Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... -

Mencoba menjadi orang yang bijak serta moderat, menjunjung tinggi azas obyektivitas menjauhi justifikasi apalagi stereotipisasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cara Ganja 'Membonceng' Rokok

28 Januari 2012   02:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:22 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia



Oleh Lukman Hakim

Ditengah gempuran terhadap tembakau dan perokok, muncul tuntutan kontroversial dari segelintir orang agar ganja alias cimeng dilegalkan di Indonesia. Entah apakah fenomena ini mengikuti arah angin kampanye antitembakau atau memang gerakan mandiri proganja untuk memperjuangkan barang haram yang memang sudah menjadi musuh bersama bangsa Indonesia itu.

Disebut mengikuti arah angin kampanye antitembakau, karena  ada kesamaan dalam membangun opini untuk mendekatkan ‘nilai’ tembakau dengan ‘nilai’ ganja. Rokok, sebagai produk hasil tembakau, dianggap sama bahayanya dibanding daun ganja,  bahkan secara emosional kerap dikatakan lebih berbahaya. Logika yang diambil; kalau rokok legal, kenapa ganja tidak? Dengan kesimpulan akhir yang hendak dipaksakan adalah; rokok perlu dilarang dan ganja harus dilegalkan karena tidak berbahaya.

Dalam wacana yang terus dibangun di media, proganja kerap ‘membonceng’ rokok untuk menyusuri jalan ‘perjuangan’ legalisasi ganja. Ada ribuan artikel dan berita di internet yang membandingkan rokok dengan ganja, tentu saja dengan konklusi; ganja lebih aman ketimbang rokok, sebagian tulisan lagi dengan kalimat negasi; rokok tidak lebih aman dibanding ganja. Isu terus dikembangkan untuk menawarkan rekonstruksi bahkan dekonstruksi pola pikir khalayak agar mulai lebih ramah terhadap ganja sembari memprovokasi agar menjadikan rokok sebagai musuh bersama.

Bagi masyarakat sendiri, ide ‘menghalalkan’ ganja masih dianggap angin lalu dan menjadi bahan cibiran sebagai ide kosong dan konyol, ibarat jualan barang busuk, tak satupun pihak berminat membelinya.

Berbeda dengan rokok, yang notabene produk legal dari hasil tanaman halal dan didistribusikan secara legal pula, sehingga mengkonsumsinya adalah perbuatan yang sah secara hukum dan tidak melanggar hukum pidana. Kalau kemudian ada peraturan yang membatasi rokok, itu terkait dengan masalah kesehatan dan sebatas mengurangi paparan asap rokok terhadap orang lain yang juga membutuhkan hak udara sehat.

Dari segi apapun, menyamakan ganja dengan rokok ibarat jauh panggang dari api, orang menghisap rokok sebagai teman dalam pekerjaan sehari-hari, saat bersantai, maupun menjadi sumber inspirasi dalam berkarya serta sarana  menjalin keakraban dalam komunikasi sosial dan/atau bisnis. Semua aktivitas tersebut bisa tetap terkendali karena rokok memang sedikitpun tidak menyebabkan hilangnya kasadaran, keseimbangan dan akal sehat perokok tetap normal.

Stimulan Ringan

Dalam perspektif ilmu kesehatan, kandungan nikotin dalam tembakau –sebagai bahan rokok- memang bisa merangsang sistem kerja saraf pusat untuk mempercepat pesan ke otak, dari otak mengirimkan sensasi kenikmatan dan relaksasi, stimulan kenikmatan yang dirasakan tubuh dari efek merokok ini masih tergolong ringan karena masih dalam kerangka kesadaran. Sejajar dengan tembakau, yang juga tergolong stimulan ringan diantaranya “efedrin”, yang digunakan dalam obat-obatan untuk bronkitis; deman; dan asma, kemudian “kafein”, biasa terdapat dalam minuman kopi, teh dan minuman berkarbonasi (cola), termasuk minuman suplemen yang dalam kadar tertentu mengandung nikotin.

Jika stimulan ringan masih bisa ditoleransi oleh sistem saraf dalam tubuh, tidak demikian dengan stimulan berat, karena stimulan dalam tingkatan yang lebih besar dapat merangsang otak pengguna secara berlebihan, menyebabkan kecemasan, mengalami halusinasi, panik, kejang, sakit kepala, kram perut, agresi dan paranoia.  Yang termasuk stimulan berat diantaranya: Amfetamin (shabu), kokain, dan ekstasi.

Sementara itu, ganja –menurut berbagai sumber- disebut sebagai salah satu “depresan”, yaitu obat yang memperlambat fungsi saraf pusat. Zat ini bekerja dengan mempengaruhi kemampuan konsentrasi dan korrdinasi, sehingga memperlambat respon pemakai terhadap situasi lingkungan. Zat yang sama juga terkandung dalam alkohol, megadon, heroin, dan morfin.

Masih terngiang “tragedi Xenia” di Tugu Tani Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, 12 pejalan kaki tertabrak mopbil Xenia yang melaju dengan kecepatan 100km/jam, 9 orang tewas ditempat. Setelah diselidiki, ternyata si pengemudi, Afriyani Susanti (29), dalam pengaruh ganja, ekstasi dan shabu, sehingga kehilangan kontrol saat berkendara dan berakibat fatal, pekerja di PH (Production House) inipun kini tengah menghadapi tuntutan berlapis dan tidak menutup kemungkinan dikenai pasal pembunuhan.

