapi anda salah nomor. Saya bukan pelanggan anda.”
“Benarkah ?” ia terdiam sebentar, “Ah benar, saya minta maaf.”
“ Tak apa. Selamat sore…”
“TUNGGU..” serunya menghentikan aku yang tadi sudah ingin menutup telepon, “ Ya mereka hampir sama, perasaan dan kaca hampir sama. Walaupun sudah pecah berkeping – keping, tapi masih bisa disatukan, dan dijadikan indah.”
Aku diam
“ Yang sudah pecah harus dilebur, porsesnya menyakitkan, tapi saat sudah terbentuk lagi, semua akan lebih baik, indah, dan kuat. Hanya akan ada kebahagiaan, walaupun itu butuh waktu.”
“ Terima kasih.” Air mata ini mengalir lagi, namun ini air mata bahagiaku, aku bisa merasakan kelegaan yang aku butuhkan belakangan ini.
“ Anda menangis ?”
“ Bukan ini flu karena hujan.” dalihku
“ Hujan memang tidak baik, selalu membuat orang sakit. Sepertinya hujan juga tidak baik untuk anda.”
***
Hujan tak baik untukku, tapi saat hujanlah aku bertemu denganmu. Bukankah begitu, malaikat kesasarku?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H