Selain depresan, ganja –sebagimana pil ekstasi- juga merupakan “halusinogen”. Pemakai halusinogen dihantui rasa khawatir dan curiga berlebihan, menganggap apa yang ada dalam pikiran itu benar-benar ada didepan mata, padahal cuma halusinasi.

Bahaya ganja bersumber dari daunnya yang mengandung senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang memiliki efek psikoaktif atau dapat mempengaruhi saraf otak dan kondisi kejiwaan.

Dengan besarnya pengaruh ganja terhadap saraf pusat dan kesadaran pemakai, sungguh mengherankan masih ada gerakan untuk melegalkan ganja, bahkan tanpa malu-malu kelompok ini sudah lama membuat wadah berlabel Lingkar Ganja Nusantara (LGN), ‘berjuang’ agar ganja dilegalkan, aktivitas ‘nyimeng’ juga tidak dilarang di Indonesia.

Dari segi dampak bagi pengguna tersebut, ada jurang yang terlalu lebar untuk menyejajarkan ganja dengan rokok, dan argumen yang menyebutkan rokok lebih berbahaya dari ganja sungguh bertentangan dengan logika ilmu kesehatan dan logika akal sehat.

Namun kampanye proganja tidak surut, momen kampanye antitembakau yang begitu dahsyat mengkriminalisasi perokok, terus dijadikan ‘skoci’ yang nantinya diharapkan bisa menyelamatkan ganja menjadi produk legal. Kita tahu, dengan dukungan dana yang begitu besar dari LSM Bloomberg Initiative yang berpusat di New York, kelompok antitembakau terus ‘memperkosa’ tembakau untuk berdiri sejajar dengan morfin, ganja, kokain, heroin dan jenis narkoba lainnya. Disaat sorotan tertuju pada rokok, proganja secara intensif mengenalkan kembali produk yang selama ini dicaci dan ditakuti, anehnya tanpa wajah baru, hanya logika-logikanya yang terus dikembangkan, yang belakangan banyak disandarkan pada rokok.

Termasuk logika dalam hal kuantitas, bahwa nyimeng tidak sebahaya rokok karena orang nyimeng maksimal tiga linting dalam sehari dan cuma bikin efek ketawa. Ini pemikiran yang menyesatkan, sebab untuk merusak kesadaran otak, cukup hanya dengan 1 sampai 3 linting saja. Jika sebagian kesadaran diri sudah hilang, hal yang paling ekstrem pun bisa saja terjadi, karena pemakai kehilangan kontrol, alih-alih mendapatkan efek bahagia dan kesenangan sesaat, justru bisa mendorong perbuatan yang bisa membahayakan diri dan orang-orang disekitarnya.

Klise

Diluar urusan nyimeng, ganja juga terus disosialisasikan sebagai tanaman unggul yang memiliki banyak manfaat, lagi-lagi menumpang isu tembakau, dimana ganja sebagai tanaman jauh lebih bermanfaat dibanding tembakau. Di beberapa negara, serat batang ganja dijadikan bahan baku tekstil dan tali tambang, kandungan kimia daun ganja diklaim bisa dimanfaatkan sebagai obat, tidak memicu berbagai penyakit seperti halnya rokok.

Seolah hendak berwacana secara cerdas soal ganja, namun sebenarnya argumen tersebut justru terdengar klise, kalau memang tanaman ganja secara empiris telah dibuktikan manfaatnya untuk bahan dasar produk tekstil, tentu tidak ada satupun pihak yang berminat membantahnya. Tapi mau dikemanakan realitas penyalahgunaan ganja, bukankah larangan terhadap ganja di seluruh jagat raya ini lebih kepada penyalahgunaannya yang telah merusak moral dan masa depan anak bangsa.

Itulah sebabnya mengapa ganja dikategorikan sebagai narkotika dan penyalahgunaanya termasuk tindak kriminal. Melegalkan tanaman ganja sama dengan mempermudah akses terhadap tanaman laknat ini, secara langsung juga menjadi bagian dari tindakan melawan hukum karena menyebarluaskan penyalahgunaannya.

Indonesia sendiri sangat tegas menerapkan sanksi pidana yang berat bagi penyalahgunaan narkotika, diantaranyan UU Narkotika No. 35 tahun 2009, pasal-pasal didalamnya tegas menjerat produsen, distributor/penyelundup, dan pemakai produk narkotika –termasuk cimeng didalamnya- dengan hukuman yang sangat berat sesuai pelanggarannya, mulai dari hukuman lima (5) tahun sampai hukuman mati.

Sejenak barangkali pemakai ganja akan melayang-layang dengan perasaan penuh gembira, semua masalah yang sedang membebani pikiran seakan-akan hilang, hanya tersisa gembira dan tawa sepuasnya, tapi itu untuk sesaat, karena yang bakal dihadapi kemudian adalah aparat penegak hukum yang siap menjerat pemakai cimeng dengan hukuman berat dibalik jeruji besi yang pengap, bahkan jika statusnya bukan hanya pengguna tapi juga pengedar atau bahkan produsen, maka siap-siaplah menerima ‘ganjaran’ hukuman mati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun